SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Posisi agama dalam tesis-tesis Karl Marx, Ludwig Andreas Feurbach dan Bertrand Russell tak lain adalah biang keterasingan dalam realitas kehidupan. Tak sedikit yang memilih acuh tak acuh. Tapi, ada pula yang menerima argumen tersebut. Acuh tak acuh bukan berarti tak mau berpikir kritis.

Ibarat rokok, skeptisisme yang mereka bangun tak ubahnya asap rokok yang menjemukan bagi “perokok pasif”–dalam hal ini–agamawan. Sementara kaum beragama sendiri tak bisa menghindari asap tadi. Alhasil, kita tengah hidup di lingkungan di mana kepulan “asap rokok” terus membubung.
Tesis-tesis yang mereka kemukakan, setidaknya, telah menyeret pemahaman banyak orang terhadap paradigma liar.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tentu sangat tendensius terhadap peran agama-agama yang dinilai tidak eksis lagi. Harus diakui, agama sering kali menampilkan “wajah tajam” selayaknya pedang bermata dua. Tajam dalam sakralitasnya, tajam kesalahpahaman terhadapnya, tajam dalam doktrin dan ajaran yang dibawa, hingga tajam yang berusaha meruntuhkan.

Dalam konteks Indonesia, hampir seluruh penduduk menganut agama, terutama Islam. Namun, kenyataanya justru paradoksal. Kekerasan di mana-mana semakin menggurita. Nilai kemanusian seolah sudah tak ada harganya lagi. Jika disalahkan, mereka tidak mau. Mungkin, akan semakin menjadi-jadi.

Pada titik ini, posisi agama tampak abu-abu. Di satu sisi, agama penting sebagai pegangan hidup, tapi di sisi lain banyak yang tak memiliki pegangan etika kemanusiaan lantaran pemahaman mereka terhadap agama. Sungguh dilematis.

Satu dekade terakhir, banyak orang semakin getol menayangkan ikon-ikon keagamaan sementara nilai substansinya nihil. Tengoklah para pemimpin kita yang suka menjadikan agama sebagai alat politik menuju kekuasaan. Seolah mereka adalah orang yang paham betul terhadap agama. Namun, apa yang terjadi?

Korupsi kian membudaya, padahal agama sangat melarangnya. Keadilan disamarkan, padahal agama selalu menyeru agar keadilan ditampakkan. Hukum dikadali, padahal agama tak kenal kompromi. Rakyat dibodohi, padahal agama membela hak semua manusia. Negeri ini memiliki penduduk muslim terbesar di dunia. Tetapi mengapa kenyataanya tak menunjukkan mereka beragama? Ini pekerjaan bagi kita. Kita tak bisa berkesimpulan itu kesalahan agama. Kesalahan beragama? Bisa jadi iya.

Menurut Gordon W Allport (1966), tak selamanya orang yang kelihatan religius benar-benar memiliki rasa kemanusiaan tinggi. Bahkan, tak jarang agama dijadikan alat legitimasi untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan-kepentingan kelompok tertentu.

Paradoksal
Secara kasat mata, hal ini sangat paradoksal. Sebab, agama diturunkan sebagai bingkai merajut kemanusian yang religius. Atau dalam konteks Islam, sebagai rahmatan lil ‘alamin. Yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana cara dan orientasi beragama, bukan pada level entitas agama itu sendiri. Allport mengemukakan dua bentuk orientasi religius (beragama), yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Yang pertama merujuk pada objektivitas agama, nilai yang terkandung di dalamnya, tujuan yang murni karena agama, lahir berdasarkan nilai-nilai agama dan tidak mengharapkan apa-apa selain menikmati agama yang dianutnya. Intrinsik berarti dari agama, oleh agama dan untuk agama.

Sementara yang kedua merujuk pada kualitas “persona” dari agama itu, memiliki tujuan yang terpisah dari spirit agamanya, tidak semata lahir dari nilai substansial yang terkandung dalam agama, beragama karena ada unsur kepentingan parsial, demi mewujudkan tujuan-tujuan atau kepentingan kelompok dan seterusnya. Model beragama yang kedua, tanpa disadari, telah menjadi tren baru di kalangan pemimpin kita. Buktinya, korupsi dihalalkan, mafia hukum dibiarkan, kebohongan diteriakkan dan sebagainya. Bukankah mereka semua beragama? Islam, lagi. Jika demikian, apa ada yang tidak beres dengan orientasi agama yang mereka anut? Bisa jadi demikian.

“Kesalahan orientasi” beragama terjadi disebabkan banyak hal. Namun, yang paling bertanggung jawab adalah kesalahan dalam pendidikan. Di Indonesia, orientasi pendidikan cenderung salah kaprah. Pendidikan yang ideal hanya menjadi tumpukan ide yang berjubel dalam agenda-agenda semu. Tak realistis dalam mengejawantah.

Pendidikan yang seharusnya dijalankan sebagai media pembebasan diri dari belenggu keterbelakangan, justru diikat dengan sistem-sistem penuh kepentingan. Orientasi pendidikan seketika berubah menjadi lahan untuk sekadar memperoleh ijazah yang berisi “coretan” angka-angka.
Pendidikan karakter selalu dielu-elukan, tetapi nihil dalam kenyataan. Angka tidak bisa dijadikan ukuran dalam membangun pendidikan karakter. Bagi pemeritah, itu bukan masalah. Fenomena inilah yang saya sebut “pendidikan salah kaprah”.

Meminjam istilah Allport, pendidikan kita dikendalikan oleh orientasi ekstrinsik daripada intrinsik. Sama seperti agama, orientasi ekstrinsik dapat mengakibatkan kesalahan mendasar dalam pendidikan. Kesalahan yang paling tampak adalah ketidakjujuran dalam nuansa kompetitif. Semisal, ketika pelaksanaan Ujian Nasional (UN) berlangsung. Untuk apa UN diadakan jika di dalamnya sesak dengan manipulasi data untuk menaikkan nilai rata-rata saja? Kejujuran akan semakin langka. Keterasingan di tubuh anak didik berevolusi menjadi ritus yang sudah tentu akan dirasakan banyak individu.

Barangkali pemerintah tidak memperhatikan aspek agama dalam pendidikan. Maklum, beragama saja sudah salah kaprah (ekstrinsik) apalagi mau menata orientasi pendidikan. Lantas, bukan berarti paradigma semacam itu tidak bisa diubah, kendati membutuhkan tenaga ekstra dan kerja sama yang intim. Tentu pemerintah lebih paham dalam persoalan ini. Sekarang, tinggal bagaimana meluruskan pendidikan salah kaprah tadi menuju pendidikan karakter yang benar-benar visioner. Pendidikan karakter mengimpikan sebentuk kerangka nilai yang diinternalisasikan ke dalam setiap pendidikan untuk menciptakan kesalehan sosial dan keseimbangan emosional.

Kira-kira, kejujuran adalah fondasi utamanya. Bukan pada pajangan angka-angka dalam selembar ijazah an sich. Ijazah itu penting. Tetapi, jangan sampai dijadikan prioritas pertama dan utama (final goal). Pertanyaanya, maukah pemerintah menata kembali orientasi pendidikan yang kadung salah kaprah?

Naufil Istikhari Kr, peneliti muda Nahdhatul Falasifah Community Fishum UIN Jogja

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya