SOLOPOS.COM - Arif Budisusilo (Istimewa)

Akhir Maret lalu, saya pergi ke Amerika, atas undangan Garibaldi “Boy” Thohir, Presdir Adaro Energy Tbk. Tujuan utama perjalanan adalah menghadiri peresmian masjid At-Thohir di Los Angeles, sembari melihat-lihat dari dekat perkembangan mobil listrik di kota industri hiburan tertua Amerika itu.

Ada pengamatan menarik dari perjalanan tersebut. Benar kata orang, seeing is beliefing. Melihat geliat mobilitas masyarakat di Los Angeles, seolah membuktikan bahwa pandemi Covid-19 seakan-akan sudah sirna di negeri yang kerap disebut Paman Sam itu. Makan di restoran pun berdesak-desakan tanpa jaga jarak. Manusia yang lalulalang di tempat-tempat keramaian juga amat jarang yang mengenakan masker.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Perilaku warga di Los Angeles sudah seperti sediakala. Seperti sebelum pandemi. Rumusan dasar bahwa geliat ekonomi identik dengan mobilitas manusia, jelas tak terbantahkan. Dan mobilitas manusia selanjutnya menghasilkan dampak berganda bagi ekonomi. Terlebih dengan campurtangan teknologi.

Namun tiba-tiba saja, harapan itu tersekat. Karena perang di Ukraina. Tatkala ekonomi sudah mulai pulih karena kembalinya mobilitas manusia pasca pandemi, tiba-tiba ketidakpastian baru muncul dari dampak perang Ukraina. Kelangkaan energi dan pangan. Harga dari dua variabel terpenting dalam aktivitas kehidupan manusia ini ujug-ujug melonjak.

Kebutuhan akan energi dan pangan meningkat tatkala pasok dunia merosot akibat blokade terhadap Rusia. Negeri yang dipimpin Vladimir Putin itu kini dianggap sebagai musuh bersama oleh Blok Barat, yang dipimpin Amerika dan para sekutunya.

Maka, dikombinasikan dengan pergerakan manusia yang mulai pulih, hasilnya adalah inflasi. Barusan, ketika saya menulis kolom ini, ada kabar inflasi di Jerman bahkan telah mencapai level terburuk sejak perang dunia kedua: di atas 30%.

Di banyak belahan dunia, kenaikan harga pangan dan bahan bakar kemudian menjelma menjadi krisis ekonomi yang nyata. Saya menyaksikan di Aljazeera, di Peru terjadi demo warga atas kenaikan harga-harga, yang berlangsung brutal disertai penjarahan. Di Srilangka terjadi krisis politik, karena kabinetnya dianggap tak mampu urus ekonomi.

Di Amerika sendiri, harga bensin super (Oktan 92) melonjak drastis hanya dalam sepekan. Dari US$6,5 saat saya tiba pada 25 Maret, menjadi US$7,5 saat mau kembali ke Jakarta. Itu harga per galon, atau 4 liter. Saya coba konversi ke rupiah, per liternya menjadi sekitar Rp28.000.

Dulu sering kita dengar istilah “anak polah bopo kepradah”. Maknanya, anaknya bikin ulah, orang tuanya yang jadi repot. Mungkin hari ini dalam konteks geopolitik dan geoekonomi global, analogi itu bisa dipakai. Amerika polah, ekonomi dunia kepradah.

Di Asean, harga bahan bakar juga tak terkendali. Di Singapura, harga bensin setara pertamax sudah mencapai Rp30.000 per liter.

Di Indonesia, harga bahan bakar subsidi relatif terkendali, seperti Solar. Namun harga jenis bahan bakar yang sepenuhnya dilepas ke pasar, seperti Pertamax dan Pertamina Dex, naik gila-gilaan.

Bahkan di salah satu pompa bensin milik perusahaan minyak asing di Jakarta, saya batal membeli minyak Diesel (semacam PertaminaDex), karena terpampang harganya Rp18.000 per liter. Saya langsung balik kanan mencari pompa bensin Pertamina. Saat ini, harga bahan bakar jenis PertaDex masih dijual di bawah Rp14.000 per liter.

Baca Juga: Amerika Serikat Perpanjang Sanksi untuk Empat Negara Ini, Mana Saja?

***

Dalam perspektif ekonomi, perang Ukraina vs Rusia ini sesungguhnya adalah “Perang Amerika”. Amerika tampak dominan dalam memainkan kepentingan. Semua negara diajaknya untuk memblokade ekonomi Rusia, sebagai “sanksi” atas serangan terhadap Ukraina.

Tekanan dan ancaman bukan hanya ditujukan terhadap blok Barat yang menjadi sekutunya, tetapi juga terhadap rival utama China, lalu India, dan kini merembet ke Indonesia. Bahkan, kini Indonesia dituding melakukan pelanggaran hak asasi manusia atas penerapan aplikasi PeduliLindungi dan beberapa isu lainnya.

Yang bikin pusing Indonesia, Amerika juga mengancam “boikot” KTT G-20 akhir tahun ini, bila mengundang Presiden Rusia Vladimir Putin. Begitu kira-kira.

Satu diplomat senior bercerita, baik anggota Kongres, anggota Senat maupun eliter birokrat di Washington D.C selalu mengingatkan agar Indonesia tidak mengundang Rusia dalam pertemuan puncak G-20 nanti.

Padahal, ini adalah momentum penting bagi kepresidenan Indonesia di G-20 tahun ini. Kebetulan, temanya adalah Recover Together & Recover Stronger, yang menandai proses pemulihan ekonomi dunia dari serangan wabah alias pandemi Covid-19 dua tahun terakhir ini.

Lebih dari itu, Perang Amerika telah berhasil menjatuhkan bom cluster yang kian memporakporandakan ekonomi dunia, yang belum benar-benar pulih dari pandemi.

Lihat saja, harga komoditas dunia terus naik hingga hari ini. Dan tak terhindarkan, harga pangan dunia naik, karena sebagian besar pasok gandum, minyak goreng dari bunga matahari, minyak canola, berasal dari negara zona perang itu, terutama dari Rusia.

Sebaliknya, minyak sawit kini justru laris di dunia, diburu sebagai pengganti minyak goreng bunga matahari. Padahal, sebelum blokade akibat perang Ukraina, negara-negara di Eropa “mengharamkannya”. Harga global minyak goreng asal sawit Indonesia menjadi mahal. Akibatnya, minyak sawit Indonesia pun banyak pergi keluar. Akibat selanjutnya, harga di dalam negeri jadi mahal.

Bukan cuma minyak goreng. Harga batubara juga terus menanjak naik sejak awal tahun ini. Komoditas sedang menjadi primadona. Kadang saya bercanda, jangan-jangan, para pebisnis yang berbasis komoditas ini justru berterimakasih ke Amerika.

Dan secara makro, rentetannya begitu luas. Sepekan lalu, Dana Moneter Internasional atau IMF menyebutkan bahwa kali ini dunia menghadapi apa yang disebut krisis ganda. Pernyataan yang dilontarkan Kristalina Georgieva, Managing Director IMF, sesaat menjelang spring meeting lembaga itu bersama Bank Dunia, tentu saja cukup mengguncang. “To make it simply: we are facing a crisis on top of a crisis,” kata Kristalina.

Ada tiga hal yang disorot IMF. Pertama, pandemi yang belum sepenuhnya berakhir. Ini berpotensi melebarkan jurang antara negara kaya dan miskin.

Kedua, perang. Di atas segala tragedi kemanusiaan di Ukraina, di mana lebih dari 11 juta orang terlantar, implikasi perang telah membawa konsekuensi ekonomi yang menyebar dengan cepat dan jauh. Memukul paling keras orang-orang yang paling rentan di dunia.

Menurut IMF, ratusan juta keluarga semakin berat hidupnya dengan pendapatan yang lebih rendah dan harga energi dan pangan yang lebih tinggi. Inflasi telah menjadi bahaya yang nyata bagi banyak negara di dunia. “Ini adalah kemunduran besar bagi pemulihan global,” kata Kristalina.

Barangkali istilah yang mudah dimengerti: pendapatan kita turun, kesulitan kita naik. Inilah yang disebut krisis ganda. Kemampuan manusia (dan pembuat kebijakan) untuk menghadapinya semakin diperumit oleh risiko lain yang semakin meningkat.

Terlebih dengan fragmentasi ekonomi dunia menjadi blok-blok geopolitik, dengan standar perdagangan dan teknologi yang berbeda, sistem pembayaran, dan cadangan devisa yang berbeda-beda.

Baca Juga: Perangnya Amerika Serikat, Krisis Ganda bagi Dunia

***

Maka, “Perang Amerika” ini telah menghasilkan dilema yang sulit dan rumit. Termasuk bagi Amerika sendiri.

Izinkan saya mengutip komentar Hasan Zein Mahmud, mantan Dirut Bursa Efek Jakarta (kini Bursa Efek Indonesia). Bagi Hasan Zein, perang dunia ketiga sejatinya sudah meletus. Dan medannya adalah ekonomi.



Lingkup, dampak, dan korbannya, bahkan jauh melampaui perang senjata dan perang fisik di Ukraina. Sistem moneter global mulai retak ketika Amerika menjatuhkan bom pertama. Ketika AS membekukan cadangan devisa Rusia dan dana-dana warga Rusia dalam sistem perbankan Barat. Kepercayaan terhadap sistem keuangan internasional rontok.

Bom kedua adalah sanksi ekonomi Barat terhadap Rusia. Produk-produk energi, logam dasar, pangan mendadak menjadi langka. Masyarakat kekurangan kalori, biaya produksi meningkat tajam, bahkan beberapa terpaksa berhenti. Inflasi menggila.

Bom pamungkas, menurut Hasan Zein, dijatuhkan oleh Rusia. Pertama, Vladimir Putin memutuskan untuk membuat Rubel kembali ke standard emas, dengan mengaitkan langsung nilai Rubel dengan cadangan emas di bank sentralnya. Satu gram emas setara dengan 5.000 Rubel.

Bila ini efektif, bersamaan dengan rontoknya kepercayaan terhadap dolar AS, kepercayaan terhadap Rubel meningkat. Diperkirakan, negara-negara akan mulai mengurangi aset dolar AS dalam portfolio devisanya. Juga dalam transaksi perdagangan atau transaksi internasionalnya.

Bom kedua dijatuhkan Putin dengan mengharuskan pembelian produk Rusia memakai Rubel. Bayangkan: gas alam, minyak bumi, palladium, aluminium dan gandum, hingga minyak bunga matahari dari Rusia harus dibayar pakai Rubel.

Artinya, negara negara mitra dagang “digiring” untuk menyimpan devisanya dalam bentuk Rubel. Tanpa kekhawatiran akan menurunnya nilai Rubel. Tanpa kekhawatiran Rusia akan “seenak perutnya sendiri” mencetak Rubel sebanyak-banyaknya, seperti yang dilakukan AS dengan greenback-nya.

Wah, bila kalkulasi Hasan itu benar, barangkali ini yang disebut perjalanan ekonomi dunia menuju keseimbangan barunya. Nah, bagaimana menurut Anda? (*)

Esai ini ditulis oleh jurnalis Solopos dan Bisnis Indonesia Arif Budisusilo.







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya