SOLOPOS.COM - M Fauzi Sukri, Bergiat di Bale Sastra Kecapi Solo (ist)

M Fauzi Sukri, Bergiat di Bale Sastra Kecapi Solo (ist)

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
(Chairil Anwar, Kerawang-Bekasi, 1948)

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Puisi itu ditulis Chairil Anwar untuk mengenang mereka yang mati membela revolusi kemerdekaan Indonesia.

Dari puisi Chairil dan dari tanggapan di berbagai media, kita menemukan semacam kesamaan antara kematian para pejuang revolusi kemerdekaan dan Sondang Hutagalung, mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Bung Karno.

Keduanya meminta yang hidup untuk memberikan arti bagi mayat mereka. Dan kita tahu, tak ada yang luar biasa yang terjadi setelah kematian Sondang.

Kematian Sondang Hutagalung dengan cara membakar diri di depan Istana Merdeka seharusnya memaksa para aktivis mahasiswa untuk memikirkan ulang model kerja aktivisme mereka atau setelah 1960-an, setelah reformasi 1998, setelah Sondang.

Meski kita tak tahu pasti perihal motivasi Sondang membakar diri, dan meski secara diskursif akan dengan mudah sekali dikaitkan dengan politik saat ini, yang jelas adalah Sondang telah memaksa kita untuk mencari dan memberikan arti setelah kematiannya.

Pressure group
Kematian Sondang seakan menggumamkan secara mendalam dan lantang tentang gerakan mahasiswa saat ini: ”Berjagalah terus di garis batas antara pernyataan dan impian”.

Aktivisme gerakan mahasiswa memang melemah bahkan nyaris  tidak memberikan pengaruh yang berarti pada perjalanan politik bangsa pasca-Soeharto, dibandingkan dengan Indonesian Corruption Watch, misalnya.

Aktivisme mahasiswa hampir absen untuk menjaga batas antara pernyataan dan impian.

Seakan ”pernyataan dan impian” aktivisme mahasiswa hanya mengkritik dan menggulingkan rezim Soeharto (atau Soekarno) lalu setelah itu selesai, atau hanya tinggal ”mengawal” tanpa jelas seperti apa bentuknya.

Begitu juga dengan aksi bakar diri Sondang. Ia bahkan tak memberikan batas pernyataan dan impian yang jelas dalam perjuangannya.

Hal ini sebenarnya tidak mengherankan. Eksponen gerakan mahasiswa ’60-an Soe Hok Gie (2008: 34) mengatakan model gerakan mahasiswa adalah seperti koboi Amerika.

”Seorang cowboy datang ke sebuah kota dari horizon yang jauh. Di kota ini sedang merajalela perampokan, perkosaan dan ketidakadilan. Cowboy ini menantang si bandit berduel dan ia menang.

Lalu cowboy itu pergi”. Demikianlah model gerakan mahasiswa, setelah meruntuhkan rezim otoriter, kembali lagi ke bangku-bangku kuliah, sebagai mahasiswa yang baik.

Atau, seperti dikatakan aktivis dan ilmuwan sosial-politik yang pernah sangat dikagumi aktivis mahasiswa, Arief Budiman (2006: 261-266), gerakan mahasiswa adalah sebagai pressure group pada kekuasaan.

Model gerakan pressure group akan memiliki kekuatan ”bila menyuarakan kebenaran yang diakui oleh sebagian besar masyarakat”.

Itu artinya saat, memakai kata-kata Gie, ”sedang merajalela perampokan, perkosaan dan ketidakadilan”. Itulah mengapa gerakan mahasiswa pada ’60-an dan 1998 begitu kuat memengaruhi percaturan politik di Indonesia.

Tapi, dengan demikian, gerakan mahasiswa hanya bergerak dalam yang ethical atau moral dan menjauh dari yang political.

Dan setelah  gerakan mahasiswa yang dipelopori mahasiswa STOVIA atau yang berada dalam lingkaran Perhimpunan Indonesia di Belanda sampai setelah kemerdekaan, gerakan mahasiswa masih sebagai gerakan protes berbasis moral dan tak begitu menekankan basis intelektual.

Dan itulah jawaban mengapa gerakan mahasiswa sekarang melempem dan hampir kehilangan napasnya setelah tumbangnya Soeharto.

Itu termasuk model gerakan bakar diri ala Sondang. Dia, menurut saya, masih terjebak dalam model gerakan moral, meski sangat radikal dan bahkan berani membuktikan kemurniannya ala Dewi Sinta.

Tapi, berbeda dengan gerakan mahasiswa sebelumnya, dalam kasus Sondang kita tak mendapati representasi kekuasaan dalam kematiannya kecuali sebuah tempat pembakaran diri yang dipilihnya, Istana Merdeka.

Dan itu pun tanpa ada perlawanan dari penguasa. Gerakan ini tentu saja tidak banyak memberikan pengaruh pada masyarakat dan akan segera dilibas oleh berita tentang korupsi, bencana atau hiburan tahun baru.



Professional rebels

Yang dilupakan oleh Sondang dan gerakan mahasiswa saat ini adalah absennya pembangunan gerakan diskursus (discourse) intelektualitas untuk mempersiapkan basis pengetahuan dan keilmuan bagi aksi mereka.

Kita ingat kematian ribuan mahasiswa China di lapangan Tiananmen pada 1989. Gerakan protes itu bukan saja telah membunuh ribuan mahasiswa, tapi pascaprotes itu gerakan mahasiswa China praktis mati sampai saat ini.

Itu karena gerakan mereka tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan wacana (discourse) dalam bentuk diskusi politik-ideologis, mengembangkan media kritis dan membangun basis pengetahuan-keilmuan yang kokoh.

Mahasiswa China tidak berkembang menjadi professional rebels. Maka, meskipun gerakan mahasiswa itu, meminjam kata Ahmad Wahib, menjadi moral movement yang radikal dinamis dan puritan, tapi tak berhasil.

Hal ini berbeda dengan gerakan mahasiswa yang dibangun dengan basis wacana nasionalisme oleh mahasiswa awal Nusantara yang menghasilkan Indonesia atau kematian empat mahasiswa Trisakti yang menumbangkan rezim Soeharto.

Keduanya dibangun oleh wacana yang kukuh dan tegas, seperti pidato Bung Hatta yang urung disampaikan di depan hakim, Indonesia merdeka! Tapi saat ini aktivisme mahasiswa, termasuk aksi bunuh diri Sondang, tak dilandasi oleh ”pernyataan dan impian” yang kuat.

Di sini, kita bisa mengkritisi aktivisme mahasiswa yang mengabsenkan diri dari pergulatan dan perjuangan wacana. Aktivisme mahasiswa yang tak bertindak sebagai professional rebels tidak akan berhasil dan akan sia-sia.

Maka saya takut, jangan-jangan aktivis mahasiswa sekarang melampaui Gie yang lantang mengatakan,”Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan.”

Saya takut aktivis mahasiswa setelah Sondang akan berkata,”Lebih baik mati bakar diri dari pada menyerah pada kemunafikan!”

Padahal mereka tak memiliki basis pengetahuan dan keilmuan (discourse) dalam gerak mereka. Dan jika itu terjadi, mengutip Gie yang diambilnya dari Injil, Let the dead be dead, biarlah yang mati tetap mati. Toh, gerakan mahasiswa akan patah tumbuh hilang berganti.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya