SOLOPOS.COM - Ilustrasi lahan pertanian. (Solopos-Rudi Hartono)

Solopos.com, JAKARTA — Kebijakan food estate dinilai menuai menuai kritik dari akademisi pertanian karena mengandalkan ekstensifikasi lahan yang mengabaikan faktor ekologi dan sosial.

Akademisi pangan dan teknologi pangan berpandangan bahwa membangun kedaulatan pangan seharusnya berorientasi pada pemberdayaan pangan lokal dengan pelibatan masyarakat setempat dan mengindahkan aspek keseimbangan lingkungan, keberlanjutan, dan tradisi masyarakat lokal.

Promosi Layanan Internet Starlink Elon Musk Kantongi Izin Beroperasi, Ini Kata Telkom

Sebaliknya, realisasi konsep food estate hanya mengandalkan ekstensifikasi lahan, tanpa memperhatikan faktor lingkungan hidup dan sosial.

Angga Dwiartama, Dosen dan Peneliti Sosiologi Pertanian-Pangan, Institut Teknologi Bandung (ITB) mengungkapkan sejauh ini sebenarnya kebutuhan pangan bisa ditutup dari ketersediaan lokal.

“Data BKN 2021 tentang Indeks Ketahanan Pangan Indonesia menunjukkan bahwa ketersediaan komoditas beras, ikan, dan minyak goreng sudah jauh melebihi konsumsi nasional. Namun sayangnya, seperti di daerah Papua terjadi kerentanan pangan yang sangat tinggi. Oleh karena itu, sebenarnya masalah utama pangan terletak pada sisi keadilan dan distribusi, yakni dari harga yang harusnya terjangkau, ketersediaan akses, serta pemenuhan hak-hak para petani,” ungkapnya dalam keterangan tertulis yang diterima Sabtu (4/3/2023).

Hal itu diungkapkan Angga dalam diskusi bertajuk “Food Estate: Untuk Membangun Kedaulatan Pangan?” yang berlangsung akhir pekan ini.

Menurutnya, sistem kedaulatan pangan di Indonesia telah mengalami pergeseran dengan menjustifikasi tindakan pembukaan lahan untuk proyek food estate, sehingga tujuan utama untuk pemenuhan pangan melalui sistem pangan dan sumber daya lokal seperti diamanatkan di dalam UU No.18/2012 tentang Pangan, justru terlupakan.

Pertanian yang bersifat monokultur dan berskala besar, tutur Angga, akan membuat keanekaragaman hayati yang sangat kaya di alam tropis, menjadi sangat rentan akan kerusakan ekologi. Pada kesempatan yang sama, Wahyu A. Perdana selaku juru kampanye Pantau Gambut mengungkapkan data bahwa penggunaan alokasi anggaran yang cukup besar sebanyak Rp1,5 triliun untuk proyek food estate pada 2021-2022, belum mampu mengakselerasi hasil panen.

Hal ini, katanya, terjadi akibat lahan yang ditanami sebagian besar merupakan lahan gambut yang selalu basah dan memiliki tingkat keasaman cukup tinggi, sehingga tidak cocok dengan komoditas pertanian skala besar.

Dari riset yang dilakukan Pantau Gambut, empat wilayah kesatuan hidrologis gambut (KHG) di Kalimantan Tengah terindikasi masuk ke dalam tingkat kerentanan tinggi kebakaran hutan.

Di antaranya, 190.395 ha pada KHG Sungai Kahayan-Sungai Sebangau yang termasuk ke dalam wilayah food estate juga berada dalam kondisi yang sama rentannya.

“Perlu dicatat bahwa hutan gambut yang dibuka untuk lumbung pangan dapat melepaskan emisi sekitar 427 ton karbon ke udara. Terlebih lagi, ekosistem gambut yang rusak sangat sulit dan mahal untuk direstorasi, butuh waktu 10.000 tahun untuk pembentukannya. Pantau Gambut merekomendasikan agar pemerintah meninjau kembali regulasi proyek food estate dengan mempertimbangkan dampak kerusakan ekologi dan menurunnya kesejahteraan petani lokal sebagai efeknya,” terang Wahyu.

Di sisi lain, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Walhi Uli Arta Siagian turut berpendapat bahwa kebijakan negara terkait proyek food estate selain kurang berpihak kepada kesejahteraan rakyat, juga membawa ancaman perubahan iklim yang lebih parah. Pengalaman selama puluhan tahun para petani tradisional dalam bercocok tanam dan menjaga alam, telah dinegasikan dengan kebijakan food estate.

Memuaskan

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono, menegaskan bahwa program pemerintah terkait dengan lumbung pangan (food estate) tidak gagal.

Hal ini disampaikan Basuki seusai mendampingi Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk meninjau Proyek Pembangunan Sodetan Kali Ciliwung ke Kanal Banjir Timur (KBT), Cipinang Cempedak, Jakarta Timur, Selasa (24/1/2023).

Menurutnya, program lumbung pangan masih dalam kategori memuaskan, apalagi salah satu program yang dilakukan pemerintah yaitu di Desa Dadahup, Kapuas, Kalimantan Tengah saat ini tengah berjalan dengan mulai ditanami padi sehingga tinggal menanti hasilnya.

“No no no [tidak gagal], di Dadahup. Kami dengan [Kementerian] Pertanian sudah menanam [padi] dan hasilnya, nanti pada panen yang akan datang Pak Presiden mau ke sana, sudah 4,8 ton per hektare,” kata Basuki kepada wartawan, Selasa (24/1/2023).

Lebih lanjut, Basuki menekankan lumbung pangan di Kalimantan terus berjalan, lantaran tenaga kerja yang berasal dari transmigran telah hadir di sana, dirinya optimitis bahwa program ini akan berjalan sesuai dengan harapan. “Untuk tanah [di Dadahup] sudah tinggal menanam saja, karena transmigran sudah pulang. Jadi, memang tinggal menyediakan tenaga kerja untuk menanam,” ujarnya.

Tidak hanya itu, dia melanjutkan selain di Dadahup program lumbung pangan di Sumatra pun telah berjalan dengan komoditas tanaman bawang dan kentang yang dilestarikan di sana. “Sumatra dengan hortikultura bawang, kentang itu juga jalan terus,” jelasnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya