SOLOPOS.COM - Pemilik Agrowisata Tani Manunggal, Dwi Sartono (paling kiri), 41, memberikan materi cara bercocok tanam kepada pengunjung di Desa Kepatihan, Kecamatan Selogiri, Minggu (15/5/2022). Dwi berambisi mengajak anak muda menjadi petani yang berorientasi pada profit. (Solopos.com/Muhammad D. Praditia)

Solopos.com, WONOGIRIAgrowisata Barro Tani Manunggal berdiri di Desa Kepatihan, Kecamatan Selogiri, Wonogiri. Agrowisata tersebut menjadi tempat bagi siapa pun yang ingin belajar bercocok tanam dengan benar.

Pemilik Agrowisata Barro Tani Manunggal, Dwi Sartono, mengatakan Barro Tani Manunggal siap mengajarkan kawula muda tentang cara bertani sesuai standar operasional prosedur (SOP) yang benar.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Silakan datang ke sini, gratis. Malah kami siap membayar asal mau belajar sekalian bekerja di sini. Kami mengembangkan agroeduwisata dengan tujuan mengenalkan anak-anak muda tentang pertanian yang berorientasi kepada profit di Kabupaten Wonogiri dan Jawa Tengah,” kata Dwi saat ditemui di kebunnya, Minggu (15/5/2022).

Dwi yang juga lulusan Institut Pertanian Bogor prihatin dengan minimnya anak muda yang enggan menjadi petani, terlebih di Kabupaten Wonogiri. Mereka menilai bertani adalah pekerjaan yang tidak menguntungkan karena dianggap tradisional, monokultur, tidak berotientasi pada keuntungan.

Padahal, bertani dinilai sangat berpotensi menghasilkan keuntungan besar. Asalkan mereka mau terus belajar dan berpikir profit oriented. Bertani bisa sangat menjanjikan secara ekonomi.

Baca Juga: Pemdes Jatisari Wonogiri Kembangkan Pusat Studi Porang dan Agrowisata

Ia mencontohkan, lahan seluas 600 m2 yang ia garap saat ini bisa menghasilkan berkisar Rp30.000.000 per bulan. Ia mengaku memasarkan hasil pertaniannya hanya di rumah di dalam kebun yang ia namai Rumah Pintar Tani. Para pembeli justru mejemput bola ke kebun yang terletak di daerah persawahan itu.

“Sebelum ada pandemi Covid-19, dalam sehari perputaran uang bisa senilai Rp10 juta-15 juta. Kami sangat terdampak selama pandemi,” ungkap Dwi.

Harga Pasar

Menurut Dwi, hasil tanaman buah atau sayur yang ia jual bisa separuh harga di bawah harga pasar. Misalnya, buah labu madu di pasaran seharga Rp40.000/kg hanya dijual Rp20.000/kg. Meski murah, ia masih bisa mendapat keuntungan.

“Saya tidak munafik, memang pertanian saya tidak 100 persen organik. Tapi kami sangat meminimalkan penggunaan pupuk kimia. Kalau pun ada, kami gunakan yang tidak berbahaya dikonsumsi [meski mampu menanam tanaman dengan konsep 100 persen organik],” ucap Dwi.

Baca Juga: Dukung Progam Desa Wisata, Warga Conto Wonogiri Relakan Tanahnya Dibangun Jalan Usaha Tani

Dwi menjalankan agrowisatanya secara swadaya sejak 2019. Ia mengaku tidak meminta bantuan kepada siapa pun, termasuk pemerintah. Saat ini ada sepuluh jenis tanaman yang ditanam, antara lain semangka golden, melon golden, labu madu, sayuran, kacang panjang, dan pepaya California,

“Ke depan, kami akan membuat dan membangun tempat yang bisa buat edukasi, wisata, sekaligus kuliner. Jadi wisatawan bisa sekalian makan-makan di sini,” terang pria 41 tahun itu.

Senang

Salah satu pengunjung Agrowisata Tani Manunggal dari Kecamatan Eromoko, Kabupaten Wonogiri , Ema Nova Fajariani, mengaku senang dapat berkunjung ke agrowisata di Jaten, Kecamatan Selogiri. Di lokasi tersebut, Ema yang mengaku suka menanam di pekarangan rumah bisa belajar bercocok tanam yang benar.

“Sekarang ini jarang banget anak muda yang usianya sekitar 25 tahun mau menjadi petani. Padahal kan potensinya sangat besar. Contohnya di tempat saya [Eromoko], bisa dikatakan 90 persen itu isinya sawah semua. Tapi enggak ada anak muda yang mau jadi petani,” tutur Ema.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya