SOLOPOS.COM - Kaled Hasby Ashshidiqy. (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Saya pelanggan satu warung angkringan di Jl. Malioboro, Kota Jogja. Lokasinya paling ujung, dekat Stasiun Tugu. Setiap kali berjalan-jalan di Maliboro, saya makan di angkringan tersebut. Kini warung angkringan itu tak saya lihat lagi.

Warung itu tergusur penataan kawasan Maliboro. Entah ke mana pindahnya. Ada banyak hal yang membuat saya suka makan di angkringan itu. Harganya ramah di kantong. Es teh di angkringan itu tidak ada yang mengalahkan nikmatnya.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Faktor lainnya lebih personal. Angkringan terasa lebih relate dengan saya yang egaliter. Saya merasa orang yang makan di angkringan memiliki kedudukan yang sama. Angkringan memiliki keistimewaan tersendiri yang mungkin tak dimiliki warung makan lain, apalagi sekelas restoran besar yang menunya berharga mahal.

Konon angkringan ada sejak puluhan tahun lalu, bahkan sebelum kemerdekaan Indonesia. Menurut sejumlah sumber, angkringan lahir dari inovasi warga Kabupaten Klaten bernama Eyang Karso Dikromo pada 1930-an.

Hingga kini angkringan masih bertahan, bahkan menyebar luas ke berbagai daerah, terutama di Jawa Tengah. Apa yang membuat angkringan spesial? Model bisnisnya. Sebelum Gojek mengenalkan kepada publik model bisnis sharing economy, angkringan sudah lebih dulu menerapkannya.

Hadirnya Gojek sebagai ojek online pertama di Indonesia pada Oktober 2009 mengubah  cara pandang banyak orang tentang model bisnis sharing economy. Sejak itu bisnis dengan menerapkan skema berbagi aset ini menjadi booming.

Model bisnis sharing economy secara singkat adalah sistem ekonomi ketika aset dan layanan dibagi antarindividu. Contohnya, perusahaan transportasi online Gojek. Pengelola Gojek tak perlu memiliki kendaraan untuk menjalankan bisnis.

Mereka menggandeng pengemudi yang mereka libatkan bukan sebagai pekerja, melainkan mitra. Aset berupa kendaraan disediakan oleh penemudi, bukan oleh Gojek. Sebelum Gojek, di Amerika Serikat Air BnB sudah lebih dulu menerapkannya.

Dengan skema sharing economy, memulai usaha jadi lebih ringan. Kebutuhan modal ditanggung bersama antara pengusaha dan mitra. Model bisnis ini sudah dilakukan lebih dulu oleh angkringan. Pemilik angkringan tidak perlu membuat semua barang yang dijual.

Biasanya pemiliki angkringan hanya menyediakan nasi kucing dan minuman. Pernik-pernik makanan lainnya seperti gorengan, satai kerang, satai usus, donat, kerupuk, dan sebagainya kebanyakan disetori para mitra.

Ketika tidak semua makanan habis, pemilik angkringan tidak merugi karena makanan itu akan diambil oleh mitra yang menggantinya dengan yang baru. Selalu begitu setiap hari. Dengan model bisnis ini, kedua pihak. yakni pemilik angkringan dan mitra, sama-sama diuntungkan.

Menggerakkan Ekonomi Mikro

Pemilik angkringan tak perlu modal besar menyediakan beragam makanan dan risiko rugi kecil. Mitra tak perlu menyediakan tempat dan waktu untuk berjualan produk mereka, cukup dengan menitipkan di angkringan.

Tanpa disadari banyak orang dalam satu angkringan ada beberapa usaha mikro dan kecil yang terlibat. Begitu makan di angkringan, saya ikut menggerakkan ekonomi sejumlah usaha mikro dan kecil itu. Semakin banyak makanan yang saya makan, banyak usaha mikro dan kecil yang diuntungkan.

Kelebihan kedua angkringan adalah strategi pemasarannya. Tanpa kita sadari, angkringan sebenarnya memainkan sisi psikologis dalam pemasaran. Saya sudah membuktikannya. Saat memilih makan di angkringan, saya berpikir bakal lebih murah, uang yang saya keluarkan lebih sedikit.

Kenyataannya? Tentu tidak demikian. Awalnya, saya hanya ingin makan sebungkus nasi kucing dan sebungkus kerupuk lalu minum segelas es teh. Semua itu hanya akan menghabiskan sekitar Rp8.000. Nyatanya saya tak tahan godaan. Saya memakan gorengan di depan yang seolah-olah memprovokasi “ayo makan saya, ayo makan saya”.

Saya yang awalnya hanya ingin makan nasi kucing sebungkus tanpa disadari tangan kiri sudah mengambil bungkusan nasi yang lain. Belum lagi ditambah ini dan itu. Selesai makan, habis Rp20.000, kadang lebih. Kalau dipikir-pikir, itu sama saja dengan makan di warung nasi padang.

Setelah melihat dompet yang menipis, saya paling berpikir waduh gagal hemat. Meski termakan model marketing angkringan, toh saya  tak kapok. Inilah hebatnya angkringan. Berhasil menguras dompet pembeli, tapi si pembeli merasa oke-oke aja. Siapa sih guru marketing-nya?

Di angkringan saya merasa semua pembeli setara. Angkringan tempat yang asyik untuk berdiskusi ringan dengan siapa saja yang membeli di situ. Rasanya kami, para penikmat angkringan, memiliki frekuensi yang sama tentang semua hal.

Tak seperti di kedai minuman kekinian yang cenderung pembelinya terkotak-kotak dan kurang membaur. Saya meras lebih nyaman nongkrong di angkringan ketimbang di kafe kekinian karena nuansa egaliter tadi. Angkringan telah membuktikan bahwa bisnis ini adalah usaha yang reliable, tahan guncangan.

Pada saat sejumlah start-up yang sempat bikin heboh dengan nilai valuasi yang ratusan miliaran rupiah, bahkan triliunan rupiah, belakangan ini mulai goncang, angkringan anteng saja. Angkringan hanya kalah dengan satuan polisi pamong praja. Saat membuka angkringan, pastikan lokasinya aman, tak rawan tergusur. Tertarik membuka warung angkringan?

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 2 Desember 2022. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya