SOLOPOS.COM - Ilustrasi koki. (freepik)

Solopos.com, SOLO—Tata boga bagi sebagian kalangan masih identik dengan perempuan. Pandangan ini merupakan warisan budaya dari sudut pandang yang bias gender.

Seorang perempuan harus pandai-pandai menyajikan makanan. Para pria selayaknya tinggal di rumah, menikmati sajian tersebut.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Identitas pria yang seolah tabu untuk berinteraksi dengan peralatan memasak di dapur, mengolah menu masakan, ataupun berkreasi dengan bahan makanan, hingga menghasilkan jenis makanan, masih cukup melekat di masyarakat kita. Padahal, di sisi lain, sudah lumrah dan sering kita temui koki atau juru masak laki-laki.

Namun, paradigma bahwa memasak adalah ranahnya perempuan belum hilang. Inilah yang dialami seorang siswa di SMKN 3 Sukoharjo. Anggapan bahwa laki-laki kurang pantas untuk belajar memasak tidak dia ambil pusing. Dengan yakin dia mengambil Jurusan Tata Boga di sekolahannya.

“Saya ingin menjadi chef yang sukses dan mendirikan restoran dengan menu western,” begitu kata dia selalu saat ditanya mengenai cita-citanya selulus SMK.
Siswa itu adalah salah seorang siswa Kelas XI Tata Boga. Dia tertarik dengan dunia boga sejak duduk di bangku sekolah dasar. Saat masih kecil, tanpa disuruhpun, dia sering membantu ibunya yang sehari-harinya adalah seorang ibu rumah tangga.

Anak itu terbiasa menyiapkan makanan untuk seluruh keluarga. Meski menu yang biasa dimasak bersama sang ibu tergolong menu sederhana, namun dia selalu bersemangat dan sangat menikmati aktivitas di dapur bersama Mamak/Mak e, panggilannya untuk sang ibu.

Ketertarikannya pada dunia boga seperti gayung bersambut. Saat dia mengetahui dari tetangganya yang juga bersekolah di SMKN 3 Sukoharjo bahwa di sekolah tersebut ada Jurusan Tata Boga, anak laki-laki itu langsung mendaftar tanpa pikir panjang.

Keberuntungan ada di tangannya. Dia diterima. Teman-temannya yang didominasi kaum perempuan tidak menyurutkan kegembiraannya untuk bisa bersekolah di bidang boga. Baginya, laki-laki juga memiliki kesempatan besar untuk menjadi juru masak yang andal.

Pendidikan vokasi di SMK memberikan akses seluas-luasnya bagi siswa untuk mengeksplorasi minat dan bakat yang mereka miliki. Jadi, siswa itu pun yakin pilihannya memasuki jenjang SMK akan menjadi langkah awal masa depan yang gemilang.

Yakin

Setiap pilihan selalu ada tantangan tersendiri, demikian pula bagi siswa itu, siswa yang berpembawaan halus, namun selalu terkesan yakin dengan kata-kata yang dia ucapkan. Saat memilih Program Keahlian Tata Boga, siswa itu sempat menghadapi komentar yang kurang menyenangkan dari tetangganya. “Wong lanang kok sekolah masak… Mbok pilih jurusan mesin apa komputer ngono rak luwih patut”.. (Laki-laki kok memilih sekolah memasak, pilih jurusan mesin atau komputer begitu, kan lebih pantas). Anak laki-laki itu pilih mengabaikan komentar tersebut.

Satu hal yang memperkuat kecintaannya pada dunia kuliner adalah acara Master Chef di sebuah stasiun TV. Dia selalu mengikuti acara tersebut dan sangat menikmati setiap hal tentang memasak yang dieksplorasi di acara itu.

“Bagi saya para chef yang menjadi juri di acara tersebut sangat keren. Apalagi chef Renata yang sederhana, tapi cantik dan sangat mahir memasak” katanya sambil tersenyum.

Menurutnya, para chef itu sangat hebat dan menginspirasi. Suatu saat, setelah lulus SMK, dia ingin mengikuti kompetisi Master Chef agar menjadi chef terkenal dan bisa mendirikan restoran.

Langkah siswa itu untuk berkecimpung di dunia dapur tidak terlepas dari dukungan penuh orang tua dan keluarga. Dukungan tersebut menjadi hal yang sangat berpengaruh baginya. Bapaknya yang buruh bangunan tidak pernah mempermasalahkan pilihan anak bungsunya ini. Demikian juga dengan tiga kakak laki-lakinya. Mereka semua mendukung dan ikut mendorong si siswa tersebut untuk mewujudkan cita-cita.

Para kakaknya bahkan tidak segan membantu membiayai sekolah sang adik. Penghasilan mereka yang pas-pasan dari bekerja sebagai buruh atau mencetak batu bata di rumah tidak menjadi penghalang. Mereka ingin meringankan beban orang tua meski si adik memilih jalur berbeda. Kakak-kakaknya juga bersekolah di SMK, namun mereka mengambil Jurusan Otomotif dan Komputer Jaringan.

“Sejak kecil saya selalu mencicipi makanan yang ibu sedang masak. Dari ibu saya belajar mengenal bumbu dari setiap masakan,” ujar siswa itu. Dia juga sering mengantarkan ibunya ke pasar untuk berbelanja berbagai keperluan dapur. Lambat laun, kecintaannya pada kuliner membuat dia lebih suka bereksperimen memasak makanan untuk keluarganya meski dengan bahan sederhana dan seadanya.

Praktik

Di SMKN 3 Sukoharjo, anak laki-laki itu berkesempatan mempraktikkan aneka menu Indonesia maupun internasional, mulai dari sup, hidangan pembuka, hidangan utama, hidangan penutup, aneka kue, roti, serta berbagai jenis minuman. Di sekolah, dia juga mendapat ilmu tentang cara melayani tamu dan mengembangkan usaha kuliner.

Memang ada sedikit kendala. Siswa itu kesulitan menghafalkan nama-nama bahan dalam bahasa Inggris serta urutan memasak yang benar. Namun, kendala itu justru menjadi tantangan yang mengasyikkan. Dia sadar semua kesulitan tersebut harus ditaklukkan untuk meraih kesuksesan, menjadi chef yang bisa membanggakan dirinya sendiri dan orang tua. Jalan masih panjang.

Keterbatasan sarana, kendala yang lain, juga ia hadapi dengan riang gembira. Saat berangkat sekolah, siswa itu kadang harus menumpang bonceng tetangganya. Keluarga siswa itu hanya punya satu motor merek Yamaha Crypton keluaran 2000-an. Satu sepeda motor tersebut dipakai bersama. Saat kakaknya membutuhkan sepeda motor itu untuk bekerja, dia harus mengalah.

Saat pelajaran praktik, siswa itu selalu menjadi lebih bersemangat untuk segera sampai di sekolah bagaimanapun rintangannya. Semalaman dia membaca berulang-ulang resep yang akan dipraktikkan keesokan hari, menyiapkan baju praktik, dan peralatan memasak pribadi yang dijadikan satu tempat dalam sebuah boks.

“Saya paling suka praktik aneka hidangan barat, seperti stewed shrimp jambalaya atau Hungarian goulash with mashed potatoes,” ujarnya. Selesai praktik memasak, ia selalu berusaha membawa pulang hasil karyanya. Ia berharap kedua orang tua dan juga kakaknya bisa menikmati.

Masukan dari keluarga, yang positif maupun negatif, memacu semangatnya untuk terus belajar dan berkreasi. Dia benar-benar berharap dalam keyakinannya, suatu saat menjadi chef hebat seperti figur chef idolanya.

Berbicara soal memasak, menurut saya, sebenarnya bukanlah berjenis kelamin perempuan. Aktivitas memasak tidak bergender. Sudah lumrah pria menangani pengolahan makanan. Bahkan secara hitungan statistik, jumlah chef pria lebih banyak daripada perempuan. Dalam sebuah usaha kuliner, cita rasa masakan haruslah konsisten. Pakar pangan dari Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian (Fateta), IPB University, Prof Dede Robiatul Adawiyah, menyatakan masakan yang diracik chef pria selalu bisa konsisten secara rasa dibandingkan perempuan.

Threshold sensori perempuan dipengaruhi faktor hormonal, semisal menstruasi, hamil, dan melahirkan. Chef atau koki adalah profesi yang tidak hanya mengandalkan keahlian, kreativitas, dan kecermatan dalam proses penyajian menu masakan, melainkan juga fisik yang kuat.



Memang tidak dapat dipungkiri bahwa pandangan masyarakat, dari sudut pandang gender apalagi, memasak adalah domain perempuan. Salah satunya dapat dilihat dari jumlah siswa laki-laki di Jurusan Boga yang memang belum bisa berimbang apalagi mendominasi.

Jurusan Teknik Kendaraan

Dari total 205 peserta didik yang mengambil program keahlian Tata Boga, misalnya, hanya ada 45 atau sekitar 21% peserta didik yang laki-laki. Bisa jadi dan boleh saja angka ini dianggap cukup besar, tapi coba kita bandngkan dengan Jurusan Tehnik Kendaraan Ringan (TKR) yang 100% siswanya terdiri atas laki-laki.

Kondisi ini seolah menjadi gambaran bahwa masih ada pengaruh bias gender dalam pemilihan jurusan. Keseharian siswa yang saya ceritakan tak ubahnya seperti remaja seusianya. Hanya, berbeda dengan anak laki-laki seusianya yang kadang suka bermain keluar rumah, dia lebih menikmati waktunya di rumah dengan membantu pekerjaan rumah, membaca novel, melihat Youtube memasak, atau melihat acara TV. Sekali waktu, saat libur sekolah di akhir pekan, dia jogging di seputaran kampungnya.

Februari ini dia melaksanakan praktik kerja lapangan di salah satu hotel berbintang di wilayah Solo. Siswa itu bertekat bulat untuk melakukan tugasnya dengan baik. “Ini kan kesempatan saya untuk belajar lebih banyak lagi. Semoga saya ditempatkan di dapur masakan western dan senior saya baik. Jadi saya bisa belajar banyak di sana nanti,” kata dia.

Apa yang saya ceritakan ini adalah gambaran dari sekian banyak siswa laki-laki yang memilih bersekolah di jurusan yang kadang dianggap tak lazim. Beruntung komentar bernada negatif ataupun anggapan yang cenderung meremehkan tidak menyurutkan langkahnya untuk terus maju.

Kelak, semoga dia berhasil meraih mimpi. Mengenakan baju chef kebanggaannya dan memperlihatkan pada orang tuanya restoran yang berhasil dia dirikan. “Pak e..Mak e.. anakmu sekarang sudah menjadi chef hebat. Restoran ini aku persembahkan untuk Pak e dan Mak e…” Semoga.

Penulis adalah guru di SMKN 3 Sukoharjo

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya