SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO–Jadwal makan malam yang seharusnya menjadi ajang kumpul-kumpul keluarga selepas seharian masing-masing sibuk dengan urusannya, menjadi momentum penuh drama buat keluarga Karina, 29.

Sebulan terakhir putri semata wayangnya kerap menjadi pusat perhatian di ruang makan. Keira sedang getol menuntut menu makan sesuai seleranya. Namun ketika hidangan tersaji di piring mungilnya, pertunjukan dimulai oleh anaknya yang berusia 2,5 tahun.

Promosi BRI Borong 12 Penghargaan 13th Infobank-Isentia Digital Brand Recognition 2024

Keira awalnya cuma bilang “no” sembari menutup kedua mulutnya dengan kedua tangannya. Saat orang tuanya mulai makan dan ia tidak diperhatikan, dia pun mulai merengek cuma mau minta makan dengan roti dan selai rasa cokelat hazelnut.

Sekali atau dua kali, Karina masih menuruti. Namun lama kelamaan, dengan berat hati dia menolaknya. Karena putrinya tidak mendapat asupan lain seperti sayuran, ikan, daging, dan nutrisi lain yang penting bagi tumbuh kembang anak.

“Ya, kalau roti selai terus-terusan dia cuma dapat asupan gula. Kami coba kasih pengganti susu sama multivitamin untuk gizinya. Setelah konsul dengan dokter anak ternyata itu juga belum cukup,” keluhnya.

Karina bukannya enggan berupaya. Sebisa mungkin dia dan suaminya mencoba menggonta-ganti menu keluarganya dengan konsep gizi seimbang agar si kecil mau makan. Namun usahanya sia-sia.

“Kalau siang soalnya kami tinggal bekerja. Saat dengan pengasuh, ya pasti dia dapat apa yang dia mau. Tapi pernah malah seharian enggak mau makan sama sekali, cuma susu, dan akhirnya sakit,” ujarnya.

Karina cukup pusing mengatasi kebiasaan putrinya yang doyan pilih-pilih makanan (picky eater). Beberapa kali ia mencoba cara nebeng makan di rumah sobatnya yang punya anak sebaya agar si kecil mau makan menu sehat.

“Ya tapi masak tiap makan harus nebeng ke tempat tetangga atau ke tempat teman. Akhirnya kami coba kasih pengganti camilan biar enggak kelaparan,” kata dia.

Lain lagi pengalaman Rara, 32. Ibu muda ini kesulitan membiasakan anak bungsunya doyan makan sayur dan buah. “Pas masih mengonsumsi Mpasi [Makanan Pendamping ASI] sebenarnya enggak masalah. Dia makan semua yang kami berikan. Ikan, telur, sayur, tahu, semua dicampur enggak masalah,” tuturnya.

Persoalan muncul saat bungsunya menginjak usia setahun. Waktu itu, anak mulai diberikan makanan keluarga. Si kecil pun mulai kenal beragam menu dengan penyedap rasa berlimpah seperti bakso, soto, dan sebagainya.

“Setelah bisa makan makanan orang dewasa itu, lidahnya jadi akrab dengan gula, garam, dan penyedap. Habis itu buyar deh jadwal makan sehatnya. Dia sering minta makan nasi pakai soto atau bakso. Kalau enggak dituruti enggak mau makan. Cuma mau minum susu. Tentu saja ini enggak aman buat kecukupan gizinya,” jelasnya.

Menurut Rara, si sulung yang kini sudah duduk di bangku TK juga hobi menuntut makan di luar. Berbeda dengan bungsunya yang lebih suka gerakan tutup mulut saat keinginannya tidak dipenuhi, sulungnya ada kalanya masih menurut karena merasa lapar.

“Ya, sebenarnya kalau aku siapkan menu di rumah yang homemade dengan komposisi dan level rasa yang bisa diatur itu mereka jarang menuntut. Persoalannya kan sebagai ibu bekerja kadang buru-buru kerja waktunya sudah habis pas pagi hari. Pas malam hari juga sudah capai sekali mau masak. Padahal mereka cuma mau masakanku,” ujar dia.

Sementara itu, Dian, 37, memilih untuk sangat mengontrol asupan anak semata wayangnya yang kini berusia 2,5 tahun. “Saya ketat soal asupan. Enggak bisa sembarangan masuk. Terutama untuk gula, garam, dan penyedap. Sebisa mungkin saya kontrol tiga hal itu sejak dia lepas Mpasi,” bebernya.

Dari kebiasaan sederhana tersebut, putranya yang kini sudah mulai ikut bergabung di kelompok bermain juga dibiasakan untuk mengonsomsi apa yang dimakan orang tuanya.

“Kami enggak pernah sedia makanan khusus anak di meja makan. Justru dari sini kebiasaan sehat keluarga dimulai. Sejak dia ikut makan, kami juga jadi konsumsi makanan seimbang. Sayur segala macam coba kami kenalkan baik pedas, asam, manis, asin. Awalnya asing, tapi saat lapar dia akan makan. Lauk juga demikian. Cuma beda porsi saja,” tutur Dian.

“Ini jadi concern kami. Karena pekerjaan saya dan suami sering mobile. Sebisa mungkin urusan makan jangan sampai nyusahin. Yang penting tetap seimbang. Sekarang pas makan di KB, dia paling doyan apa-apa pas temannya pada enggak mau menu tertentu,” katanya.

Orang tua memegang peranan krusial dalam membentuk pola makan buah hati. Anak-anak mulai belajar mengeksplorasi dunia, berkomunikasi, dan mengontrol kemauannya sejak usianya balita (di bawah lima tahun). Termasuk untuk urusan memilih makanan. Orang tua bisa mengarahkan buah hati mengontrol kebebasannya untuk memilih makanan.

“Bukan tugas anak untuk menentukan apa menu untuk makan malam atau sarapan. Orang tua punya kewajiban menyediakan makanan atau asupan sehat yang masuk ke perut buah hatinya. Orang tua secara kreatif bisa mulai mengendalikan apa yang dimakan si kecil sejak mereka balita,” ulas Kidshealth.org.

Dengan mengantisipasi persoalan kemungkinan tawaran menu kita ditolak dan memberikan alternatif menu, orang tua sekaligus telah mendidik anak apa yang semestinya dituruti dan mana hal yang bisa dinegosiasikan. Berikut ini beberapa konsep dasar untuk membentuk pola makan seimbang buah hati.

Setiap Anak Pemilih Soal Makanan

Anak balita cenderung mengekspresikan kemandiriannya lewat makan. Jika anak tidak suka dengan menunya, mereka enggan mengonsumsinya. Di sini orang tua perlu kreatif. Ketika anak cuma ingin makan makaroni atau keju saja, kadang orang tua memberikan makanan pilihan anak tersebut setiap hari. Lantas anak bosan. Drama kembali dimulai.

Alih-alih memberikan menu pilihan mereka, orang tua perlu sedikit ekstrem dengan mengganti dua opsi makanan sebelumnya. Dengan jalan demikian, anak punya kesempatan mengenal makanan baru. Jurus ini kerap manjur meningkatkan selera anak. Dengan memberikan beragam menu makanan sehat baru, anak juga jadi tertarik menanti kejutan makanan mereka.



Pastikan juga orang tua siap menjadi contoh yang baik. Ketika kita menyajikan makanan seimbang di meja makan dan hobi menjajal menu baru, anak secara tidak langsung melihat kebiasaan tersebut dan mau ikut menjajal.

Hindari Hobi Menyuap

Jurus menyuap anak kerap dipakai orang tua dalam kondisi kepepet. Misalkan kita ingin buah hati makan bayam, ada kalanya rayuan membeberkan bayam bisa bikin Popeye kuat tidak mempan. Ujung-ujungnya kita buat penawaran “kalau kamu habiskan tiga sendok, nanti mama kasih es krim.”

Praktik menyuap anak seperti ini mungkin berhasil satu atau dua kali tapi tidak mendidik dan membentuk kebiasaan baik. Demikian juga dengan model ancaman. Untuk mengatasinya, kita bisa mulai menyajikan porsi yang tepat untuk anak. Selain itu, hindari negosiasi. Persiapakan dan sajikan saja makanan sehat lalu biarkan mereka memutuskan apa yang harus dimakan.

Biasakan juga makan bersama keluarga. Riset membuktikan anak mau makan makanan bergizi ketika mereka punya rutinitas makan bareng keluarga. Orang tua juga bisa mencari teman sebaya anak untuk membentuk kebiasaan makan buah dan sayur. Saat ada teman lainnya, anak cenderung mau ikut-ikutan.

Ajari Anak Makan Mandiri

Anak-anak perlu mulai belajar makan dengan tangan sejak usia sembilan bulan. Saat usianya menginjak 15-18 bulan, mereka mulai diajari menggunakan peralatan makan. Berikan banyak kesempatan belajar. Amati juga konsumsinya agar tercukupi.

Orang tua perlu sigap membantu proses anak belajar makan. Perhatikan juga tanda anak sudah kekenyangan atau masih lapar. Ketika si kecil belajar makan, mundur agak jauh dan biarkan anak belajar sendiri.

Beberapa orang tua berpikir menyuapi anak adalah jalan terbaik agar pemenuhan gizi mereka cukup, tapi hal itu tidak mendidik. Praktik tersebut menghilangkan kontrol yang seharusnya menjadi hak anak pada tahap pertumbuhannya.

Bisakah Anak Melewatkan Makan?

Sejumlah anak balita butuh makan setidaknya enam kali sehari, termasuk tiga kali makan utama dan tiga kali camilan. Dengan pola demikian, beberapa anak tidak melulu bersedia menghabiskan semuanya ketika kita sudah menyiapkannya.

Membiarkan anak melewatkan salah satu jam makannya merupakan konsep yang belum diterima secara umum. Budaya kita mengajarkan setiap makanan dihabiskan dan tidak elok membuang makanan. Tapi anak butuh belajar merespons rasa laparnya untuk mengelola berat badan ideal mereka. Berikan makanan saat mereka lapar.

Hindari Makanan Cepat Saji

Buah hati butuh asupan sehat agar tubuhnya mendapatkan nutrisi yang penting bagi tahap pertumbuhannya. Permen, kentang goreng, makanan cepat saji minim gizi semestinya masuk daftar diet. Preferensi makanan anak terbentuk sejak dini. Jangan biarkan lidah anak terbiasa dengan penyedap rasa sehingga mereka pilih makanan cepat saji yang lebih terasa enak di lidah ketimbang makanan sehat. Saat anak merengek minta permen atau makanan ringan kaya penyedap rasa, kita tidak perlu memberikannya. Tak perlu khawatir, anak yang sedang marah tidak dituruti biasanya mau menikmati sensasi kontrol memilih menu pengganti.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya