SOLOPOS.COM - Ahmad Ubaidillah (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Wakil Presiden Ma’ruf Amin pada peringatan Hari Konstitusi di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (18/8/2022), menyatakan beragam krisis yang terjadi pada beberapa waktu belakangan ini membuat semua pihak harus melakukan jihad ekonomi.

Ia mengatakan berbeda dengan pejuang kemerdekaan yang melawan para penjajah, rakyat Indonesia kini menghadapi krisis energi, krisis pangan, dan krisis keuangan yang justru menjadi tantangan pada masa mendatang.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Frasa ”jihad ekonomi” juga dilontarkan Wakil Presiden Ma’ruf Amin ketika menyampaikan sambutan di Rapat Pleno XXII Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) di Kota Semarang, Jawa Tengah. Rapat pleno itu diselenggarakan  pada 24-26 Agustus 2022.

Ma’ruf mengatakan Indonesia memiliki masalah serius yang muncul sejak awal tahun 2000-an. Masalah tersebut adalah deindustrialisasi. Sebuah fenomena ketika perekonomian berkembang dari berbasis manufaktur ke berbasis jasa. Dengan kata lain, perekonomian bertransisi dari mengandalkan sektor sekunder ke sektor tersier.

Ekspedisi Mudik 2024

Intinya, krisis-krisis tersebut memburukkan kualitas pertumbuhan ekonomi. Jihad dalam konteks ini bukan perang suci melawan orang kafir untuk mempertahankan agama Islam atau usaha sungguh-sungguh membela agama Islam dengan mengorbankan harta benda, jiwa, dan raga, yang kadang-kadang disertai kekerasan.

Jihad dalam hal ini adalah usaha dengan segala daya upaya untuk mencapai kebaikan, yaitu menciptakan pertumbuhan ekonomi berkualitas yang dibarengi pemerataan. Sebagaimana kita tahu, pertumbuhan ekonomi adalah indikator yang paling banyak digunakan dalam mengukur kinerja perekonomian suatu negara, termasuk Indonesia.

Pertumbuhan ekonomi sering direprentasikan oleh pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), produk nasional bruto (PNB), PDB per kapita, dan pendapatan per kapita. Sayangnya, konsep pertumbuhan yang diusung secara konvensional hanya mencerminkan nilai ekonomi, bukan nilai manfaat sebagaimana ilmu ekonomi yang berkembang sekarang.

Indikator-indikator tersebut tidak menunjukkan kerugikan akibat polusi, kepadatan penduduk, dan bencana alam. Semua indikator itu juga tanpa memperhatikan aspek kepatuhan syariat (sharia compliance), aspek halal dan haram misalnya.

Pertumbuhan ekonomi diharapkan dapat melahirkan kesejahteraan. Basis utama kesejahteraan tidak hanya sinergisi antara pertumbuhan dan distribusi, tetapi juga internalisasi nilai-nilai Islam—dan nilai-nilai religiositas secara lebih luas—dalam  kehidupan ekonomi suatu bangsa.

Dengan kata lain, kesejahteraan sejati tidak akan pernah bisa diraih jika kita menentang secara diametral aturan-aturan Tuhan. Penentangan terhadap aturan Tuhan justru menjadi sumber penyebab hilangnya kesejaheraan dan keberkahan hidup. Sebenarnya sila pertama Pancasila—Ketuhanan yang Maha Esa—jelas mengajarkan keilahian dalam menyusun strategi pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.

Dalam konteks ekonomi, esensi Ketuhanan yang Maha Esa menempatkan setiap tindakan ekonomi dalam perjalanan hidup manusia kembali menuju tujuan akhirnya, yaitu Tuhan. Segala nilai yang membawa langkah manusia ke arah sana akan diupayakan.

Segala langkah yang menjauhkan, menyimpang, atau berlawanan dengan arah menuju Tuhan akan dihindari. Perilaku-perilaku ekonomi—produksi, konsumsi, dan distribusi misalnya—bertujuan mendekatkan diri kepada Tuhan. Mencari keuntungan, kesejahteraan, kemakmuran, dan kebendaan dihalalkan asalkan tetap bertujuan mendekatkan manusia kepada Tuhan.

Setiap tindakan ekonomi yang memperlakukan manusia lain sebagai sasaran untuk pengerukan, penipuan, kerakusan, kelobaan, dan perbuatan-perbuatan tercela lainnya harus dihindari karena tindakan-tindakan tersebut menjauhkan diri dari Tuhan.

Kemiskinan

Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas tidak hanya melahirkan kesejahteraan, tetapi juga mengentaskan kemiskinan. Berbeda dengan konsep kemiskinan dalam ekonomi konvensional yang menekankan pada kemiskinan material, dalam ekonomi Islam kemiskinan mempunyai tiga macam bentuk: kemiskinan material, kemiskinan spiritual, dan kemiskinan absolut.

Irfan Syauqi Beik dan Laily Dwi Arsyianti (2016) menjelaskan kemiskinan material didasarkan pada ketidakmampuan memenuhi kebutuhan material sepenuhnya. Kebutuhan material antara lain sandang, pangan, dan papan. Kebutuhan material harus didefinisikan melalui proses analisis dan survei yang tepat, sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat.

Sedangkan kemiskinan spiritual didasarkan pada ketidakmampuan memenuhi kebutuhan spiritual minimal melalui pelaksanaan ibadah yang diwajibkan maupun dianjurkan dalam Islam. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan material dan spiritual ini berbeda penyebabnya.

Kemiskinan material penyebabnya adalah lebih pada alasan yang berifat ekonomis, yaitu ketiakcukupan pendapatan dalam membiayai kebutuhan pokok diri dan keluarga. Adapun kemiskinan spiritual lebih disebabkan oleh pengetahuan dan pemahaman terhadap ajaran agama yang kurang tepat.

Dalam kemiskinan spiritual ada unsur kesengajaan untuk tidak mau melaksanakan ajaran agama karena pengaruh hawa nafsu, seperti sifat serakah dan kikir, atau pengaruh aliran pemahaman yang tidak tepat. Kombinasi antara kemiskinan material dan spiritual ini disebut sebagai kemiskinan absolut.

Tiga jenis kemiskinan ini harus menjadi target jihad ekonomi. Pernyataan bahwa tidak mungkin kemiskinan dihilangkan karena itu sudah merupakan ketentuan Tuhan, yang merupakan giliran saja dengan kehendak Tuhan menggilirkan di antara mereka, harus ditepiskan jauh-jauh.

Perlu juga kita mengabaikan sebagian kalangan yang mengatakan bahwa yang kita pikirkan sebenarnya bukanlah bagaimana kita mengatasi kemiskinan. Itu tidak bisa diatasi. Itu sudah ada sepanjang sejarah. Yang harus kita pikirkan sekarang adalah bagaimana kita menanamkan kepada mereka itu kesediaan menerima kemiskinan yang mereka alami.

Selanjutnya sebagian kalangan itu mengatakan yang perlu dipikirkan adalah bagaimana caranya supaya mereka merasa tenteram dengan kemiskinan mereka, serta tidak ada unsur memberontak, tetapi mereka puas dengan keadaan seperti itu.

Dengan kata lain, kita sebagai kaum kaya mesti berusaha menyebarkan ilusi kepada kaum miskin, supaya mereka merasa kaya dengan kemiskinan mereka. Saya melihat kemiskinan di Indonesia tidak diakibatkan oleh kehendak Tuhan atau pilihan orang-orang miskin untuk hidup miskin.

Kemiskinan di Indonesia memang buah dari kebijakan yang membuat orang-orang sengaja dimiskinkan oleh sistem ekonomi ciptaan kaum rakus di negeri ini. Mereka menguasai aneka sumber daya ekonomi strategis di negeri ini.

Ekonom dan ahli agama, saya kira, perlu bersinergi untuk memberantas ragam kemiskinan tersebut dengan paradigma progresif-revolusioner dalam bidang masing-masing: ekonomi dan agama. Inilah hakikat jihad ekonomi yang masih harus terus-menerus perlu diperjuangkan pada masa kini dan masa mendatang.



(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi Sabtu 3 September 2022. Penulis adalah dosen Ekonomi Syariah di Fakultas Agama Islam Universitas Islam Lamongan di Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya