SOLOPOS.COM - Ilustrasi (Burhan Aris Nugraha/JIBI/SOLOPOS)

Ilustrasi (Burhan Aris Nugraha/JIBI/SOLOPOS)

JAKARTA–Alih fungsi lahan pertanian sulit dibendung, karena alih fungsi lahan menjadi sumber pemasukan bagi pemerintah daerah melalui perizinan serta adanya tuntutan pembangunan infrastruktur yang sangat besar yang membutuhkan lahan sangat luas.

Promosi Simak! 5 Tips Cerdas Sambut Mudik dan Lebaran Tahun Ini

Anggota Komisi IV DPR, Siswono Yudhohusodo, mengatakan kebutuhan lahan untuk sarana dan prasarana sangat luar biasa. Pertumbuhan penduduk 1,5% per tahun, maka akan ada tuntutan kebutuhan lahan yang terus bertambah.

“Ini menjadi tidak mudah, karena banyak pemda menjadikan perubahan peruntukkan [konversi lahan pertanian] untuk memperoleh pendapatan lebih tinggi. Nilai ekonomi tanah itu kalau untuk komersial yang tertinggi, kedua untuk hunian lalu industri, dan lahan pertanian yang terendah,” ujarnya saat acara Focus Group Discussion Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah, Jumat (21/12/2012).

Oleh karena itu, pemda terus meningkatkan penggunaan lahan untuk kepentingan komersial agar memperoleh pendapatan daerah lebih banyak. “Keinginan kita untuk menahan laju konversi bukan mudah. Kondisi menjadi lebih sulit, karena kota-kota dikelilingi sawah, kalau kita lihat di desa banyak berubah menjadi kota. Perkembangan itu memberikan tekanan luar biasa.”

Dia mencontohkan luas hutan di Jawa pada 1980 mencapai 12 juta hektare (ha), tetapi saat ini turun menjadi 3 juta ha. Padahal, luas Pulau Jawa mencapai 13,2 juta ha. Selain penurunan luas hutan di Jawa, katanya, dampak lingkungan dari eksploitasi lahan selama ini sudah menyebabkan perubahan lingkungan.

“Erosi luar biasa, akhirnya mengendap di muara, luar biasa. Erosi tinggi, danau mendangkal, waduk umur penggunaan jadi pendek.”

 Sawah Baru

Dia menegaskan untuk mengendalikan laju konversi lahan pertanian tidak mudah. Oleh karena itu, alternatif yang dapat dilakukan dengan melakukan pencetakan sawah baru di Luar Jawa. Apalagi, orang yang masuk ke Pulau Jawa lebih besar dibandingkan dengan orang yang keluar dari Jawa. Pencetakan sawah baru itu, menurutnya, dengan membuka areal lahan baru di luar Jawa.

“Karena mengerem perubahan alih fungsi lahan sulit sekali.”

Siswono mencontohkan lahan pertanian ketika dirubah menjadi kawasan real estate, maka harganya naik tajam. Untuk itu, pemerintah perlu membuat loncatan. Sebagai contoh, pemerintah membuka areal pertanian 50.000 ha, kemudian dibagi kepada petani masing-masing 5 ha per petani dengan diberikan peralatan pertanian.

Hal itu untuk menghindari jebakan sistem yang sudah ada saat ini, yaitu pola pikir bahwa petani merupakan petani gurem. “Jangan-jangan terjebak oleh sistem yang sudah mengungkung kita.”

Kepemilikan lahan sawah (tanaman pangan) di Indonesia hanya sekitar 350m2 per kapita, sedangkan di Thailand 5.000 meter persegi, India 1.600 meter persegi , China 1.120 meter persegi, Vietnam 960 meter persegi.

Siswono menambahkan untuk dapat swasembada pangan, maka diperlukan tambahan lahan pertanian 100.000 ha per tahun. Sementara itu, untuk dapat menjadi eksportir pangan, lanjutnya, maka Indonesia harus dapat menambah lahan pertanian pangan 200.000 ha per tahun. Dia menuturkan masih ada potensi penambahan lahan pertanian pangan 10 juta ha dan lahan kering 5,1 juta ha sehingga total ada potensi 15,1 juta ha.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya