SOLOPOS.COM - Ilustrasi pembangunan perumahan (Burhan Aris Nugraha/JIBI/Solopos)

Pemerintah kadang terlambat membuat regulasi berkaitan dengan alihfungsi lahan.

Harianjogja.com, JOGJA – Alihfungsi lahan yang terjadi secara cepat di wilayah DIY bisa memberi dampak negatif bagi masyarakat. Pemda DIY mengakui pemerintah seringkali terlambat dalam membuat regulasi berkaitan dengan tata ruang, seiringnya cepatnya pihak swasta dalam melihat potensi untuk melakukan alihfungsi lahan.

Promosi Semarang (Kaline) Banjir, Saat Alam Mulai Bosan Bersahabat

Kepala Bappeda DIY Tavip Agus Rayanto mengatakan, pemerintah kadang terlambat membuat regulasi berkaitan dengan alihfungsi lahan. Sehingga ketika aturan ditetapkan lebih rinci, tetapi di suatu kawasan tertentu sudah ada bangunannya. Pemerintah seringkali kalah cepat dengan swasta dalam melihat peluang dalam mendirikan bangunan.

Tavip mengambil contoh salahsatunya di kawasan pantai selatan di Tepus, Gunungkidul. Posisi pantai yang berdekatan dengan jalan raya, tetapi di pinggiran pantai banyak berdiri bangunan mulai untuk perdagangan maupun perhotelan. Padahal keberadaan bangunan di tepian pantai itu, selain membahayakan dari terjangan ombak, rawan abrasi, sekaligus menutupi keindahan pantai tersebut.

“Memang idealnya, selain persoalan keamanan ombak abrasi, keindahan, tetap menyediakan ruang tetapi di utara [jauh dari pantai]. Orang jalan tidak terganggu dengan bangunan sisi selatan,” ungkapnya di Kompleks Kepatihan pekan lalu.

Tetapi, kata dia, masalahnya ketika proses pembangunan di kawasan pantai tersebut, pemerintah belum sepenuhnya hadir mengatur. Sehingga melihat kondisi saat ini, pihak swasta pun tidak bisa disalahkan. Jika dahulu sebelum pantai banyak dikunjungi wisatawan, harusnya ada regulasi di sekitar pantai harus steril dari bangunan.

“Tetapi sekarang kan sudah terlanjur. Mau bongkar mau menata sudah susah karena sudah keduluan dengan swasta. Itu biasanya swasta lebih peka terhadap dimana ada potensi. Tetapi begitu sudah boming [pemerintah] bingung menatanya,” imbuh dia.

Ia menambahkan, bupati maupun walikota, sebenarnya bisa membuat aturan sementara sembari menunggu review Perda Tata Ruang pada 2017 mendatang. Aturan sementara itu untuk mengendalikan masifnya alihfungsi lahan oleh pihak swasta. Keputusan kepala daerah itu, substansinya adalah untuk kesejahteraan masyarakat maupun perlindungan. Jika bupati/walikota merasa takut, maka bisa berkonsultasi dengan Desk Kajian Kebijakan Daerah yang sebelumnya dibentuk antara Pemda DIY dengan Kejaksaan Tinggi DIY.

“Itu bagian dari diskresi, diskriminasi untuk kepentingan positif, artinya karena belum ada regulasi yang mengatur itu, nah [penerbitan aturan] itu sementara sembari menunggu payung hukum. Kalau kepala daerah takut, sekarang ada desk kajian kebijakan, itu kajian diskresi kan bisa dikonsultasikan kalau takut salah,” tegasnya.

Guna mengatur tata ruang lebih detail lagi, saat ini Pemda DIY dan DPRD DIY telah bersepakat mereview Perda No. 2/2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), yanag akan dibahas pada 2017 mendatang. Menurut Tavip, review Perda RTRW itu tidak berlaku surut, sehingga setelah pembahasan review selesai, pemerintah tidak bisa membongkar bangunan yang dulunya dibangun saat belum ada regulasi.

“Tidak berlaku surut, merugikan masyarakat, masak [bangunan yang sudah ada] dirobohkan, dia investasi, dulu izinnya formal, Amdalnya ada, nantinya RTRW ada penyesuaian. [Review RTRW] Ke depan sifatnya protektif ketika ada alihfungsi yang masif,” kaya dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya