SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO–Sewaktu mencuci piring selepas makan siang bersama kedua anaknya di rumah, Lia, 32, tanpa sengaja mendengar satu kalimat asing di keluarganya keluar dari mulut putra sulungnya, “Adik goblok!” katanya dengan nada setengah menghardik begitu melihat sang adik merusak konstruksi Lego-nya.

Bak disambar geledek di siang bolong, Lia lantas panik dan segera menyambangi kedua anaknya. “Langsung aku tanyain, kakak tadi ngomong apa? Kok, Mama dengar ada kata-kata jelek,” kisah Lia, ketika berbincang dengan Solopos.com.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Lia bercerita sang anak yang duduk di bangku taman kanak-kanak besar lantas menjawab dengan gerutuan bahwa adiknya baru saja merusak konstruksi mainan yang ia susun selama dua jam. Si sulung rencananya ingin menunjukkan hasil karyanya kepada sang ayah sepulang kerja. Namun, mainan itu keburu rusak karena tak sengaja terinjak sang adik yang baru hobi bermain sepeda roda tiga.

Selepas kejadian itu, Lia sempat mengingatkan putranya dengan nada tinggi jika berkata seperti itu enggak baik. Alasannya, berbicara kasar tidak disukai Tuhan dan orang di sekitarnya. Dari kejadian tersebut, Lia lantas mencoba menanyai anaknya dari mana sang putra belajar berkata kasar di rumah. “Ternyata ia dengar dari teman sekolahnya yang menyebut temannya goblok. Langsung aku jelaskan apa artinya goblok. Kenapa orang enggak nyaman disebut goblok. Sempat juga aku tanya apakah pernah melihat ayah atau ibunya bicara seperti itu di rumah. Dia cuma menggeleng dan berjanji enggak mengulanginya lagi.”

Lia lantas berdiskusi dengan suaminya bagaimana jika putranya ke depan hobi bicara kasar, terutama saat berada di luar pengawasannya. Ia sempat waswas jika kelakuan minus putranya yang masih belia itu menjadi kebiasaan.

“Sampai aku bilang ke suami apa iya harus sampai memindahkan sekolah anakku? Biar dia enggak terpapar kelakuan anak enggak baik. Eh, ternyata setelah aku konsultasi ke guru sekolahnya enggak perlu. Anak cuma perlu dijelaskan. Karena di mana pun paparan hal negatif enggak bisa dihindari,” tuturnya.

Pengalaman sejenis dialami ibu dua anak remaja tanggung, Ima, 45. Saat memasak di dapur, ia mendengar putri bungsunya menyalurkan emosi dengan kelakuan kakaknya dengan cara mengumpat. “Dia menyebut kata binatang gitu. Memang baru dengar sekali itu. Langsung aku samperin,” ujarnya

Ima yang kala itu sulit menguasai diri pun jadi ikut emosi. Respons pertamanya kala itu adalah membentak si bungsu. “Aku marah-marah sambil tanya memang ayah sama ibu pernah bicara kotor gitu di rumah? Dia menggeleng sambil menunduk doang,” kata dia.

Dari kejadian itu, Ima lantas mengangkat topik berbicara kasar sewaktu keluarganya sedang makan bersama untuk bersantai di luar. Ia menasihati bagaimana perilaku bisa berdampak besar buat masa depan dan sebagainya kepada putri-putrinya yang sudah menginjak bangku sekolah menengah itu.

Setali tiga uang dari Lia dan Ima, sebagai bapak dua putra yang kini duduk di bangku sekolah menengah, Adi, 45, juga pernah mendengar anak-anaknya bicara tak pantas di rumah. “Dulu waktu anak-anak kelar mengobrol berdua, tiba-tiba adiknya nyamperin dan laporan kakaknya habis bilang kata-kata tak pantas. Tapi aku sendiri pilih enggak panik menghadapi situasi ini,” kisahnya.

Dengan kepala dingin, Adi lantas memanggil putra sulungnya untuk dimintai klarifikasi. Dari jawaban anaknya, ternyata si sulung bicara seperti itu untuk menggambarkan kelakuan temannya. “Ya aku kasih tahu. Enggak apa-apa. Wajar ada anak model seperti itu. Tapi enggak bijak kalau ngata-ngatain merendahkan orang lain yang enggak pandai kayak gitu. Kalau nadanya keliru bisa jadi ada yang marah dan bikin ribut. Terus ngomong seperti itu juga jatuhnya sombong. Enggak bagus,” katanya.

Menurut Adi, metode mengingatkan anak-anaknya ketika mereka bertindak melenceng memang berlainan. Namun, ia paling nyaman menggunakan pendekatan diskusi dan mengingatkan sebagai teman. “Ya, kayak gitu biasanya pengaruh lingkungan. Dulu waktu mereka kecil juga pernah ngomong kasar kayak gitu. Kulaknya sewaktu main di luar rumah. Biasanya aku ingatkan pas santai kayak PS bareng dengan bilang, ‘hayo, ngomong apa?’. Dengan begitu mereka ingat lagi,” ujar dia.

Respons paling umum pertama ketika orang tua mendengar buah hatinya mengumpat atau berbicara kasar adalah kaget. Saking kagetnya, beberapa orang tua tak sadar berlaku kasar pada buah hatinya.  Reaksi pertama kita begitu mendengar si kecil mengumpat tersebut, menurut Raisingchild.net.au, ternyata memengaruhi perilaku mereka saat dewasa kelak. Sebelum membahas solusinya, orang tua perlu memahami anak usia sekolah berkata kasar bisa dilatarbelakangi berbagai hal.

Ada yang bertujuan murni untuk mengekspresikan perasaan negatif, bisa berwujud sakit hati, sedih, atau frustasi. Tak jarang si kecil berbicara kasar agar diterima secara sosial.  Beberapa di antaranya mungkin ada yang ingin menjadi bagian sebuah kelompok, atau ingin terlihat lucu atau keren ketika berbicara. Bisa jadi si kecil juga meniru perilaku orang lain. Ada juga yang cuma ingin diperhatikan orang tuanya.

Langkah awal ketika si kecil mengumpat adalah bicara dengan anak terkait pilihan katanya. Jangan sampai mengabaikan dan menganggap ini angin lalu. Anak mungkin belum paham arti kata itu. Tapi anak usia sekolah tahu, tujuan berbicara kasar untuk menyakiti orang lain. Mendapati kondisi seperti ini, orang tua tak perlu panik berlebihan. Tetap tenang dan jelaskan dengan jernih kata tersebut tidak baik. Kita juga bisa menjelaskan kata itu bisa menyakiti perasaan orang lain. Cara ini manjur mengantisipasi anak mengumpat ke depan.

Jika kita pikir si kecil sudah paham arti kata tersebut, kita bisa menyanyainya lagi apa sih artinya untuk memantik obrolan lebih lanjut. Baru lanjutkan gunakan kalimat sederhana untuk menjelaskan kenapa berbicara dengan kata kotor tidak baik.  Misalkan kita bilang, “tahi itu kata kotor enggak baik. Kita enggak pernah ngomong jelek pakai bahasa kasar di rumah”. Atau bisa juga jelaskan kenapa beberapa kata terasosiasi dengan rasis, seksis, dan tidak menghargai orang lain. 

Dalam keluarga, biasakan untuk mendiskusikan jenis bahasa apa yang diterima dan tidak sesuai nilai yang dianut. Jika keluaga kita punya aturan tegas soal mengumpat, lebih gampang untuk mengingatkan kembali rambu tersebut. Yang penting aturan di keluarga wajib konsisiten. Jika kita menghendaki anak tidak mengumpat, orang dewasa di rumah juga tidak boleh berbicara kasar. Jelaskan juga pada anak ada beberapa kata yang tidak diterima di rumah, sekolah, atau tempat ibadah. Beda tempat, beda juga aturannya. Untuk memberikan contoh bagi si kecil agar tidak mengumpat di rumah dalam kondisi sulit, kita bisa biasa mengekspresikan dengan kalimat verbal, “Aku benar-benar marah atau frustrasi”.

Awasi juga apa yang si kecil lihat di televisi atau jaringan Internet sampai teman bermainnya. Anak kadang mendengar kata-kata kasar saat di ruang publik. Tak perlu gagap ketika menemui situasi ini. Jika anak bertanya kenapa ada orang lain boleh ngomong kasar? Jawab saja setiap orang punya aturan sendiri-sendiri.

Jika kita mendapati anak mengumpat agar diterima secara sosial, coba bicara dengan si kecil. Tanyakan bagaimana rasanya mendengar temannya mengumpat. Berikan juga solusi biar terlihat keren di depan teman-temannya. Ketika anak beranjak besar, rajin ingatkan mereka boleh berbicara dengan gaya bahasa berbeda untuk kelompok berbeda juga. Namun mengumpat tidak pernah diterima.

Sedangkan anak yang mengumpat karena marah atau frustasi bisa diarahkan dengan mengajarkan beragam bentuk mengekspresikan emosi. Tapi mengekspresikan perasaan dengan kata-kata tidak pantas itu tidak benar.  Saat anak marah, coba gali penyebabnya. Misalkan dia marah dengan temannya, sarankan dia agar sementara tidak main bareng dulu. Apabila anak frustrasi, coba berikan jalan keluar agar bisa menyelesaikan persoalannya. Ketika situasi terlalu sulit mengatasi marah dan frustasi, ajari mereka mengambil napas panjang dan menghitung 1-10 agar perasaannya lebih lega.

Tekankan juga kita tidak menoleransi perilaku abusif. Langkah terakhirnya, berikan konsekuensi yang sudah disepakati. Misalkan dilarang nonton TV, tidak diberi uang jajan, dll.. Jangan lupa evaluasi secara berkala perilaku si kecil. Saat mereka sudah menjalankan aturan main dilarang mengumpat di rumah, puji mereka sewajarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya