SOLOPOS.COM - Tonang Dwi Ardyanto (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Tanggal 2 Maret 2020 adalah hari pemerintah Indonesia mengumumkan secara resmi kasus Covid-19. Tanggal 11 Maret 2020, WHO menyatakan Covid-19 sebagai pandemi. Tanggal 26 Maret 2020, dilaksanakan Forum KTT Luar Biasa G-20 secara daring. Dalam forum itu, Presiden Joko Widodo menyampaikan negara-negara G-20 harus menguatkan kerja sama menghadapi Covid-19.

Wujud utama kerja sama ekonomi G-20 tersebut adalah mencegah resesi ekonomi global melalui kebijakan fiskal dan moneter yang terkoordinasi serta memperluas dan memperkuat jaring pengaman sosial terutama bagi usaha mikro, kecil, dan menengah.

Promosi Iwan Fals, Cuaca Panas dan Konsistensi Menanam Sejuta Pohon

Saat itu memang kasus Covid-19 belum meluas seperti sekarang. Gelombang pertama baru dimulai. Pada 6 Mei 2020, Presiden Joko Widodo mengajak “berdamai” dengan Covid-19. Ini bagian dari kesadaran penanggulangan Covid-19 membutuhkan waktu panjang.

Bila tidak hati-hati, kondisi ekonomi sangat terpukul. Pada titik inilah, seolah-olah kita terbelah. Harus memilih antara kesehatan dan ekonomi. Sampai-sampai muncul tudingan rumah sakit ”pesta anggaran Covid-19”. Benarkah demikian?

Dinamika kesehatan atau ekonomi itu tergambar juga dalam penyusunan anggaran penanganan Covid-19. Tanggal 31 Maret 2020 ditetapkan anggaran Rp405,1 triliun. Laman resmi Sekretariat Negara memberitakan penjelasan Presiden Joko Widodo terkait anggaran tersebut.

Pertama, kesehatan masyarakat adalah yang utama. Oleh sebab itu, penyebaran o-19 harus dikendalikan dan pasien yang terpapar segera diobati. Kedua, disiapkan jaring pengaman sosial untuk masyarakat lapisan bawah agar tetap mampu memenuhi kebutuhan pokok dan menjaga daya beli.

Ketiga, menjaga dunia usaha utamanya usaha mikro, kecil, dan menengah agar tetap beroperasi dan mampu menjaga penyerapan tenaga kerja. Pada 19 Mei 2020, anggaran ditambah Rp230,07 triliun menjadi total Rp641,17 triliun.

Perlindungan

Salah satu yang utama adalah pemerintah mengalokasikan anggaran untuk dukungan konsumsi berupa bantuan sosial atau subsidi senilai Rp172,1 triliun. Dukungan tersebut berupa perlindungan bagi masyarakat miskin dan rentan dari risiko sosial ekonomi.

Strateginya melalui Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembajo, Kartu Prakerja, diskon tarif listrik, bantuan sosial Jabodetabek, bantuan sosial tunai non-Jabodetabek, dan bantuan berupa pangan atau bahan pokok.

Pada 3 Juni 2020, anggaran ditambah Rp35,5 triliun menjadi total Rp677,2 triliun. Anggaran untuk perlindungan sosial dari Rp172,1 triliun ditambah menjadi Rp203,9 triliun. Bidang Kesehatan dari sebelumnya Rp75 triliun ditambah menjadi Rp87,55 triliun.

Semula diduga pandemi Covid-19 mulai menurun dan terkendali pada Juni 2020. Ternyata belum tercapai sehingga perlu penambahan anggaran bidang kesehatan. Pada 11 Juni 2020, ada tambahan anggaran Rp 18 triliun sehingga total anggaran penanangan pandemi Covid-19 adalah Rp695,2 triliun.

Beberapa yang berubah adalah dunia usaha yang mengalami tekanan berat diberi insentif Rp120,6 triliun dalam bentuk relaksasi perpajakan dan insentif lainnya. Usaha mikro, kecil, dan menengah mendapatkan insentif senilai Rp123,46 triliun.

Pemerintah daerah serta kementerian dan lembaga untuk agar bisa melakukan kegiatan yang langsung bisa dirasakan manfaatnya oleh rakyat mendapat alokasi anggaran Rp106,11 triliun. Tanggal 29 September 2020, dilaksanakan seminar nasional Sinergi Pengawasan APIP-SPI-APH secara daring.

Deputi Kepala BPKP Bidang Pengawasan Instansi Pemerintah Bidang Perekonomian dan Kemaritiman menjabarkan pemerintah mengalokasikan dana untuk menangani pandemi dari APBN Rp695,2 triliun, APBD Rp78,2 triliun, dan dana desa Rp28,46 triliun. Total Rp801,86 triliun.
Selama ini sering muncul dugaan negatif bahwa bidang kesehatan, khususnya pelayanan kesehatan, mendapatkan anggaran berlimpah karena pandemi Covid-19. Rumah sakit yang menjadi sasaran utama dugaan tersebut.

Dari Rp695,2 triliun anggaran penanganan pandemi Covid-19, bidang kesehatan mendapatkan alokasi Rp87,55 triliun atau "hanya" 12,56%. Bila ditambah proporsi dari APBD dan dana desa, sehingga total Rp801,86 triliun, maka anggaran bidang kesehatan adalah 10,9% saja. Alokasinya tidak hanya untuk pelayanan kesehatan.

Dari Rp87,55 triliun untuk bidang kesehatan tersebut yang dikelola Kementerian Kesehatan adalah Rp25,73 triliun. Selebihnya Rp61,83 triliun dikelola Bendahara Umum Negara dan Badan Nasional Penangulangan Bencana atau BNPB. Penggunaan yang di luar Kementerian Kesehatan ini untuk kementerian dan lembaga lain.

Dari Rp25,73 triliun yang dikelola Kementerian Kesehatan, proporsi untuk biaya pelayanan kesehatan Covid-19 adalah Rp21,86 triliun. Berarti hanya 3,1% saja terhadap seluruh anggaran pandemi Covid-19 senilai Rp695,2 triliun atau hanya 2,7% bila dihitung dari total anggaran Rp801,86 triliun.

Pada 4 November 2020, diselenggarakan simposium nasional keuangan negara 2020. Mengemuka penjelasan per 26 Oktober 2020, secara total anggaran pandemi Covid-19 telah terserap Rp361,5 triliun atau 51,99%. Sedangkan khusus bidang kesehatan "baru" terserap Rp30,74 triliun atau 35,01%.

Belum ketemu secara terperinci berapa yang terserap untuk anggaran yang dikelola Kementerian Kesehatan. Yang jelas untuk pos anggaran biaya pelayanan kesehatan dari alokasi Rp21,86 triliun, per 15 Oktober 2020 sudah cair Rp7,1 triliun ditambah Rp4 triliun masih dalam proses verifikasi. Total Rp11,1 triliun.

Alokasi biaya pelayanan kesehatan Rp21,86 triliun itu tentu terbagi tidak hanya ke rumah sakit. Ada sebagian yang ke fasilitas kesehatan lain maupun pos-pos kesehatan di perbatasan dan pintu masuk.

Jaminan Kesehatan Nasional

Seandainya dianggap semua itu untuk rumah sakit, apakah benar terjadi peningkatan pendapatan rumah sakit secara total dibandingkan tahun-tahun sebelumnya? Pendapatan RS dua sumber. Yang utama adalah dari pasien Jaminan Kesehatan NAsional atau KN. Selebihnya dari diluar JKN.

Biaya pelayanan kesehatan dari JKN pada 2019 adalah Rp108,46 tiliuan. Bila dianggap minimal 80% di antaranya (sebenarnya sekitar 82%) tercairkan ke rumah sakit, berarti senilai Rp86,77  triliun.



Tahun ini sering disampaikan bahwa pendapatan JKN turun minimal sebesar 40%. Berarti berkurang Rp34,71 triliun. Artinya, kalau benar alokasi Rp21,86 triliun itu seluruhnya terserap untuk rumah saja (yang sekali lagi, adalah tidak mungkin) tetap ada selisih sekitar Rp12,85 triliun. Itu minimal. Bisa saja lebih dari itu.

Sampai pertengahan Oktober 2020, baru sekitar separuh dari Rp21,86 triliun tersebut yang sudah tercairkan.

Apakah alokasi anggaran Rp21,86 triliun itu akan terserap 100%? Sepertinya tidak. Kementerian Keuangan sudah memberikan estimasi bahwa penyerapan anggaran bidang kesehatan untuk Covid-19 tidak akan tercapai 100%.

Pada 2021, anggaran Rp87,55 triliun itu akan diturunkan menjadi Rp72,73 triliun sesuai estimasi penyerapan anggaran tahun 2020 ini. Jadi, sebenarnya jelas bahwa bidang pelayanan kesehatan dan khususnya rumah sakit mendapatkan tudingan tidak nyaman, padahal hanya mendapat porsi katakanlah 3,1%, bahkan 2,7% bila menyertakan dana APBD dan dana desa.

Itupun tidak terserap semuanya. Ada sisi lain yang jauh lebih penting. Tidak dapat dimungkiri dampak ekonomi dari Covid-19 ini sungguh besar. Sebenarnya dapat dipahami bahwa 87,4% anggaran dialokasikan untuk perlindungan sosial dan pemulihan dampak ekonomi.

Barangkali hal tersebut kurang tersosialisasikan dengan baik. Salah paham dan salah komunikasi antara masyarakat dengan pelayanan kesehatan, khususnya rumah sakit, terkait Covid-19, sangat dipengaruhi juga oleh aspek sosial ekonomi tersebut.

Dengan melihat alokasi dan proporsi anggaran, diharapkan beban sosial ekonomi dapat dikurangi secara signifikan. Bila ada yang terpaksa harus isolasi atau karantina, tentu sebaiknya negara hadir memberikan bantuan sosial.

Bagi yang penghasilannya tersendat karena Covid-19, ada alokasi anggaran untuk usaha mikro, kecil, dan menengah maupun padat karya. Ada yang langsung juga berhubungan dengan bidang kesehatan, tapi berkaitan dengan sosial ekonomi.

Sering terdengar suara mahalnya biaya pemeriksaan mandiri untuk Covid-19. Seharusnya negara hadir, memberikan biaya untuk pemeriksaan tersebut. Masyarakat tidak harus terbebani, rumah sakit juga tidak harus menjadi sasaran tudingan “membisniskan”.

Apakah yakin tidak ada rumah sakit yang nakal? Di semua bidang pelayanan publik selalu ada risiko tersebut. Justru kita harus membangun sistem, memasang rambu dan pagar, agar kalaupun benar ada yang nakal tidak akan mendapatkan kesempatan. Dengan demikian, semua bisa lebih nyaman, dan semoga pandemi segera terkendali sesuai harapan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya