SOLOPOS.COM - Ilustrasi karpet impor (Dok. Solopos)

Solopos.com, JAKARTA -- Industri tekstil dalam negeri mengeluhkan maraknya produk karpet dan sajadah impor. Dua barang tersebut sebagian besar datang dari China dan Turki.

Harga karpet dan sajadah impor yang lebih murah sekitar 40 persen mengakibatkan serapan produk lokal terganggu. Karpet dan sajadah impor menambah daftar barang impor yang mengancam industri Tanah Air. Sebelumnya, ada produk tirai dan kain impor.

Promosi Kinerja Positif, Telkom Raup Pendapatan Konsolidasi Rp149,2 Triliun pada 2023

Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Tanzil Rakhman mengatakan kenaikan impor karpet dan sajadah mencapai 25,2 persen setiap tahun sejak 2017.

Mau Dipanen, Ribuan Ekor Ikan di Rawa Jombor Klaten Mendadak Mati

Ekspedisi Mudik 2024

Kondisi ini membuat pelaku usaha mengajukan permohonan safeguard kepada Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI). Permohonan tersebut guna melindungi industri dalam negeri.

“Sekarang utilisasi produsen karpet dan sajadah tersisa 40 persen, banyak yang telah mengurangi produksi dan pekerjanya karena kondisi ini ditambah dengan tekanan Covid-19,” ujar Rizal saat dihubungi Bisnis.com, Senin (24/8/2020).

Dia memaparkan produk karpet asal China biasanya masuk ke Indonesia dengan harga US$2,5 per kilogram. Sedangkan produk karpet asal Turki lebih murah yakni senilai US$1,3 per kg.

Celurut Gajah Ditemukan Kembali di Afrika, Segede Apa Ya?

Bea Masuk Bahan Baku Karpet Lebih Besar

Harga karpet impor itu disebutnya lebih murah 40 persen dibandingkan dengan produk serupa yang diproduksi di dalam negeri.

Dia menambahkan kurangnya daya saing produk di dalam negeri dipengaruhi oleh sejumlah hal. Namun, Rizal mengatakan tingginya bea masuk pada bahan baku utama yang banyak dipasok lewat impor merupakan faktor utama kondisi ini.

Mahalnya harga produk lokal turut dipengaruhi dengan besarnya biaya gas dan listrik industri serta produktivitas pekerja. Hal tersebut juga dibenarkan Ketua Komite Karpet dan Sajadah API Jivat Khiani. Dia menyebut bea masuk untuk poliprolena yang merupakan bahan baku utama karpet dan sajadah mencapai 10 persen.

Viral Bocah Dicekoki Air Diduga Miras, Ini Dampaknya!

Sementara itu, untuk benang dikenai bea masuk 5 persen dan produk jadi dibebaskan dari bea masuk. “Justru bahan baku yang dikenai bea masuk, padahal ketersediaan bahan baku produksi dalam negeri terbatas dan grade-nya tidak sesuai untuk karpet,” kata Jivat.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor karpet dan penutup lantai tekstil lainnya tercatat naik dalam tiga tahun terakhir atau selama 2017—2019. Pada 2017, volume impor tercatat 21.907 ton dan naik menjadi 28.706 ton pada 2018. Impor produk ini kembali naik pada 2019 menjadi 32.357 ton.

Jivat menyebutkan China menjadi pemasok utama karpet impor selama periode tersebut dengan pangsa pasar yang terus membesar. China merebut pangsa pasar sebesar 50,2 persen pada 2017 dan naik menjadi 56,1 persen pada 2018.
Total pangsa pasar China pada 2019 mencapai 63,4 persen yang kemudian disusul karpet impor Turki sebesar 19,1 persen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya