SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Alun-alun selalu ada di setiap kota. Dua alun-alun di Jogja yakni sisi lor (utara) dan kidul (selatan) yang masing-masing merupakan halaman depan dan halaman belakang Keraton. Sebagai ruang publik, alun-alun dipergunakan untuk aktivitas warga tanpa pungutan biaya. Kehidupan alun-alun selalu semarak dengan kegiatannya masing-masing.

Jika Alun-alun Utara sering dipergunakanan untuk penyelenggaraan pentas dengan panggung besar, Alun-alun Kidul (Alkid) fungsinya lebih fleksibel untuk santai dan tujuan wisata. Keberadaan Alkid kini menjadi salah satu tempat perputaran modal untuk bisnis hiburan dan kuliner khas di kawasan itu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ya, Alkid menjadi bagian dari denyut perekonomian Jogja, pasalnya di kawasan ini perputaran modal untuk berbagai bisnis terlihat lancar dengan kisaran jumlah yang diprediksi cukup besar. Dari pantauan Harian Jogja, Sabtu malam (30/7) tak kurang dari 700-an orang bergantian hilir mudik menikmati berbagai tawaran hiburan dan kuliner Alkid.

Berjajar becak modifikasi saling beriringan mengelilingi alun-alun itu. Setidaknya tak kurang dari 20 becak modifikasi selalu berganti penumpang rata-rata setengah jam sekali. Eko, 37, salah satu pengelola becak modifikasi mengaku mulai mangkal sejak pukul 17.00 WIB hingga paling tidak pukul 23.30 WIB. “Penyewa tidak pasti, bisa dirata-rata setidaknya ada empat-lima penyewa,” ujarnya.

Jika satu kali sewa untuk dua hingga tiga putaran dipatok harga Rp25.000-Rp35.000, maka dalam semalam minimal ia akan mendapatkan sekitar Rp150.000 selama enam jam. Jika diakumulasi dengan penyewa lainnya, pemasukan kotor untuk bisnis becak modifikasi mencapai Rp3 juta tiap malam.

Lain lagi dengan penyewaan tutup mata untuk kegiatan masuk di antara dua beringin (Masangin). Masangin merupakan salah satu tawaran hiburan menarik di kawasan Alkid. Hiburan ini populer dipercaya masyarakat Jogja dan sekitarnya sebagai ritual permintaan permohonan dengan berjalan menuju ruang antara dua beringin dengan mata tertutup.

Tradisi lama yang telah mengakar di kalangan masyarakat itu menjadi peluang bisnis sejumlah anggota komunitas pedagang di Alkid. Sekurangnya lima orang menawarkan penyewaan tutup mata dengan harga Rp3.000-Rp4.000 untuk sekali permainan. Dari hilir mudik pendatang yang mayoritas kaum muda-mudi, dikatakan Wahyu, 32, salah satu penyedia jawa sewa, dirinya mendapatkan lima hingga sepuluh konsumen setiap malam. Pemasukan dari bisnis Masangin setidaknya mencapai antara Rp100.000-Rp200.000 per malam.

Belum lagi untuk pendapatan bisnis kuliner seperti angkringan, cimol, tempura, bakwan kawi, ronde, lesehan, jagung bakar dan lainnya yang selalu saja dikunjungi konsumen secara bergantian.

Sukardi, 54, warga Wonosari penjual makanan angkringan mengaku setiap harinya rata-rata mendapatkan pemasukan kotor minimal Rp200.000, sementara Yatno, 38, mendapat pemasukan dagang wedang ronde minimal Rp150.000 setiap malam. Jika rata-rata pedagang makanan dan minuman mendapatkan penghasilan yang setara, maka sekurangnya pendapatan bisnis kuliner untuk sekurangnya 30 pedagang mencapai Rp30 juta hingga Rp40 juta tiap malam.

Geliat ekonomi tidak hanya nampak pada gemerlap lampu becak modifikasi di malam hari, semangat bisnis dagang kawasan ini pun telah nampak di pagi hari ketika Alkid dipenuhi oleh orang-orang dewasa atau keluarga yang berolahraga dan menikmati sarapan bubur ayam, nasi uduk atau lontong opor. Pun juga ketika waktu beranjak siang beberapa warung makan mulai buka hingga sore menunggu shift dengan pedagang untuk malam hingga dini hari. Beberapa hiburan anak-anak juga nampak seperti kereta kelinci, andong kecil, dan sepeda tandem.
 
Pergeseran fungsi
Dalam perkembangannya, Alkid tidak hanya menjadi halaman belakang Keraton yang secara tradisi lebih baik steril dari kegiatan publik. Beberapa waktu sebelumnya, kepada Harian Jogja, Kerabat Keraton Ngayogyakarta Romo Tirun Marwito pernah mengatakan seyogyanya Alkid menjadi ruang yang tenang, bukan untuk kegiatan keramaian. Namun, di sisi lain dirinya mengatakan bahwa kini fungsinya telah bergeser menjadi ruang publik. “Hanya saja jika akhirnya dijadikan ruang publik maka memang butuh penataan dan organisasi,” ungkapnya saat ditemui di kediamannya di sisi barat Keraton beberapa waktu lalu.

Secara kasat mata memang terlihat jelas, Alkid menjadi salah satu tujuan wisata yang bisa dikatakan murah meriah. Tempat ini menawarkan juga lokasi tak berbayar ketika warga hanya ingin menghabiskan malam tanpa membeli makanan atau menyewa jasa apapun yang ditawarkan. Alkid kini tak ubahnya seperti panggung hiburan yang melibatkan aktivitas semua usia dari anak-anak hingga dewasa.

Dari yang semula sebagai lapangan tempat latihan prajurit Keraton kini alkid telah menjelma menjadi ruang publik yang modern. Perputaran modal berbagai bisnisnya cukup menggiurkan. Terkait itu, rencana penataan Alkid menjadi salah satu wacana yang setidaknya membuat gelisah beberapa pedagang. Pada intinya para pelaku bisnis di Alkid berupaya untuk kooperatif dengan bersedia mengikuti peraturan penataan. “Asalkan penataannya tetap mendukung peningkatan pendapatan, kami tidak masalah,” ujar Sukardi.(Wartawan Harian Jogja/Pamuji Tri Nastiti)

HARJO CETAK

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya