SOLOPOS.COM - Ilustrasi (JIBI/SOLOPOS/Ivan Indrakesuma)

Ilustrasi (JIBI/SOLOPOS/Ivan Indrakesuma)

JAKARTA – Pukulan telak seolah datang silih berganti menghampiri kelompok industri mebel. Selain volume pengapalan ke Eropa yang terus merosot akibat dampak krisis, pengusaha juga mengaku belum siap menyambut implementasi European Union Timber Regulation pada Maret tahun depan.

Promosi Keren! BRI Jadi Satu-Satunya Merek Indonesia di Daftar Brand Finance Global 500

“Jujur, saya merinding membayangkan tahun depan. Ada ribuan pengrajin mebel di Jepara, Bali, Jogjakarta, Semarang, hingga Solo bakal ambruk karena tidak siap dengan penerapan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK),” ucap Andre Sundriyo, Ketua Marketing dan Promosi Asosiasi Mebel Indonesia kepada Bisnis.com, Kamis (4/10/2012). Paranoia nyatanya tengah mewabah di kalangan pengusaha mebel. Bayangkan, hingga kini tidak sampai 10% unit industri yang telah mengantongi sertifikat SVLK. Padahal, tidak kurang dari 5 bulan lagi, Uni Eropa bakal memberlakukan regulasi perdagangan kayu legal.

Andre mengakui pasar Eropa merupakan tujuan ekspor terbesar untuk produk mebel dan furnitur asal Indonesia. Pangsa pasar produk mebel Indonesia di benua biru ditaksir mencapai 38.38%, disusul pasar di Amerika Serikat sebesar 30%.
Nilai ekspor mebel ke Indonesia tahun lalu mampu menembus US$ 2,7 miliar. Belakangan,krisis ekonomi yang melanda Eropa dan lesunya pasar Amerika saat ini cukup memukul industri mebel dan kerajinan di tanah air. “Apalagi nanti kalau ditambah adanya EUTR dan ketentuan SVLK. Bisa habis,” Andre menggerutu.

Menurut Andre, mayoritas atau 80% pengrajin mebel di Indonesia tergolong skala kecil-menengah yang sangat mengandalkan pasar di Eropa. Hingga kini, pengusaha mulai berinisiatif menekan ongkos produksi akibat resesi yang menghantam pasar tujuan ekspor. Andre mengungkapkan pihaknya telah meminta pemerintah untuk mempertimbangkan usulan perubahan tenggat waktu pemenuhan SVLK bagi industri mebel hingga 2014 mendatang. Sistem yang rumit dan biaya penyiapan dan audit yang mahal masih menjadi hambatan utama pengusaha.

“Pemerintah seperti tidak mau tahu situasi kelompok pengusaha mebel dan furnitur. Apalagi, tidak mudah untuk mengubah pola pikir pengrajin untuk sosialisasi kayu legal,” jelasnya. Asmindo mencatat omzet perusahaan mebel tahun ini menurun rata-rata 20% akibat anjloknya permintaan di Eropa dan Amerika sehingga turut memangkas produksi dan kapasitas terpakai, serta adanya pengurangan tenaga kerja.

Kepala Sub Direktorat Penilaian Kinerja Industri dan Pemasaran Hasil Hutan Kemenhut Maidiward mengungkapkan pemerintah tidak dapat melonggarkan tenggat waktu kepada pengusaha. Menurutnya, Indonesia perlu memeroleh jaminan dari Uni Eropa untuk tidak menerima hasil hutan kayu yang diperoleh secara ilegal. Maidiward mencatat komitmen UE tersebut akan menjadi kompensasi dari upaya negara berkembang dalam menekan tingkat pembalakan hutan secara ilegal. Sayangnya, kata Maidiward, hingga kini UE masih giat mengimpor kayu ilegal karena harganya lebih murah. “Kayu legal itu bisa dihargai US$ 350 per m3, sementara kayu ilegal jauh lebih murah sekitar US$ 150 per m3,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya