SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, COX’S BAZAARDi dalam gubuk bambu yang gersang, Saleema Khanam, 8, mematut diri mengenakan kerudung kuning cerah. Dia bersiap keluar dari tenda pengungsian untuk pergi ke sekolah. Dia berjalan ke madrasah sambil membawa Alquran.

Saleema Khanam merupakan satu-satunya murid perempuan di madrasah yang disediakan khusus untuk anak-anak pengungsi Rohingya. Bagi anak-anak Rohingya, madrasah adalah satu-satunya tempat belajar. Sekolah formal tidak boleh didirikan di pengungsian. Jika ada sekolah formal, maka artinya tempat tersebut dianggap sebagai hunian permanen.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Lokasi madrasah tidak jauh dari gubuk keluarga Saleema di pengungsian Cox’s Bazaar, Kutupalong, Bangladesh. Saleema berjalan dengan hati-hati di jalan sempit pengungsian warga Rohingya. Lebih dari 700.000 orang Rohingya hijrah ke Bangladesh sejak menjadi target kekerasan militer Myanmar pada 25 Agustus 2017 lalu.

Sesampainya di madrasah, Saleema masuk ke dalam kelasnya yang dipenuhi teman sebayanya. Ruang kelas itu jauh dari kata layak. Ruangan sempit itu diisi lebih dari selusin anak laki-laki yang memakai peci putih. Sembari menunggu pelajaran dimulai, mereka melantunkan ayat suci Alquran.

“Saya ke sini untuk belajar membaca Alquran. Ibu ingin saya menjadi orang baik,” kata gadis cilik yang masih polos itu seperti dikutip dari Dunya News, Senin (8/10/2018).

Rohingya merupakan kaum minorits di Myanmar yang beragama Islam. Mereka yang tinggal di bagian barat terusir dari kampung halaman karena kekejaman militer Myanmar. Kekerasan yang diklaim sebagai upaya genosida tersebut dilakukan pada Agustus 2017. Akibatnya, kini ratusan ribu warga Rohingya hidup terlunta-lunta di sejumlah negara, dan yang terbanyak ada di Bangladesh.

Militer Myanmar membumihanguskan wilayah Rakhine, kampung halaman warga Rohingya. Sekolah, rumah, bahkan tempat ibadah dibakar oleh militer Myanmar. Warga Rohingya ditangkap, disiksa, dan dibunuh. Kekejaman tersebut selanjutnya dianggap sebagai bentuk genosida oleh tim pencari fakta dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).

“Mereka menargetkan madrasah dan masjid kami. Hal ini menunjukkan jika mereka mencoba menghapus budaya dan agama kami dari Rakhine. Tetapi, banyak guru yang berhasil melarikan diri dan bertahan hidup di Bangladesh. Di sini, kami bisa mendirikan madrasah baru untuk mentransfer ilmu dan budaya kepada generasi penerus,” kata seorang aktivis Rohingya, Rafique bin Habib.

Pemerintah Bangladesh memang melarang pembangunan sekolah formal dikawasan pengungsian. Mereka menegaskan pengungsi Rohingya bakal dikembalikan di Myanmar. Itulah sebabnya pengungsi Rohingya membangun sejumlah madrasah di dekat masjid yang dapat menampung ratusan murid.

Namun, madrasah tempat Saleema menuntut ilmu yang terletak di pinggir pengungsian hanya mampu menampung 12 murid saja. Ketika waktu salat jumat tiba, teman-teman Saleema bergegas ke masjid. Sementara Saleema memilih menunggu di kelas sambil mengerjakan salat sendirian.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya