SOLOPOS.COM - Ilustrasi gender. (Freepik)

Solopos.com, JAKARTA—Rumah yang merupakan lingkungan domestik, kemudian ruang publik yang di dalamnya termasuk tempat kerja, hingga institusi pemerintahan masih menjadi tempat yang berbahaya bagi para perempuan.

Komnas Perempuan mencatat jumlah laporan kekerasan berbasis gender naik sebesar 80% pada 2021 dibandingkan 2020. Jumlah itu setara dengan kenaikan 1.933 kasus pada 2021 sehingga totalnya menjadi 3.838 kasus. Dengan 236 hari kerja, maka Komnas Perempuan rata-rata menindaklanjuti 16 kasus per hari. Itu hanya data dari Komnas Perempuan.

Promosi Waspada Penipuan Online, Simak Tips Aman Bertransaksi Perbankan saat Lebaran

Apabila datanya dikompilasi dengan data lain dari lembaga layanan, semacam nongovernmental organization (NGO) serta Badan Peradilan Agama (Badilag), angkanya menjadi bertambah besar. Komnas Perempuan mencatat ada penambahan signifikan laporan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, yakni sebanyak 226.062 kasus pada 2020 menjadi 338.506 kasus pada 2021.

Data-data tersebut muncul dalam peluncuran Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan (Catahu) 2021 Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bertema Bayang-Bayang Stagnansi Daya Pencegahan dan Penanganan Berbanding Peningkatan Jumlah Ragam dan Kompleksitas Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan yang digelar secara hybrid, luring dan daring, Senin (7/3/2022).

Catahu Komnas Perempuan merupakan dokumen kompilasi tingkat nasional tentang pelaporan kekerasan terhadap perempuan yang bisa menjadi rujukan pengetahuan maupun lahirnya kebijakan-kebijakan yang sifatnya melindungi perempuan.

Wakil Ketua Komnas Perempuan, Olivia C. Salampessy, mengatakan dalam pencatatan laporan kekerasan, Komnas bekerja sama dengan instansi pemerintah maupun lembaga layanan. Sejumlah kendala yang muncul adalah rumitnya penyelesaian kasus, keterbatasan sumber daya layanan, kemampuan dan keberanian warga melapor, regulasi yang kurang memihak, dan masih banyak lagi. Sejumlah kendala itu dikhawatirkan menjadikan daya pencegahan maupun penyelesaian di Tanah Air menjadi stagnan.

Selanjutnya, data yang dipaparkan Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah, menunjukkan domain tren kekerasan terhadap perempuan yang tidak berubah pada 2021 dengan 2020. Rumah masih menjadi tempat yang paling berbahaya bagi perempuan. Hal itu ditunjukkan dengan jumlah kasus di lingkup domestik yang tertinggi dibandingkan ranah publik serta ranah negara yang berada di posisi terakhir. Baik data dari lembaga layanan dan Komnas Perempuan menunjukkan hal senada.

Yang agak berbeda adalah data dari kategori usia korban serta pelaku milik kedua lembaga tersebut. Data Komnas Perempuan menunjukkan korban kekerasan paling banyak di usia 18-24 tahun, disusul 25-40 tahun, lalu 14-17 tahun. Sementara itu, data lembaga layanan menunjukkan usia korban tertinggi adalah 25-40 tahun, disusul usia 14-17 tahun, dan terakhir 18-24 tahun.

Perbedaan juga terlihat di kategori pelaku. Berdasarkan data lembaga layanan, jumlah pelaku terbanyak di kategori usia 25-40 tahun, lalu 18-24 tahun, dan terakhir 41-60 tahun. Versi Komnas Perempuan yang tertinggi adalah 18-24 tahun, 25-40 tahun, dan terakhir 41-60 tahun. Benang merahnya adalah baik korban maupun pelaku sama-sama di usia produktif.

Untuk status korban, lembaga layanan maupun Komnas Perempuan merujuk pada pelajar/mahasiswa yang tertinggi kemudian diikuti ibu rumah tangga. Sementara, untuk pelaku kebanyakan adalah pegawai swasta lalu pelajar dan mahasiswa. Pengangguran di urutan ketiga di mana posisi ini juga harus mendapat perhatian dari pemerintah. Catatan yang lain, 9% dari jumlah pelaku kekerasan terhadap perempuan adalah PNS, guru, tenaga medis, pejabat publik, dan aparat penegak hukum.

Komnas Perempuan mencatat kekerasan yang dilakukan pejabat publik, ASN, anggota TNI, maupun Polri memiliki kekhasan. Kekhasan itu terkait kekuasan berlapis, seperti relasi kekeluargaan, ekonomi, kekuasaan jabatan, maupun pengaruh yang digunakan pelaku.

Ada empat kategori dampak yang dialami perempuan korban kekerasan, yaitu fisik, psikis, ekonomi, dan sosial. Dampak fisik bisa berupa mencederai tubuh sendiri, percobaan bunuh diri, keguguran kehamilan, dan sejenisnya.

Sementara, dampak psikis bentuknya berupa kesulitan tidur, kecemasan, gangguan mental, menjadi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), dan lainnya. Khusus dampak ODGJ ini, Komnas Perempuan mencatat kasus yang memprihatinkan di mana 50% pasien perempuan di sebuah rumah sakit jiwa (RSJ) di Abepura merupakan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Dampak selanjutnya adalah ekonomi dan sosial. Bentuknya bisa berupa kehilangan pekerjaan, pemiskinan, kehilangan barang milik, pembebanan pelunasan utang, stigma, tudahan pencemaran nama baik, dipisahkan dari anak, dan lainnya.

Terkait dengan pekerjaan ini, kasus-kasusnya tidak hanya dialami pekerja swasta, namun juga ASN. Alih-alih melaporkan atasan laki-laki yang kerap melakukan kekerasan seksual, pegawai perempuan yang menjadi korban justru lebih memilih menutup mulut dan dimutasi di bagian atau daerah yang lain supaya tidak bertemu pelaku lagi.

Masih berdasarkan pemantauan Komnas Perempuan, kasus femisida atau pembunuhan yang menyasar perempuan karena mereka perempuan juga masih tinggi pada 2021 lalu. Jumlahnya sebanyak 237 kasus.

Relasi pelaku dengan perempuan yang menjadi korban secara berurutan adalah suami, pacar, kemudian tetangga. Temuan lain adalah korban sebagai istri siri, selingkuhan, pekerja seks, dan perempuan yang diluncurkan.

Rumah Sakit Jiwa

Merujuk pada pelaku ini, ada pula benang merah yang bisa kita baca, khususnya terkait relasi pelaku dengan korban pada kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan di lingkup personal. Tiga besar pelaku kekerasan di lingkup personal, menurut Komnas Perempuan maupun lembaga layanan, adalah mantan pacar, suami, dan pacar. Jadi pelaku kekerasan sampai pembunuhan biasanya merupakan orang yang dekat dengan korban atau orang yang seharusnya melindungi korban.

Catahu juga menyoroti keberadaan perempuan yang makin terpinggirkan dalam konflik sumber daya alam (SDA) dan tata ruang. Pembangunan infrastruktur tanpa pelibatan dan persetujuan warga dalam perencanaan awal dan analisis dampak lingkungan (Amdal) berdampak buruk pada kehidupan warga sekitar, termasuk masyarakat adat, khususnya perempuan. Pembangunan waduk di NTT, misalnya, berisiko menghilangkan hutan adat di mana perempuan menjadi salah satu pengampu pengetahuan lokal yang bertumpu pada tanah.

Persoalan kepemimpinan perempuan dari tingkat sangat kecil, yakni pemilihan ketua RT juga menjadi catatan tersendiri. Di serang, dalam catatan Komnas Perempuan, terdapat seorang perempuan yang terpilih menjadi ketua RT.

Namun, hasil pemilihan itu mendapat respons negatif dari warga yang tidak mau dipimpin perempuan. Korban lantas melaporkan hal itu kepada ketua RW maupun Badan Pengawas Desa. Sayangnya, ketua RW maupun Badan Pengawas Desa justru bersepakat membuat keputusan bahwa RT haruslah laki-laki. Saat korban melapor ke Polres Serang, laporannya juga ditolak karena tidak ada delik pidana.

Dokumentasi Komnas Perempuan menunjukkan ada langkah-langkah positif yang sudah dilakukan pemerintah dalam melindungi perempuan secara regulasi walau ada beberapa sisi yang tetap harus dibenahi. Hal yang positif berkaitan dengan 29 kebijakan diskriminatif yang yang telah diklarifikasi Kemendagri, 81 kebijakan dicabut/dibatalkan dengan kebijakan baru, 1 kebijakan dibatalkan pengadilan, dan 25 kebijakan tidak berlaku. Persoalannya, masih 305 kebjakan diskriminatif yang berlaku hingga saat ini.

Komnas Perempuan juga menyayangkan pembatalan SKB seragam sekolah. Pembatalan itu dinilai menjadi langkah mundur kebijakan yang melindungi perempuan.

Melihat berbagai persoalan tersebut, Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, merekomendasikan pemerintah segera menyelesaikan beberapa kebijakan yang tertunda. Ada empat kebijakan yang tertunda itu, meliputi RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, RUU Masyarakat Adat, dan RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender. Tak hanya itu, Komnas Perempuan juga memberikan rekomendasi kepada Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Kemen PPPA, Kementerian Agama, Kemenkum HAM, Kementerian Kesehatan, Kementerian Tenaga Kerja, media, dan masih banyak lagi lainnya.



 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya