SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

<blockquote><p>Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Kamis (9/8/2018). Esai ini karya Ayu Prawitasari, jurnalis Harian Solopos. Alamat e-mail penulis adalah ayu.prawitasari@solopos.co.id.</p></blockquote><p><strong>Solopos.com, SOLO –</strong> Sekolah dasar negeri dengan halaman sangat luas di tengah kampung padat penduduk. Sekolah yang terdiri atas enam kelas dengan cat bangunan yang mengelupas di sana sini itu dikelilingi lima klaster perumahan. Salah satunya milik PT Perumnas, lainnya milik pengembang swasta.</p><p>Suasana sekolahan tersebut lebih sering lengang lantaran jumlah siswa yang minim. Satu kelas rata-rata berisi tak sampai 10 orang. Pagi itu, awal Juli lalu, saya melihat tiga guru duduk di depan salah satu kelas. Ada meja di depan mereka. Sebuah kertas karton bertuliskan tempat pendaftaran ditempatkan di meja tersebut.</p><p>&rdquo;<em>Hla wong</em>&nbsp;gurunya saja tidak tahu warga sini. Enggak mau menyapa. Kalau enggak bisa mengambil hati warga, bagaimana bisa mendapat murid banyak?&rdquo; kata penjual sayur di depan sekolahan saat saya tanya tentang SD tersebut.</p><p>Beberapa menit kemudian telinga saya kenyang dengan berbagai informasi soal SD yang tak pernah punya banyak murid itu. Saya menyadari cara warga sekitar menilai sekolah dan masyarakat lain adalah sesuatu yang terpisah, berjalan sendiri-sendiri, punya urusan masing-masing, dengan kata lain tak punya keterkaitan.</p><p>Saya sendiri sebagai warga yang sering lewat dekat sekolahan itu tanpa sadar juga berpikiran sama. Pengelola sekolah dalam kasus ini mungkin juga menilai warga sekitar bukanlah bagian dari komunitas sekolah. Dua hal yang berbeda. Tidak perlu saling mencampuri. Tidak perlu saling berhubungan.</p><p>Akibatnya jarang ada interaksi yang akrab di antara komunitas tersebut. Dengan situasi itu, barulah saya benar-benar paham apa yang terjadi saat sejumlah media massa arus utama (cetak, elektronik, maupun <em>online</em>) menerbitkan berita tentang razia siswa di tempat <em>game</em> <em>online</em> ketika jam sekolah, obat-obatan terlarang, minuman keras, sampai razia kendaraan bermotor di sejumlah SMP.</p><p>Bagaimana cara siswa SMP bisa membawa motor sementara sekolah melarang? Salah satunya alternatifnya tentu saja menitipkan motor kepada warga sekitar. Kasus ini menunjukkan betapa terbatasnya kemampuan pengawasan sekolah serta betapa abainya masyarakat terkait peran mereka dalam dunia pendidikan.</p><p>Hal yang sama terjadi dalam kasus razia siswa membolos di tempat game <em>online</em> sekitar sekolahan. Pertimbangan warga membuat tempat usaha game <em>online</em> adalah karena berdekatan dengan sekolahan yang dianggap sebagai pasar tanpa memperhitungkan dampak negatifnya.</p><p>Bagaimana kabar konsep trisentra pendidikan (sekolah, keluarga, dan masyarakat) ala Ki Hadjar Dewantara sebagai kunci keberhasilan penyelenggaraan pendidikan untuk anak bangsa? Apakah konsep itu kini menjadi romantisme idealisme pendidikan masa lampau? Apakah konsep itu telah usang untuk diterapkan pada era milenial ini?</p><p>Sebagai konsep ideologis dengan basis sifat saling peduli, saling menolong, kekeluargaan, dan karakter guyub, trisentra&nbsp; pendidikan sejatinya merupakan karakter bangsa Indonesia. Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan tidak hanya bersumber dari sekolahan, melainkan juga dari keluarga dan masyarakat.</p><p>Keluarga sejak dulu hingga sekarang tetap menjadi sumber pendidikan paling awal setiap individu yang dilanjutkan dengan pengaruh lingkungan sekitar hingga masyarakat secara umum. Lingkaran proses belajar individu ini bertahan sampai sekarang.</p><p>Kondisi ini menyebabkan lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) yang dibentuk swadaya berkembang pesat di masyarakat. Sedini mungkin warga ingin membantu keluarga serta pemerintah menyosialisasikan nilai-nilai, norma, maupun karakter Indonesia kepada generasi penerus agar bisa berkompetisi di dunia global dengan tetap mempertahankan identitas budaya.</p><p>Harapan setiap individu adalah bisa diterima sebagai bagian dari masyarakat sementara masyarakat juga menginginkan titik stabil (equilibrium), setiap individu bisa masuk di dalamnya. Sejatinya masyarakat selalu mendukung penyelenggaraan pendidikan sebagai upaya mempertahankan komunitas bangsa secara khusus dan peradaban secara umum.</p><p>Bahwa telah terjadi pengabaian peran warga dalam pendidikan untuk beberapa kasus, saya tidak akan membahas penyebab dan kelanjutannya.&nbsp; Saya memilih fokus pada optimisme tentang kepedulian masyarakat.&nbsp;</p><p>Koentjaraningrat menyatakan kebudayaan kelihatannya memang mudah berubah, namun sesungguhnya tidak demikian. Yang mudah berubah hanyalah lapisan kebudayaan terluar, yaitu artefak atau benda-benda fisik serta sistem tingkah laku dan tindakan berpola.</p><p>Lapisan kebudayaan yang lebih dalam (di empat lingkaran konsentris) yang semakin kecil, yakni sistem gagasan/sistem budaya dan yang terakhir–yang pusat atau inti seluruh bagian–yakni sistem gagasan ideologis/nilai budaya yang dipelajari sejak dini, sangat sulit diubah.</p><p>Terkait peran masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di setiap satuan pendidikan tersebut, saya menilai kebijakan zonasi merupakan salah satu sarana untuk menguatkan itu kembali.</p><p>Zonasi juga bisa &rdquo;memanggil lagi&rdquo; warga yang selama ini abai dengan penyelenggaraan pendidikan, khususnya warga di sekitar sekolahan. Dengan sistem zonasi, warga sekolah secara otomatis adalah warga lingkungan tempat sekolah itu berada. &nbsp;</p><p><strong>Urusan Bersama</strong></p><p>Warga sekolah adalah warga kampung dengan irisan yang sangat besar. Demikian pula sebaliknya. Di dalam lingkaran itu warga sekitar menempatkan sekolah sebagai tetangga sebelah karena para siswa merupakan anak-anak kampung atau anak-anak sekitar kampung, bahkan bisa juga anak-anak mereka sendiri.</p><p>Irisan yang sangat besar antara warga sekolah dengan warga sekitar ini sejalan dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 75/2016 tentang Komite Sekolah. Permendikbud serta kebijakan zonasi merupakan bentuk revolusi pendidikan karena memaksa kita secara cepat mengubah cara pandang yang selama ini cenderung mendikotomikan unsur-unsur trisentra pendidikan.</p><p>Bahwa terjadi <em>cultural lag</em> di sebagian warga akibat aturan yang tiba-tiba ini adalah hal yang wajar. Dua kebijakan tersebut sebaiknya tetap dijalankan secara konsisten. Sebelum permendikbud soal komite sekolah maupun sistem zonasi berlaku, dunia pendidikan terkesan sebagai sesuatu yang elitis.</p><p>Kita bisa melihat anggota komite sekolah dipenuhi para guru dan tokoh masyarakat yang tak pernah terganti posisinya, pelabelan sekolah favorit dan sekolah pinggiran yang begitu menyesakkan, siswa miskin yang terpaksa putus sekolah, dan masih banyak lagi lainnya.</p><p>Situasi ini jelas tidak mendukung perkembangan pendidikan yang kompetitif dan merata untuk siapa saja. Dengan sistem zonasi akan banyak tokoh masyarakat, terutama warga sekitar, yang terlibat dalam kegiatan satuan pendidikan yang dimulai dari perencanaan hingga pengawasan realisasi program.</p><p>Minimal, bagi warga sekitar yang tidak terlibat dalam komite sekolah, mereka punya rasa memiliki dan tanggung jawab&nbsp; dalam hal pengawasan siswa. Melalui zonasi ini, harapan kita melampaui soal pemerataan kualitas sekolah dan berkurangnya kemacetan, melainkan juga muncul realitas sosial (komunitas) pendidikan yang merupakan penguatan trisentra pendidikan.&nbsp;</p><p>Kita benar-benar berharap tidak akan lagi berita tentang siswa SMP&nbsp; menitipkan motor kepada warga sekitar sekolahan, <em>nongkrong</em> di warung dekat sekolahan saat jam pelajaran, hingga main game <em>online</em>.</p><p>Sejalan dengan pemikiran Gotved soal&nbsp; realitas siber yang dikembangkan dari model realitas soal Boudreau dan Newman seperti dikutip Rulli Nasrullah dalam buku <em>Media Sosial, Perspektif Komunikasi, Budaya, dan Sosiologi</em>, saya berharap zonasi bisa menciptakan realitas sosial pendidikan.</p><p>Seperti halnya realitas siber Gotved yang berbasis pada interaksi sosial, kemudian berlanjut dengan budaya dan pembentukan struktur (Gotved tidak menyebut struktur sosial sebagai sebuah konstruksi atau rangkaian yang terlembaga, melainkan hanya struktur) sebagai pembentuk sebuah realitas sosial siber, sistem zonasi mendukung pembentukan realitas sosial pendidikan.</p><p>Dalam realitas sosial pendidikan ini, warga sekitar sekolahan bisa lebih leluasa terlibat dalam dunia pendidikan. Takmir masjid sekitar sekolahan, contohnya, bisa dengan tangan terbuka menyambut anak-anak yang hendak beribadah. Warga sekitar sekolahan <span>bisa menyediakan rumah mereka untuk tempat belajar tentang kehidupan</span>.</p><p>Sekolahan dengan warga sekitar serta para wali murid juga bisa saling bahu-membahu meramaikan acara masing-masing, misalnya pentas seni sekolah atau bazar kampung, dan banyak lagi kerja sama sejenis. Realitas sosial pendidikan membuat batas antara masyarakat dengan orang tua siswa dan sekolahan <span>menjadi sangat cair.</span></p><p>Apabila hal ini terwujud, misi pemerintah yang memprioritaskan pendidikan karakter akan lebih mudah karena ada kesinambungan di antara elemen penunjangnya, yakni keluarga dan masyarakat. Realitas sosial pendidikan meniscayakan urusan pendidikan menjadi urusan bersama, bukan lagi hanya urusan sekolah atau keluarga.&nbsp;</p><p>&nbsp;</p>

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya