SOLOPOS.COM - Suharsih (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Belakangan  ini marak informasi viral yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya di media sosial maupun layanan perpesanan Whatsapp mengenai dugaan penculikan anak-anak di berbagai daerah.

Sepanjang Januari hingga awal Februari 2023 ini isu penculikan anak terjadi, antara lain, di Tarakan, Kalimantan Utara. Seorang ibu berinisial NV ditangkap polisi pada Sabtu (28/1/2023) karena diduga menyebarkan hoaks tentang penculikan anak.

Promosi Mali, Sang Juara Tanpa Mahkota

Seperti virus, hoaks penculikan anak bermunculan di mana-mana yang kebanyakan bermula dari misinformasi. Hoaks atau informasi tidak benar mengenai kasus penculikan anak juga menyebar di Depok, Blitar, Tegal, dan Makassar.

Wilayah Soloraya tak luput dari sebaran informasi serupa. Di Kabupaten Klaten, misalnya, isu penculikan anak disebarkan oleh seorang warga Kecamatan Kalikotes pada Senin (30/1/2023).

Warga tersebut menggunggah foto selfie saat ada bintara pembina desa dan bhayangkara pembina keamanan dan ketertiban masyarakat mendatangi rumah seorang warga karena mendengar rumor anak warga tersebut hampir jadi korban penculikan.

Warga yang mengunggah foto selfie di status Whatsapp (WA) itu mungkin bermaksud baik, yakni mengajak warga lain untuk waspada. Unggahan di status WA itu dinilai berpotensi membikin resah karena berdasarkan informasi yang diperoleh polisi dari anak yang dimaksud ternyata tidak ada percobaan penculikan.

Anak tersebut hanya dipanggil dan ditawari permen oleh seorang pemuda yang tengah menongkrong di dekat mobil di persimpangan jalan saat pulang dari sekolah.  Anak itu menolak dan langsung berjalan pulang ke rumah.

Warga pengunggah status WA yang menyebut telah terjadi percobaan penculikan itu lalu menyampaikan permohonan maaf di Markas Polsek Kalikotes. Di Kabupaten Boyolali pada Rabu (1/2/2023) beredar video seorang perempuan yang dinarasikan sebagai penculik anak ditangkap dan dipotong rambutnya.

Keterangan dalam video yang beredar melalui grup-grup WA warga Kabupaten Boyolali itu menyebut peristiwa itu terjadi di wilayah Kecamatan Ampel. Aparat Polres Boyolali sudah menelusuri keaslian video tersebut dan memastikan peristiwa penangkapan perempuan yang diduga penculik anak itu bukan terjadi di Kabupaten Boyolali.

Kabar lain soal penculikan anak yang dipastikan hoaks juga beredar di wilayah Kabupaten Karanganyar pada Rabu (1/2/2023). Kabar yang beredar cepat melalui grup-grup WA warga Kabupaten Karanganyar itu menyebut telah terjadi percobaan penculikan siswa SDN 1 Jungke, Karanganyar.

Polisi telah menelusuri kabar tersebut dan memastikan itu hoaks. Yang terjadi adalah ada seorang guru dari sekolah lain yang datang ke sekolah tersebut untuk urusan administrasi sekolah. Saat datang guru itu bertanya kepada salah satu murid, namun murid itu malah lari ke dalam kelas.

Beretika dan Bernalar

Pulang dari sekolah siswa tersebut menceritakan kejadian itu kepada ibunya dan ibu anak tersebut kemudian membuat status WA yang menyebut ada percobaan penculikan di sekolah anaknya. Rentetan peredaran informasi hoaks yang viral itu menunjukkan kondisi psikologis masyarakat kita sedang tidak baik-baik saja.

Keresahan, ketakutan, hingga paranoid membuat masyarakat tidak bisa berpikir jernih dalam menyaring berbagai informasi sebelum menyebarkan dan membuat keresahan lebih meluas lagi. Kondisi ini juga menunjukkan masyarakat kita belum mampu mengontrol jempol  atau jari secara umum ketika memegang gawai.

Sebagian orang mungkin bermaksud baik, memberi peringatan dan membuat masyarakat waspada, meningkatkan pengawasan kepada anak-anak mereka agar tidak menjadi korban penculikan. Pola dan nada penyampaian yang kurang tepat membuat informasi yang disebar justru membikin resah dan gelisah.

Satu hal lagi yang perlu menjadi sorotan adalah ego yang cenderung tinggi ketika menyangkut penggunaan ruang informasi di dunia maya. Hanya karena memiliki gawai, memiliki akun di media sosial atau layanan perpesanan, serta mampu membeli kuota Internet kemudian membuat banyak orang merasa seolah-olah memiliki kuasa atas ruang komunikasi di dunia maya.

Banyak orang menganggap ruang informasi itu adalah milik mereka dan bisa seenaknya menggunakannya, menyebarkan informasi apa pun yang menurut mereka relevan dengan kepentingan mereka, tanpa memedulikan informasi itu benar atau tidak.

Tanpa memedulikan efek informasi yang disebar tersebut bagi orang lain yang juga menggunakan ruang informasi yang sama. Ini membuat miris karena menunjukkan masyarakat kita belum dewasa dalam menggunakan ruang komunikasi publik dunia maya seperti media sosial dan layanan perpesanan.

Berdasarkan laporan We Are Social yang diunggah di laman dataindonesia.id, data pengguna media sosial di Indonesia terus meningkat setiap tahun. We Are Social melaporkan ada 191 juta orang pengguna media sosial di Indonesia pada Januari 2022. Jumlah itu meningkat dibandingkan data pada Januari 2021 (170 juta orang), Januari 2020 (160 juta orang), dan Januari 2019 (150 juta orang).

Peningkatan jumlah pengguna media sosial itu seharusnya diimbangi dengan edukasi yang lebih masif mengenai perilaku bermedia sosial yang baik dan benar. Entah apa jadinya ketika ruang komunikasi dunia maya didominasi orang yang tak punya pengetahuan cukup mengenai perilaku bermedia sosial yang baik dan benar, yakni beretika dan bernalar.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 2 Februari 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya