SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Kita akan bicara hal penting dalam kehidupan sehari-hari, yaitu air, dan berbagai hal terkait air. Bukan sekadar manfaat air, tetapi air dilihat dari berbagai perspektif, termasuk politik dan ekonomi. Tamu kita adalah Firdaus Ali, PhD, dosen dan peneliti di Fakultas Teknik Lingkungan UI, serta ketua sekaligus pendiri Indonesia Water Institute.

Dia mengingatkan, air merupakan sumber daya alam tak tergantikan. Jumlah air yang ada pun terbatas untuk bisa dijadikan air baku. Jadi kita harus bisa mengelola air. Ini juga terkait air merupakan faktor utama untuk mengembangkan kota.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Kini, negara-negara di dunia mengubah pola pembangunan dengan menjadikan air sebagai faktor utama. Dulu mereka mengembangkan kota dengan menata dari darat dulu, dan air menjadi bagian terakhir, karena air adalah tempat pembuangan. Akibatnya, mereka bisa membangun gedung tinggi, tapi akhirnya terpaksa investasi besar-besaran untuk mengendalikan dampak yang diakibatkan oleh air, yaitu banjir.

Berikut wawancara Jaleswari Pramodhawardani dengan Firdaus Ali, PhD. Wawancara lengkap dapat dilihat di situs http: //www.perspektifbaru. com. Anda dapat memberikan komentar dan usulan.

Setiap 22 Maret ada peringatan Hari Air Dunia, yang mengingatkan kita betapa pentingnya air untuk kehidupan. Bagaimana kondisi ketersediaan air di Indonesia saat ini?
Air satu-satunya sumber daya alam tak tergantikan, setidaknya sampai saat ini. Faktor lainnya adalah ketersediaan air lebih dari yang dibutuhkan umat manusia. Namun jumlahnya tidak dalam kondisi yang layak digunakan. Contoh, di dunia ini kita memiliki 97,6% air dalam bentuk yang tidak bisa dimanfaatkan, yaitu air asin di laut, dan danau mati.

Jadi air yang kita konsumsi hanya sedikit, betulkah?
Iya, hanya 2,4% yang merupakan air tawar. Kalau kita bedah lagi dari 2,4% tadi, sebanyak 87% dalam bentuk yang juga tak bisa dimanfaatkan langsung, yaitu berupa gunung es dan salju, yang otomatis tak bisa digunakan langsung. Jadi hanya 13% yang berupa cair. Dari jumlah air yang 13% itu, bila kita bedah lagi, 97% merupakan air yang tidak bisa langsung kita manfaatkan sebebasnya, karena berupa air tanah. Kalau tidak ada air tanah, tanah akan amblas. Kalau kita hitung, air yang ada di sungai, waduk dan kali, totalnya hanya 3%. Jadi yang 3% itu, kalau saya hitung dari awal, hanya 0,009% dari jumlah air yang ada di seluruh dunia.

Apakah jumlah air itu yang kini diperebutkan 7 miliar manusia?

Kalau tidak ada aral melintang, tahun ini kita memiliki 7 miliar penduduk bumi, dan itu pertama kali dalam sejarah peradaban ini. Dulu barangkali Anda tahu, saat Adam dan Hawa diturunkan, hanya Adam dan Hawa yang butuh air. Hanya ada 0,009% air tawar yang bisa dimanfaatkan dan kita lupakan dulu kualitasnya. Kini 7 miliar manusia memperebutkan air itu. Sekarang kita persempit dulu di kawasan kita, Indonesia. Kalau kita bagi potensi air tawar di Indonesia dengan jumlah populasi per tahunnya, kita masih punya 8.583 meter kubik per jiwa per tahun.

Apa artinya jumlah air itu dibanding dengan air di dunia misalnya?
Kalau kita bagi rata dengan populasi dunia yang akan mendekati 7 miliar, saat ini dunia memiliki 8.000 meter kubik per kapita per tahun. Kita sedikit di atas rata-rata. Namun ketidakberuntungan kita adalah penyebaran potensi air yang tidak merata. Contohnya, Jawa sangat menderita dibanding pulaupulau lainnya. Pulau Jawa dihuni hampir 150 juta jiwa atau 65% dari jumlah populasi kita dengan memiliki luas hanya 7% dari luas Indonesia, tapi Jawa hanya punya cadangan air 6,45% dari cadangan air nasional.

Ironis. Di satu sisi jumlah penduduknya paling banyak, tetapi cadangan airnya paling sedikit. Daerah mana di Indonesia yang cadangan airnya lebih banyak?
Pertama Papua, kemudian Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Jawa, dan terakhir Nusa Tenggara.

Berarti ada korelasi positif antara jumlah penduduk dan ketersediaan air. Itu sebetulnya berkaitan dengan rencana pembangunan, yaitu bagaimana penduduk tak hanya terkonsentrasi di Jawa?
Benar. Kalau saya bisa mengkritisi yang sudah kita lakukan sejak merdeka, Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Kita bersyukur ketika pendiri negara ini membuat Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, isinya bukan mengenai jalan tol atau listrik, tetapi bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Perhatikan, air adalah salah satu hal yang akan menentukan apakah kita bisa survive sebagai bangsa nanti.

Itu seharusnya kemudian diterjemahkan dalam kebijakan kita membangun bangsa ini. Namun, kita tidak melihat, misalnya ketika Orde Baru ada program Repelita I dan seterusnya, air masih belum ditempatkan dalam porsi yang sesungguhnya. Padahal air merupakan aset yang akan menjadi faktor yang membuat kita bisa bertahan dalam apapun juga di kawasan ini. Kemudian saat kita mereformasi sistem pemerintahan kita, saya juga tidak menemukannya. Dulu saya berharap pemerintahan secara politik akan memiliki Kementerian Energi dan Sumber Daya Air. Hampir sebagian negara kini sudah mengubah struktur kementeriannya. Namun hingga kini kita belum mengubahnya.

Oleh Firdaus Ali

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya