SOLOPOS.COM - Suasana aksi ARUS dan AMP memperingati Hari Buruh di Kawasan Nol KM, Jogja, Sabtu (1/5). (Harian Jogja/Sirojul Khafid)

Solopos.com, JOGJA — Aksi Hari Buruh Internasional, Aliansi Rakyat untuk Satu Mei (ARUS) menuntut pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) tahun 2021 diberikan 100 persen.

Menurut Humas ARUS, Restu Bhaskara, pemerintah harus memastikan perusahaan-perusahaan memberikan THR pada pekerja secara penuh. Tahun 2020, pembayaran THR yang bisa dicicil dianggap merugikan pekerja.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Pembayaran THR sebagaimana telah diatur, harus diberikan 100 persen tidak boleh dicicil,” kata Restu di sela-sela Aksi Hari Buruh Internasional di kawasan Nol KM, Jogja, Sabtu (1/5).

Baca juga:

Selain itu, ARUS pada aksi Hari Buruh Internasional juga menuntut pemerintah memberikan upah layak bagi pekerja di Jogja. Saat ini, Upah Minimum Provinsi (UMP) di DIY tergolong yang terkecil di Indonesia. “Di Jogja, UMP terendah se-Indonesia, hal ini menimbulkan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi se-Indonesia,” kata Restu.

Beberapa hal lainnya, ARUS menuntut adanya pencabutan Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja serta Peraturan Gubernur (Pergub) DIY Nomor 1. Menurut Restu, UU Cipta Kerja menghilangkan beberapa hak normatif para pekerja.

Sementara Pergub DIY Nomor 1 tentang aturan menyampaikan pendapat di muka umum dianggap membatasi penyampaian aspirasi masyarakat. Dalam pergub tersebut, pemerintah daerah DIY melarang aksi di beberapa tempat seperti Malioboro, Kraton, Kotagede, dan lainnya.

Aksi Hari Buruh  dari ARUS yang berjumlah 60 orang berasal dari 12 organisasi. Di antaranya Serikat Pekerja Kereta Api DAOP 6, serikat buruh, Federasi Perjuangan Buruh Indonesia, dan lainnya.

Baca juga:

Tuntutan Hak Buruh

Selain dari ARUS, aksi Aksi Hari Buruh juga berasal dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dengan jumlah massa sekitar 300 orang. Apabila ARUS lebih fokus pada tuntutan hak buruh, maka AMP memperingati aneksasi Papua oleh Indonesia beberapa puluh tahun sebelumnya.

Menurut Koordinator AMP, Yance Obe, sekitar tahun 1960-an, Indonesia menentukan Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa berdialog dengan masyarakat.

“Di mana saat itu tidak pernah melibatkan rakyat Papua,” kata Obe. “Negara tidak pernah memberikan ruang demokrasi di tanah Papua.”

Baca juga:

Salah satu solusinya, masih menurut Obe, yaitu pemberian kesempatan rakyat Papua untuk menentukan nasibnya sendiri. Hal ini guna mengembalikan hak sumber daya alam, hak asasi manusia, dan sebagainya pada rakyat Papua.

“Memberikan ruang demokrasi agar rakyat Papua bisa menentukan nasibnya sendiri dengan sistem referendum,” kata Obe di tengah Aksi Hari Buruh Internasional. “Memilih ingin bergabung atau berdiri di atas tanahnya sendiri.”

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya