SOLOPOS.COM - Asmadji AS Muchtar, Pengajar Pasca Sarjana UII Jogja

Asmadji AS Muchtar, Pengajar Pasca Sarjana UII Jogja

Sebagai salah satu provinsi dengan jumlah penduduk berpendidikan rendah [juga buta huruf] terbesar di Indonesia, selayaknya Jawa Tengah (Jateng) lebih serius berupaya meningkatkan taraf pendidikan, sehingga semua anak di Jateng bisa sekolah minimal lulus SMA atau sederajat, sesuai dengan program wajib belajar 12 tahun.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pada tahun ini, banyak anak di Jateng kemungkinan terancam putus sekolah, setelah banyak warga yang merantau terpaksa pulang tanpa membawa uang karena krisis ekonomi global memacetkan proyek di sejumlah kota besar. Maka semua pihak layak mencemaskan peningkatan kecenderungan anak putus sekolah di Jawa Tengah akibat kemiskinan orangtuanya. Data dari Kementerian Pendidikan menyebutkan  di  Jateng setidaknya terdapat 335.341 anak putus sekolah. Jumlah ini tergolong tertinggi secara nasional.

Oleh karena itu, Pemprov Jateng layak mencermati persebaran anak putus sekolah itu dan melakukan tindakan nyata untuk mengatasinya. Berapa jumlah lulusan sekolah tingkat dasar (SD/MI) dan berapa yang ditampung di sekolah lanjutan tingkat pertama (SMP dan MTs) di seluruh daerah. Jika jumlah lulusan SD-MI lebih besar dibanding jumlah murid baru SMP-MTs, kemungkinan besar banyak anak mengalami putus sekolah. Dalam hal ini program wajib belajar 9 tahun telah gagal.

Selain itu, yang tak kalah penting, Pemprov Jateng juga perlu mencermati angka anak usia sekolah [6 tahun] dengan jumlah murid baru di SD-MI. Jika ternyata angka anak usia sekolah lebih tinggi dari jumlah murid baru di SD-MI maka sudah jelas membuktikan adanya sekian anak yang benar-benar menjadi generasi baru yang menderita buta aksara.

 

Investasi Utama

Banyak pihak sudah mengakui pendidikan merupakan investasi utama bagi kehidupan di masa depan, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Jika tahun ini kita membiarkan sekian anak tidak sekolah atau putus sekolah, sama halnya kita sengaja membiarkan mereka menyongsong masa depan yang suram.

Sejak era reformasi, banyak pemerintah daerah kurang serius menangani  kecenderungan meningkatnya anak tidak sekolah dan anak putus sekolah. Hal ini semakin menjadi fenomena yang mewarnai era otonomi daerah. Tentu saja hal ini sangat ironis, karena reformasi justru bisa diartikan sebagai kemunduran bangsa.

Seharusnya di era otonomi daerah setiap pemerintah daerah  lebih serius menangani  kecenderungan peningkatan jumlah anak tidak sekolah dan anak putus sekolah, karena masalah pendidikan sebagian besar telah menjadi tanggung jawab daerah masing-masing.

Selain itu, kini Pemerintah Pusat telah menyalurkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang cukup memadai untuk membantu pemerintah daerah memperbaiki masalah pendidikan warga. Sangat keterlaluan jika ada daerah yang sudah menerima dana BOS yang memadai ternyata masih adasekian anak yang dibiarkan tidak sekolah atau putus sekolah di tingkat dasar.

Perlu pula diakui, dana BOS merupakan investasi masa depan yang tidak boleh disalahgunakan. Dalam hal ini, Pemprov  layak mewajibkan semua sekolah untuk bersedia menerima murid yang tidak mampu. Hal ini perlu ditindaklanjuti dengan membuat kebijakan yang adil, seperti wali murid yang mampu diajak membantu wali murid yang kurang mampu. Dengan kebijakan demikian tentu kasus anak tidak sekolah atau anak putus sekolah akan bisa dicegah, setidaknya di tingkat pendidikan dasar dan menengah. Hal ini bisa terwujud jika setiap pemerintah daerah juga serius menangani masalah pendidikan di daerahnya masing-masing.

 

Razia

Meski terdengar ekstrem, sekarang juga semua pemerintah kabupaten/kota  perlu merazia anak-anak tidak sekolah dan putus sekolah. Razia harus dilakukan dari rumah ke rumah. Misalnya, bupati memberikan instruksi kepada semua kepala desa untuk merazia anak-anak yang tidak sekolah atau tidak bisa menuntaskan pendidikan minimal 12 tahun.

Razia tersebut tentu akan efektif, jika diikuti sosialisasi yang gencar melalui spanduk dan selebaran di tempat-tempat strategis. Selain itu, setiap kepala sekolah SMP dan SMA layak mendukung razia tersebut, dengan membuka pintu sekolahnya lebar-lebar untuk menampung anak-anak dari keluarga miskin. Selain itu, program belajar Paket B dan Paket C perlu digalakkan lagi.

Layak diingat, razia terhadap anak yang tidak sekolah atau putus sekolah dulu pernah dilakukan pada masa-masa awal kemerdekaan. Hasilnya sangat positif karena banyak anak Indonesia yang semula takut belajar di sekolah kemudian bersemangat belajar di sekolah.

Pada masa-masa awal kemerdekaan, razia terhadap anak tidak sekolah dilakukan dari rumah ke rumah oleh pamong-pamong desa. Jika menemukan anak tidak sekolah langsung  didaftar di rumahnya sehingga esoknya sudah bisa sekolah. Pada masa-masa awal kemerdekaan, memang banyak anak tidak sekolah karena tidak tahu tujuan sekolah, tapi sekarang banyak anak tidak sekolah atau putus sekolah karena orangtuanya miskin.

Dengan demikian, kebodohan dan kemiskinan ternyata sama-sama menjadi kendala utama yang menghambat pembangunan sumber daya manusia melalui pendidikan. Untuk mengatasinya, tampaknya memang perlu dengan melakukan razia. Dalam hal ini, razia yang berarti main paksa terhadap anak agar bersekolah jangan dipandang sebagai tindakan yang bertentangan dengan hak azazi manusia atau demokrasi, tapi justru mendukung demokratisasi. Sebab, demokratisasi berarti juga sebuah proses menuju kehidupan yang serba sejahtera yang hanya bisa dicapai melalui proses pendidikan yang merata.

Langkah razia terhadap anak putus sekolah kini rasanya memang perlu dilakukan di semua pelosok desa, agar Jateng tidak lagi dipandang sebagai provinsi terbelakang dengan banyak penduduk yang berpendidikan rendah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya