SOLOPOS.COM - Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Kulonprogo, Untung Waluyo meninjau lokasi Pantai Bugel yang mengalami abrasi, Kamis (22/10/2015). (Harian Jogja/Rima Sekarani I.N.)

Abrasi Pantai Selatan juga terjadi di daerah Panjatan.

Harianjogja.com, KULONPROGO — Abrasi di wilayah Ring I, Desa Bugel, Kecamatan Panjatan, Kulonprogo semakin parah setiap tahun. Jarak bibir pantai dengan rumah warga sudah kurang dari 100 meter sehingga dinilai membahayakan. Meski begitu, wacana relokasi masih terlihat sulit direalisasikan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kepala Desa Bugel, Sunardi mengatakan, warga Ring I awalnya merupakan korban bencana di sekitar wilayah Kulonprogo. Transmigrasi lokal dilakukan karena mereka bersedia direlokasi dari wilayah rawan bencana tapi tidak ingin jauh ke luar Jogja. Saat itu, wilayah pesisir selatan dinilai cukup menjanjikan. Sekitar 70 KK kemudian mulai menempati Ring I sejak tahun 2002. Warga bekerja sebagai nelayan dan mengolah lahan untuk kegiatan pertanian. Jumlahnya kini sudah bertambah menjadi setidaknya 100 KK. Meski begitu tidak semuanya menetap di Ring I, ada pula yang hanya datang untuk mengelola lahan pertanian.

Awalnya, posisi antara bibir pantai dengan rumah maupun lahan pertanian warga masih sangat jauh. Pemerintah pun tidak memperkirakan jika abrasi akan menjadi separah sekarang. Sunardi mengungkapkan,  jarak antara bibir pantai dengan rumah warga Ring I saat ini rata-rata hanya sekitar 50-60 meter. Jarak dengan lahan pertanian bahkan lebih dekat lagi. Kondisi itu semakin mengkhawatirkan karena abrasi masih berlanjut.

“Sebenarnya memang sudah tidak aman dan nyaman untuk ditinggali,” kata Sunardi, Kamis (22/9/2016) lalu.

Paska gelombang tinggi yang mempercepat abrasi pada Juni lalu, Pemdes Bugel telah mengumpulkan warga Ring I. Sunardi memaparkan, warga menyatakan bersedia untuk pindah demi keselamatan. Namun, eksekusinya tidak jelas hingga kini. Hal itu karena Pemkab Kulonprogo hanya bisa memfasilitasi dengan menawarkan program transmigrasi ke luar Jawa karena tidak ada lahan untuk transmigrasi lokal seperti sebelumnya. Namun, mayoritas warga menolak program itu.

Warga lalu disarankan untuk pulang ke tempat asal. Namun, banyak yang keberatan karena mengaku sudah tidak punya rumah dan tidak ingin bergabung dengan keluarga atau kerabat. Pada akhirnya, warga memilih bertahan di Ring I dengan selalu bersikap waspada terhadap ancaman gelombang tinggi dan abrasi.

“Kami sudah ditetapkan sebagai KSB [Kampung Siaga Bencana]. Warga sudah tahu tentang mitigasi bencana. Tapi sebenarnya relokasi itu jauh lebih baik,” ujar Sunardi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya