SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Adakah pembaca budiman yang  sudah tidak ingat lagi dengan ungkapan pada judul di atas? Baiklah! Saya tambah satu ungkapan lagi biar ter-recall  lebih baik. ‘Anak pengantar koran pun bisa jadi wartawan!’ Kedua  bentuk kebahasaan itu diucapkan artis cantik pemeran film ‘Laskar Pelangi’ yang belakangan sempat memukau banyak kalangan. Lantaran dilafalkan dengan logat Melayu  ‘kacukan’, demikian meminjam istilah Kompas 24/7/2009, kedua ungkapan  itu  memesona banyak kalangan.

Selain karena diucapkan artis cantik, makna kedua tuturan itu juga mendalam, tetapi sekaligus sensitif bagi banyak kalangan. Alasannya, ungkapan-ungkapan itu digunakan untuk membangkitkan optimisme kaum marjinal, lantaran kini ada pendidikan gratis. Wow, semoga optimisme ini  terus berkembang hingga menyentuh banyak  kalangan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Catatan bahasa ini tentu tidak akan berbicara lebih lanjut ihwal pro-kontra pendidikan gratis dengan segala tali-temalinya itu. Saya bermaksud mengajak pembaca budiman mencermati bentuk-bentuk estetis kebahasaan yang ditunjukkan dalam logat Melayu ‘kacukan’ seperti ditunjukkan di depan itu. Nah, kalau di masa lampau banyak orang berpantun, tentu banyak yang mengenal sanjak.  Sejauh yang masih ‘capet-capet’ saya ingat—semoga tidak salah—sanjak menunjuk pada bunyi akhir baris yang selalu dibuat bersesuaian.

Anak kecil saya, Promovendi, juga gemar  berpantun. Dia selalu berusaha menyusun baris-baris pantun yang bersanjak itu. Dalam benaknya, sanjak demikian itu indah. Orang Jawa menyebutnya ‘guru lagu’, khususnya dalam ‘macapat’.  Baris-baris dalam ‘macapat’ lazimnya juga dibuat bersanjak atau ‘berguru lagu’. Aneka ‘parikan’ atau ‘gandhangan’ di Jawa Timur, ternyata juga lekat dengan ‘guru lagu’ demikian itu. Orang bilang, kesesuaian bunyi itu estetis.

Nah, ‘Anak sopir angkot kini bisa jadi pilot…!’ yang diungkapkan artis cantik di depan  juga memerantikan sanjak itu, yakni [ot] pada ‘angkot’  dan [ot] pada ‘pilot’. Atau, dapat pula dikatakan, [t] dan [t] pada akhir kedua kata itu. Dengan kesesuaian bunyi itu, siapa saja serasa enak mendengarnya.

Demikian pula ‘Anak pengantar koran pun bisa jadi wartawan!’, di sana juga ada kesesuaian bunyi antara [an] pada ‘koran’ dan [an] pada ‘wartawan’.  Vendi, demikian anak saya disebut, pasti tidak setuju dengan hal ini. Dia selalu mengatakan  [en] dengan [en], sedangkan untuk bentuk di atas tadi disebut [et] dengan [et].

Saya juga mengatakan, kedua ungkapan di depan itu ritmis, atau bahasa mancanya ‘rhyming’, seperti yang lazim ditemukan dalam pantun karena dalam kultur Melayu ‘pantun’ terus dilestarikan. Dalam setiap kesempatan formal, katakan saja dalam forum-forum seminar, kelaziman mengawali dan mengakhiri penyajian dengan pantun adalah hal sangat biasa.

Kultur Melayu
Nah, betulkah bentuk kebahasaan berdimensi estetis itu hanya terjadi dalam kultur Melayu, seperti juga yang diilustrasikan artis cantik itu. Tentu tidak! Ayo kita sejenak duduk di depan televisi ! Temukan dan cermati iklan tissue! Anda pasti menemukan, ‘Tissue ya Tessa’. Bentuk ritmis itu terkesan indah,  bukan?

Ayo kita cari lagi bentuk lain yang berdimensi estetis, sekalipun mungkin  tidak  ritmis seperti disebutkan di depan itu. Coba cermat iklan obat pelancar buang air besar, ‘Activia’! Apa yang dapat Anda tangkap dari iklan itu dalam kaitan dengan estetika? Nah, Anda mungkin tidak pernah mencermati bahwa ‘I’ kedua pada kata ‘Activia’, digambarkan dengan anak panah meluncur ke bawah.  Memang tidak perlu digambarkan vulgar, bahkan menjijikkan, karena terkait dengan ‘hajatan’ seseorang. Maka, bentuk ‘I’ yang digambarkan dengan ‘anak panah’ yang  meluncur ke bawah itu pasti juga berdimensi estetika.

Nah, ayo coba lihat pula di ujung gang wilayah Kota Jogja! Di sana ada papan pemberitahuan kecil berwarna hijau  bertuliskan ‘Jalur Alternatif Sepeda Menuju  Jalan X’. Tidak sadarkah Anda bahwa disitu ada gambar telapak tangan yang menunjukkan arah? Dalam konteks estetika, bahasa simbol untuk menunjukkan arah demikian ini pun bagus dan tepat digunakan.

Di kampus saya, tepatnya di depan pintu masuk utama, berdiri papan yang dibentuk seperti seorang manusia berpakaian Jawa lengkap dengan ‘blangkon’ dan ‘ageman bebet sordjan’, dengan  tangan mempersilakan, yakni empat jari ditekuk masuk, dan ibu jari berdiri, lalu dimiringkan sesuai dengan arah yang dikehendaki. Nah, hemat saya simbol kebahasaan ini pun estetis. Tidak perlu menggunakan kata-kata  berlebihan, tetapi simbol yang digunakan untuk menyampaikan maksud mempersilakan itu sejalan dengan nilai kultur setempat.

Berkaitan dengan estetika bahasa ini saya juga sempat mencatat peringatan yang dibuat oleh pihak kepolisian untuk berdisiplin dalam berkendaraan, ‘Terima Kasih Anda Telah Berhenti di Belakang Marka’, atau peringatan-peringatan estetis lain yang disampaikan untuk maksud melarang. Di sebuah kampus juga ditempel stiker di belakang pintu setiap ruang kuliah, ‘Terima kasih untuk tidak mencoret meja kuliah’. Hemat saya, peringatan ini juga estetis karena disampaikan santun.

Di tempat-tempat tunggu publik juga sudah banyak dipasang papan peringatan berdimensi estetis, seperti ‘Terima kasih untuk tidak merokok di ruangan ini’. Atau, ‘Anda telah membantu kami dengan tidak membuang sampah sembarangan’.  Tentu masih banyak lagi bentuk-bentuk peringatan yang kini telah mulai disampaikan dengan nuansa estetika.

Dalam konteks linguistik, ihwal estetika dalam berbahasa sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dengan prinsip kesantunan berbahasa. Dalam contoh-contoh yang disampaikan di awal tulisan,  yakni dengan model tuturan ‘ritmis’ ala sanjak pantun, dimensi kesantunan itu berupa markah-markah linguistik. Adapun dalam contoh-contoh yang disampaikan di akhir tulisan ini, dimensi kesantunan itu ditunjukkan dalam ketidaklangsungan dan ketidaktransparanan wujud kebahasaan.

Bentuk kebahasaan yang terlampau langsung, lazimnya dipahami sebagai tuturan tidak santun. Terus terang saya geli tertawa, ketika membaca peringatan di sebuah gang, ‘Yang kencing anjing!’ Ada lagi yang lebih garang, ‘Masuk kebun, pencuri! Pasti  tak gebugi!’

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya