SOLOPOS.COM - Lukmono Suryo Nagoro (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Proses perpindahan ketua umum Partai Demokrat pada Maret 2020 dari Susilo Bambang Yudhoyono ke anaknya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang tampaknya mulus-mulus saja ternyata menyimpan bara dalam sekam.

Pada saat itu, terpilihnya AHY sebagai ketua umum Partai Demokrat nyaris sempurna: tidak ada penantang dan suara penolakan. Menurut bahasa Orde Baru, ada kebulatan tekad untuk memilih AHY sebagai ketua umum menggantikan ayahnya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Bara itu mulai muncul saat kader senior seperti Jhony Allen Marbun dan Darmizal menemui Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko dengan alasan ngopi bareng. Setelah pertemuan itu, wacana kongres luar biasa Partai Demokrat dan penggantian AHY oleh Moeldoko santer terdengar.

AHY bergerak cepat dengan menyurati Presiden Joko Widodo agar menegur Moeldoko yang dia nilai ikut campur urusan dalam negeri Partai Demokrat. Pemerintah tidak menggubris surat tersebut dan menganggap itu semua urusan internal Partai Demokrat.

Isu kongres luar biasa pun makin santer. AHY tidak bisa mengadang isu tersebut. Sang ayah turun panggung dengan tujuan membantu anaknya menghentikan kongres luar biasa. SBY menyebut nama Moeldoko tiga kali dalam usaha yang dia sebut sebagai kudeta di Partai Demokrat.

Selanjutnya, Partai Demokrat memasang Andi Mallarangeng untuk mengatasi opini yang berkembang. Kasus Hambalang yang menjebloskan Andi Mallarangeng ke bui adalah blunder bagi strategi Partai Demokrat itu. Andi dan kawan-kawannya yang tersangkut korupsi Hambalang dianggap sebagai biang kerok turunnya suara Partai Demokrat.

Perjalanan menuju kongres luar biasa juga dipicu oleh banyak faktor. Pertama, anjloknya suara Partai Demokrat pada pemilihan umum 2014 dan 2019. Pada pemilihan umum 2009, Partai Demokrat menguasai 148 kursi di parlemen. Dalam dua pemilihan umum terakhir, perolehan suara dan kursi Partai Demokrat menurun signifikan.

Pada pemilihan umum 2014 suara Partai Demokrat turun menadi 61 kursi dan turun lagi menjadi 54 kursi pada pemilihan umum 2019. Jumlah kursi Partai Demokrat sekarang ini tidak lebih banyak daripada suara Partau Ddemokrat ketika kali pertama kali ikut pemilihan umum, yaitu 55 kursi.

Kedua, seretnya sirkulasi di kalangan elite Partai Demokrat sendiri. Partai Demokrat sudah identik dengan SBY. Kini popularitas SBY sebagai vote getter sudah menurun dan saat ini belum ada yang menggantikan. Akibat pertamanya adalah turunnya suara Partai Demokrat di pemilihan umum.

AHY yang digadang-gadang dapat merebut suara generasi milenial juga gagal. Desain platform kampanye Partai Demokrat gagal menarik suara kaum milenial sekaligus juga hilangnya momentum AHY untuk menjadi ikon milenial partai. Oleh karena sudah kehilangan momentum, naiknya AHY menjadi ketua umum  Partai Demokrat berpotensi makin memerosotkan suara Partai Demokrat pada pemilihan umum 2024 mendatang.

Ngopi-Ngopi

Intrik Partai Demokrat biarlah menjadi urusan Partai Demokrat sendiri. Saya akan membahas Moeldoko, pensiunan jenderal yang disebut-sebut berada di belakang kudeta Partai Demokrat dan diyakini telah mendapat restu dari Presiden Joko Widodo.

Hal itu sudah dibantah sendiri oleh Moeldoko yang menyatakan jangan sedikit-sedikit menyalahkan istana. Istana yang dimaksud pasti Presiden Joko Widodo. Artinya, Moeldoko memperingatkan Partai Demokrat agar jangan mengganggu Presiden Joko Widodo.

Pernyataan ringan Moeldoko seperti saya ngopi-ngopi kok ada yang grogi ini menyasar AHY dan pengurus Partai Demokrat. Moeldoko mengakui bahwa dirinya tidak hanya sekali bertemu dengan kader Partai Demokrat. Karena itulah, AHY tambah grogi menghadapi manuver Moeldoko.

AHY dan Moeldoko sama-sama pernah menjadi tentara. Sama-sama lulusan Akademi Militer. Keduanya sekarang masuk politik. Posisi AHY sebagai ketua umum Partai Demokrat lebih bersifat dinasti. Jika AHY bukan anak SBY atau klan Yudhoyono, belum tentu bisa menjabat ketua umum Partai Demokrat. Moeldoko yang sekarang juga sama-sama terjun di politik dan membantu Presiden Joko Widodo sebagai Kepala Kantor Staf Presiden bukanlah produk dinasti, melainkan klik politik.

Moeldoko harus pintar-pintar mencari peruntungan agar karier politiknya moncer. Jika tidak pintar, karier politiknya bisa mandek seketika. Nama Moeldoko mulai melejit ketika menjabat sebagai panglima TNI pada masa Presiden SBY.

Sempat meredup sebentar dan ketika Presiedn Joko Widodo merombak kabinet pada tahun 2018, nama Moeldoko terpilih sebagai Kepala Kantor Staf Presiden  menggantikan Teten Masduki. Para analisis politik waktu itu sudah mempertimbangkan Moeldoko sebagai penantang kuat Joko Widodo pada pemilihan presiden 2019.

Joko Widodo menggunakan politik merangkul untuk mengurangi pesaing pada pemilihan presiden 2019. Ketika Joko Widodo mengumumkan calon wakil presiden berinisial M, nama Moeldoko santer disebut akan mendampingi Joko Widodo.

Ketika Joko Widodo akan mengumumkan kabinet, nama Moeldoko disebut-sebut akan menjabat posisi Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan atau Menteri Pertahanan. Lagi-lagi namanya tidak ada. Moeldoko tetap sebagai Kepala Kantor Staf Presiden.

Mengapa Moeldoko dikaitkan dengan kudeta Partai Demokrat? Pertarungan politik 2024 segera dimulai. Moeldoko merupakan nama yang potensial, tetapi memiliki kekurangan, yaitu tidak memiliki partai politik. Moeldoko harus mencari “afiliasi” partai poliik yang memungkinkan dirinya melaju menjadi calon presiden.

Partai-partai politik lain sudah punya calon presiden, misalnya Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) sudah pasti mencalonkan Prabowo Subianto kembali. Partai Golongan Karya (Golkar) sudah berancang-ancang mencalonkan Airlangga Hartarto sebagai presiden.

Jadi, jika Moeldoko dan kliknya tidak “berafiliasi”, pupus sudah peluang Moeldoko menjadi calon presiden. Apabila Moeldoko berhasil “mengudeta” Partai Demokrat, Moeldoko sudah menang beberapa langkah daripada calon presiden lain, seperti Anies Baswedan atau Ridwan Kamil, yang juga mengincar posisi presiden Indonesia pada pemilihan presiden 2024.

Menang beberapa langkah karena infrastruktur Partai Demokrat sudah lengkap dari pusat daerah dan Partai Demokrat merupakan partai politik sudah lolos ke pemilihan umum 2024. Selain itu, ia juga diuntungkan karena menjadi bagian kekuasaan Presiden JokoWidodo dan bisa menjamin dinasti politik Presiden Joko Widodo yang baru dirancang dengan Gibran Rakabuming Raka (anaknya) sebagai Wali Kota Solo dan Bobby Nasution (menantunya) sebagai Wali Kota Medan.

Apabila Partai Demokrat menuduh gerak-gerik Moeldoko didukung oleh Preiden Joko Widodo tentu sah-sah saja. Moeldoko tampak santai menghadapi tuduhan Partai Demokrat. Tidak ada ketakutan sedikit pun. Sikap yang demikian bisa terjadi jika ada kekuatan politik besar di belakangnya.



Bagaimanakah kelanjutan kudeta Partai Demokrat ini? Apakah dinasti SBY mampu menghadapi atau apakah ada dinasti baru dalam Partai Demokrat? Kudeta ini juga dapat menjadi batu uji bagi kepemimpinan AHY dalam mengonsolidasikan kekuatan Partai Demokrat di daerah yang sekarang mungkin sedang galau dengan kondisi partai yang suaranya turun terus, tidak bergabung dengan pemerintah atau oposisi, dan paling penting akses dana tidak berlimpah.

Selain itu, ada juga kader di daerah yang melihat dinasti baru akan lebih cerah: bergabung dengan pemerintah, kucuran dana pasti lebih lancar, dan bisa mencalonkan lagi presiden pada pemilihan presiden 2024. Melihat gelagat perpecahan partai politik di Indonesia sejak masa reformasi, sepertinya dinasti baru lebih besar peluangnya dalam kudeta Partai Demokrat kali ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya