SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Keadilan ekonomi nampaknya semakin absurd  dan langka di negeri ini. Bayangkan, di saat yang bersamaan di kawasan yang hampir berdekatan terjadi ketimpangan pembangunan ekonomi yang luar biasa ekstremnya. Di Tajur, Citeureup, Bogor, misalnya, ada sekolah yang kekurangan dana untuk pembangunan ruang kelas, sehingga satu ruangan terpaksa dipakai untuk proses belajar mengajar dua kelas sekaligus.

Padahal, lokasi sekolah tersebut hanya berjarak kurang 30 km dari kediaman Pak Esbeye, Presiden kita. Keberadaan SD Negeri Tajur 7 tersebut, mungkin hanya mewakili potret buram begitu banyaknya sekolah di negeri ini yang belum memiliki gedung memadai.

Promosi Sejarah KA: Dibangun Belanda, Dibongkar Jepang, Nyaman di Era Ignasius Jonan

Luar biasanya, di saat yang bersamaan, di lokasi yang tidak berjauhan, para wakil rakyat justru hidup dan bergaya super-mewah. Lihat saja fenomena yang hangat dibicarakan belakangan ini.  Keberadaannya sebagai wakil rakyat kembali digugat banyak kalangan.

Setelah mengalokasikan Rp2 miliar untuk membangun toilet, dan Rp20,4 miliar untuk renovasi gedung rapat Badan Anggaran (Banggar), kini Dewan kembali membuat ulah dengan impor kursi Banggar senilai Rp24 juta per kursi. Harga sebuah kursi yang nilainya sama dan bisa dipakai untuk membangun satu unit rumah sederhana.

Di sini terlihat bahwa para wakil rakyat, yang keberadaannya ada karena rakyat sebagai konstituens yang memilih, tidak peka lagi terhadap hati nurani dan keadilan ekonomi. Mereka sudah ‘buta dan tuli’ terhadap keadaan lingkungan sosial ekonomi yang melingkupinya.

Seharusnya, yang perlu mereka lakukan justru ‘merenovasi’ hati dan pikirannya, serta gaya hidupnya, bukan justru merenovasi fisik bangunan, tempat kantornya.

Kalaupun perlu merenovasi gedung, kalangan DPR mungkin bisa menggunakan anggaran yang wajar-wajar saja dan tidak melukai hati nurani rakyat.

Di berbagai kawasan, masih banyak gedung sekolah dan infrastruktur sekolah yang belum memadai. Bahkan, di Lebak, Banten, anak-anak terpaksa sekolah dengan menyeberangi sungai menggunakan jembatan tali.

Masalah keterbatasan infrastruktur jembatan di Lebak, Banten ini, beberapa tahun lalu sudah di ekspose media massa lokal, namun hingga sekarang (sudah beberapa tahun) setelah di ekspose media massa luar negeri, pemerintah baru turun tangan. Selama ini, pemerintah terkesan absen alias tidak hadir dalam penanganan infrastruktur jembatan ini. Inilah potret ketimpangan dan kesenjangan pembangunan ekonomi yang masih terus saja terjadi di negeri yang katanya menganut dan menjunjung tinggi ajaran dan paham Pancasila.

Inilah portret sebuah negeri yang masih kuat keegoisannya. Semua pihak masih berpikir parsial, tersegmentasi, yang penting ‘aku’ dan ‘kelompokku’ bisa eksis, tidak peduli pada kepentingan kelompok lainnya. Semestinya, kalau kita semua berjiwa besar, maka kata-kata berbau ‘aku’ harus mulai ditanggalkan dan diganti dengan ‘kita’. Kalaupun mau membangun, harus dimulai dari kata ‘kita’ bangun bersama-sama. Pemikiran kenegarawan dan kebangsaan, harus berangkat dengan kata ‘kita’ mampu karena kita bersama-sama. Indonesia masih sangat miskin dengan tokoh yang memiliki visi kebangsaan dan kenegarawanan semacam ini.

Tak aneh kalau belakangan ini banyak SMS (short message service) dan BBM (black berry message) gelap yang memelesetkan butir-butir Pancasila yang kita miliki menjadi demikian.  Pertama, keuangan yang maha kuasa. Kedua, korupsi yang adil dan merata. ketiga, persatuan mafia hukum Indonesia. Keempat, kekuasaan yang dipimpin oleh nafsu kebejatan dalam persekongkolan dan kepura-puraan. Kelima, kenyamanan sosial bagi seluruh pejabat dan para wakil rakyat. Munculnya sinisme terhadap butir-butir Pancasila tersebut karena masyarakat jenuh dan apatis dengan keadaan yang ada.

Anekdot sindiran tersebut merupakan bukti kecintaan masyarakat terhadap Pancasila itu sendiri, namun dalam praktik kenegaraan dan kebangsaan kembali absen. Praktiknya di lapangan tidak muncul sama sekali. Sila kelima yang berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, memang masih absurd dan langka. Terlebih keadilan hukum, dan keadilan ekonomi, masih jauh dari negeri ini. Rasanya kita senantiasa menggantang asap. Terlebih para wakil rakyat yang diharapkan bisa membawa secercah perubahan di negeri ini, ternyata melakukan sesuatu yang melukai hati nurani rakyat banyak.

Saya tidak habis pikir, apa yang sesungguhnya ada dalam benak para wakil rakyat ini. Kita patut bertanya, mengapa mereka tidak merasa sungkan atau bahkan merasa malu ketika melakukan sesuatu kegiatan yang jelas-jelas menuai kritik dan kecaman tajam dari masyarakat kita.    Tapi itulah realitas yang terjadi di depan mata kita bersama. Untuk itu, masyarakat tetap harus menang  (jangan kalah) terhadap segala bentuk ketidakadilan di negeri ini. Kita semua harus terus memberangus bibit-bibit ketidakadilan dan ketimpangan yang masih saja terjadi dalam kehidupan sesehari.

 Oleh:

Susidarto

Pemerhati masalah sosial ekonomi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya