SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Perang yang terjadi di berbagai belahan dunia bukan disebabkan konflik antaragama, melainkan perbedaan politik dan kepentingan ekonomi. Agama hanya dijadikan alat untuk memecah belah masyarakat dalam pusaran konflik.

“Agama sangat sensitif, orang bersemangat bicara agama maka efektif [dimanfaatkan] untuk alat konflik,” tutur Koordinator Interfaith Cooperation Forum, Max Ediger, dalam sarasehan di Ponpes Al Muayyad Windan, Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo, Jumat (15/2/2013).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Peserta sarasehan dari PMII Solo, Zainal, berpendapat selama ini agama rentan dijadikan kedok untuk memicu konflik. Alasannya, penganut agama gampang disulut api konflik, lalu dengan mudah membakar dan menghancurkan pihak lain.

Warga Moro, Filipina Selatan, Tirmizy Abdullah, tak percaya agama memicu perang dan konflik. Kenyataannya, ia memiliki banyak teman kristiani di Filipina yang berdiri paling depan memperjuangkan hak warga Moro. “Mereka baik dan suka membela kami paling depan,” tutur Abdullah.

Ekspedisi Mudik 2024

Ia mempelajari perbedaan saat mengikuti school of peace yang digagas Max Ediger. Dalam sekolah itu, ia justru memahami kedalaman beragama dengan menghargai perbedaan dan bekerja sama untuk hidup damai. “Di sana [Moro] sangat ketat aturannya. Justru saya temukan kedalaman Islam saat berdialog dan belajar agama lain,” lanjut dia.

Ketika pulang ke Filipina, ia menyuarakan perdamaian, pentingnya dialog kepada pihak-pihak yang terkait agar saling memahami dan menghargai satu sama lain. “Kami suarakan persatuan,” ujar dia.

Peserta sarasehan Zainal Arifin, mengungkapkan potensi konflik bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Lalu bagaimana cara mencegah dan bersiap diri untuk menghadapi konflik?

Ediger yang berambut putih itu sempat diam, lalu menjawab bahwa semua konflik bisa dipicu oleh hal-hal kecil dan remeh. Seperti halnya bola salju yang menggelinding dari atas bukit, akan terus membesar saat sampai bawah. “Caranya ya dengan membaca, berdialog untuk tahu satu sama lain,” ungkap dia.

Bersikap membuka diri, membuka pikiran dan berpikir kritis juga mampu meredam bibit-bibit konflik. “Anda tidak tahu kapan [ilmu] itu digunakan tapi saat dibutuhkan, bersiap-siaplah,” tutur Ediger.

Ediger yang berpengalaman puluhan tahun di bidang resolusi konflik dan perang di dunia, mengaku banyak belajar dari siapa saja dengan latar belakang beragam serta banyak membaca buku. “Di universitas saya belajar biologi, enggak ada hubungannya.”

Abdullah menambahkan kondisi komunitas keagamaan yang ketat dan tidak memahami sikap dan perbedaan pihak lain juga turut memicu konflik.

Dalam sebuah organisasi atau kelompok agama, sering muncul istilah “kita” dan “mereka”. Kadang kala, umat tidak mengenal dan memahami kelompok yang biasa disebut “mereka”. “Kita tidak tahu mereka tapi kita jadikan mereka musuh,” ujar dia.

Maka, dialog itu penting agar orang saling memahami dan mendalami sikap antarpihak.

Lalu benarkan konflik disebabkan hanya karena kesejahteraan dan ekonomi? Di Filipina, kemakmuran sangat penting untuk menunjang kesejahteraan rakyat. Namun jika tidak dikelola dan dijaga, masalah itu malah menimbulkan persoalan baru. Ia mencontohkan saat terjadi konflik di Filipina. Banyak bantuan datang dari dalam dan luar negeri. “Itu memunculkan masalah baru. Bantuan itu dikorupsi oleh pejabat-pejabat,” kata dia.

Ediger membantah hal itu. Orang dengan kesejahteraan tinggi justru akan menimbulkan masalah baru. “Ia akan individualis dan tamak. Ekonomi penting tapi butuh lebih dari sekadar itu. Ekonomi tidak menggaransi perdamaian, sampai ada persaudaraan,” tutur Ediger.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya