SOLOPOS.COM - Andwi Joko Mulyanto (JIBI/SOLOPOS/dok)

Mengejutkan memang, hasil penelitian Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) yang dirilis beberapa waktu lalu. Fitra menyebutkan setidaknya 124 pemerintah daerah (Pemda) terancam bangkrut karena belanja dalam APBD-nya lebih dari 70% untuk gaji PNS (termasuk di berbagai tunjangan serta hororarium kegiatan). Harus diakui tunjangan memang lebih besar daripada gaji pokok yang diterimakan.

Andwi Joko Mulyanto (JIBI/SOLOPOS/dok)

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Apabila kita menelaah APBD di banyak daerah, ada dua hal yang secara kasar dapat langsung terlihat. Pertama, APBD cenderung defisit. Ambil contoh APBD Kota Solo 2011 yang diperkirakan akan mengalami defisit Rp 65 miliar, demikian juga dengan APBD Kota Semarang yang diperkirakan akan defisit Rp 207 miliar. Kedua, belanja langsung (belanja untuk pembangunan) lebih kecil dibandingkan dengan belanja tidak langsung (belanja untuk pegawai).
Hasil pembacaan yang dilakukan Pattiro Solo terhadap dokumen APBD Kota Solo mulai 2007 hingga 2011 menyatakan belanja langsung APBD Kota Solo selalu menurun. Pada 2007 sebesar 47,63%, pada 2011 hanya 38,89%. Sedangkan belanja tidak langsung meningkat cukup signifikan. Belanja tidak langsung itu sebesar 52,37% pada 2007, sedangkan pada 2011 sebesar 61,11% dari total belanja dalam APBD Kota Solo.

Dua hal tersebut baru pada pembacaan secara kasar terhadap dokumen APBD. Jika kita telaah lebih mendalam, ternyata dalam belanja langsung masih terdapat komponen belanja pegawai yang besarnya rata-rata berkisar 11%. Ini artinya, lebih dari 70% belanja APBD adalah untuk belanja pegawai. Hal ini jelas menjadikan APBD tidak sehat.

Ketika melihat dua fenomena dalam APBD tersebut, pertanyaannya adalah dari mana defisit APBD itu akan ditutup? Pertama, apakah Pemda akan berutang? Kedua, apakah Pemda meningkatkan PAD yang bersumber dari retribusi dan pajak? Jika pilihan kedua yang diambil, harus dilakukan dengan bijaksana agar tidak membunuh iklim usaha kecil dan menengah yang banyak menopang ekonomi masyarakat serta jangan menaikkan retribusi pada layanan masyarakat, misalnya layanan kesehatan.

Sebagai pembanding, hasil telaah Pattiro Magelang menyatakan retribusi kesehatan di Kabupaten Magelang lebih dari 60% dari total retribusi daerah pada setiap tahun. Hal ini jelas membebani masyarakat sebab dari sektor inilah PAD didongkrak. Apabila pilihan pertama yang diambil, konsekuensinya adalah semakin berkurangnya belanja untuk publik pada tahun berikutnya karena harus membayar utang daerah, dan ini berimplikasi pada semakin surutnya pembangunan. Pilihan ini juga akan berampak kenaikan pajak dan retribusi dalam rangka mengejar target PAD untuk menutup utang tersebut.

Adakah pilihan lain untuk menyehatkan APBD? Sebenarnya ada beberapa hal (selain dua hal di atas) yang dapat dilakukan oleh Pemda. Pertama, Pemda menjual aset-asetnya pada swasta, namun ini bukanlah pilihan bijaksana. Penjualan aset bukan perkara mudah. Kedua, mengoptimalkan potensi daerah yang dapat dijadikan sumber PAD, misalnya dengan optimalisasi dan reformasi perusahaan daerah (Perusda).

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Perusda tidak pernah dapat memberikan keuntungan pemasukan dalam APBD. Ini yang harus direformasi dan dioptimalkan. Beberapa Perusda yang ada harus dioptimalkan untuk dapat bersaing dengan perusahaan swasta. Perombakan dan perbaikan manajemen mutlak dilakukan. Jika perlu Perusda go public dengan pemegang saham mayoritas tetap Pemda.

Ketiga, menghemat belanja pegawai. Sebagaimana diungkapkan di atas, belanja pegawai dalam APBD lebih dari 70%. Selain untuk gaji pokok juga untuk tunjangan dan honorarium. Gaji adalah hak normatif pegawai, dan tunjangan adalah juga hak pegawai sebagaimana diatur dalam PP No 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Namun, nilai tunjangan harus disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah.

Jadi daerah harus mawas diri terhadap kemampuan APBD. Honorarium adalah tambahan penghasilan yang melekat pada kegiatan karena tambahan pekerjaan. Tidak salah memang seorang pegawai mendapatkan honor di luar gaji dan tunjangan karena dia mengelola dan mengurusi kegiatan tertentu. Akan tetapi, perlu diingat bukankah secara normatif seorang pegawai digaji untuk mengerjakan pekerjaan dan menyelesaikan kegiatan?

Keempat, menunda (moratorium) rekrutmen pegawai baru. Rekrutmen PNS bukan kewajiban yang harus selalu dilakukan oleh Pemda pada setiap tahun. Hal ini harus didasarkan pada analisis atas kebutuhan pegawai dengan rasio jumlah penduduk di daerah tersebut. Kota Solo saat ini memiliki pegawai sekitar 10.315 orang dengan jumlah penduduk 500.000 jiwa. Ini artinya, satu orang PNS melayani 50 orang.

Hitungan kasar tersebut diperkirakan menunjukkan jumlah yang lebih kecil sebab tidak semua warga Solo membutuhkan pelayanan serta tidak semua PNS bertugas memberi pelayanan. Artinya, dengan perhitungan tersebut jumlah PNS di Kota Solo lebih dari cukup. Memang perhitungan rasio jumlah pegawai dan jumlah penduduk bukan satu-satunya alasan dalam menentukan jumlah PNS di suatu daerah.

Bahwa Pemda harus melakukan analisis beban pekerjaan pegawai adalah mutlak untuk dilakukan. Ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kinerja para pegawai. Apakah memang mereka telah kelebihan pekerjaan atau tidak? Bagaimana dengan kinerjanya selama ini? Semuanya diukur dan dianalisis. Pada saat ini, dalam mengukur kinerja pegawai, beberapa kementerian mengembangkan dan menggunakan indikator kinerja yang disebut key performance indikator. Setiap pegawai akan diketahui kinerjanya berdasarkan penilaian terhadap kinerja pegawai tersebut.

Kreatif>/strong>
Di samping rasio jumlah penduduk dan jumlah pegawai, juga harus dipertimbangkan jumlah unit kerja. Unit kerja atau satuan kerja perangkat daerah (SKPD) berkaitan dengan urusan wajib dan pilihan yang ditangani Pemda. Hasil analisis inilah yang menjadi dasar rekrutmen PNS serta dapat digunakan untuk menerapkan pensiun dini bagi PNS yang tidak produktif.

Penundaan rekrutmen PNS setidaknya menjadikan APBD tidak semakin terbebani belanja pegawai. Dan di sisi lain, Pemda harus semakin kreatif mengembangkan potensi-potensi daerah yang belum tergarap. Potensi-potensi itulah yang harus dikembangkan dan dioptimalkan guna menaikkan PAD baik melalui retribusi maupun pajak. Jadi bukan dengan menaikkan retribusi dan pajak yang ada selama ini, namun dengan kreativitasnya Pemda menggali potensi pendapatan.
Meskipun dana dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah pada setiap tahun selalu ada, seperti dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dana bagi hasil pajak maupun dana hibah dan bantuan sosial lainnya, namun optimalisasi potensi pendapatan harus dilakukan sebagai upaya penyehatan APBD, selain penghematan belanja pegawai.

Harus diakui sampai saat ini belum banyak daerah yang mengkaji dan menelaah secara mendalam pendapatan daerah beserta potensi-potensi yang dapat dioptimalkan dalam rangka pemenuhan pendapatan asli daerah (PAD). Kajian ini menjadi hal yang cukup strategis pada saat ini sebagai langkah awal untuk menyehatkan APBD.

Kelima, menekan kebocoran anggaran. Semakin minimal anggaran yang bocor maka dapat dilakukan penghematan anggaran. Pada saat ini hampir selalu dapat dipastikan bahwa proyek pembangunan yang dijalankan pemerintah selalu mengalami kebocoran. Kebocoran anggaran dapat ditekan dan diminimalisasi ketika pemerintah memiliki integritas dalam pengelolaan keuangan daerah. Dengan integritas tersebut akan tercipta akuntablitas pengelolaan keuangan daerah. Akuntabilitas dapat dicapai ketika ada transparansi dalam pelaksanaan pembangunan dengan melibatkan masyarakat dalam pengawasan.

Program e-procurement adalah salah satu upaya menuju transparansi yang dapat dilakukan dalam pembangunan. Agenda selajutnya adalah mendorong dan memberikan ruang kepada masyarakat dalam mengawasi pembangunan. Ini bisa dilakukan dengan memberikan ruang dan mekanisme pengaduan serta penanganan pengaduan yang jelas. Masyarakat ketika mengawasi dan menemukan beberapa hal yang tidak wajar dalam pelaksanaan pembangunan dapat melaporkan temuannya tersebut.

Selama ini ruang partisipasi masyarakat dalam pengawasan telah dibuka, namun masih setengah hati. Masyarakat dapat mengawasi, akan tetapi ketika menemukan beberapa hal yang tidak wajar mengalami kebingungan ke mana akan mengadukan atau melaporkan temuan itu. Pola dan mekanisme ini yang harus dibenahi.

Beberapa alternatif solusi dalam rangka penyehatan APBD tersebut hanya dapat berjalan jika dan hanya jika ada kemauan dan kemampuan Pemda dengan didukung oleh segenap elemen masyarakat. Tanpa itu semua, upaya yang dilakukan hanya berkutat pada proses dan takkan membuahkan hasil yang optimal.

Andwi Joko Mulyanto, Direktur Eksekutif Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) Solo

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya