SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

 Solopos.com, SOLO-Sembilan dekade silam, 22 Desember 1928, Dalem Jayadipuran, milik seorang bangsawan Raden Tumenggung Joyodipoero (kini Kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional di Jl. Brigjen Katamso, Yogyakarta) menjadi saksi sejarah perjuangan perempuan menuju setara. Pikiran-pikiran 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatra melebur dalam Kongres Perempuan Pertama.

Kongres berlangsung tak lama setelah pelaksanaan Kongres Pemuda II, pada 28 Oktober 1928, yang mendeklarasikan semboyan persatuan nasional Sumpah Pemuda. Kongres itulah yang menjadi gagasan lahirnya Hari Ibu pada 1938. Bertahun setelahnya, dalam peringatan kongres ke-25, Presiden Soekarno menetapkan Hari Ibu sebagai hari nasional bukan hari libur lewat Keputusan Presiden No. 316/1959.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Perwakilan perempuan dari organisasi seperti Wanita Oetomo, Poetri Indonesia, Jong Islamieten Bond, Wanita Taman Siswa, Aisyiyah Djokjakarta, Jong Java Mesijeskring, dan Wanita Katholiek membacakan pidato. Mereka menyampaikan beragam wacana, utamanya tentang perkawinan anak, pendidikan bagi perempuan, poligami, hingga perjuangan buruh perempuan. Organisasi-organisasi itu sebagian masih terus bertumbuh, seperti Aisyiyah dan Wanita Katolik. Sebagian lagi telah bubar dan menjelma menjadi organisasi baru.

Sekretaris Pimpinan Pusat Aisyiyah, Tri Hastuti Nur Rochimah, mengatakan pada Kongres Perempuan Pertama, Aisyiyah mengirim dua orang  untuk berpidato yakni, Siti Moendjijah dan Siti Hajinah. Moendjijah menyampaikan orasi tentang Deradjat Perempoean, sedangkan Siti Hajinah fokus pada Persatoean Organisasi Perempoean. “Dua hal yang dilawan adalah penjajahan Belanda dan ketertindasan perempuan. Maka isu yang muncul saat itu tentang perkawinan anak, poligami, dan nikah siri yang saat itu marak dilakukan. Selain itu isu yang juga menguat adalah hak perempuan mendapatkan pendidikan dan perbaikan ekonomi,” kata dia melalui sambungan telepon, Kamis (20/12/2018).

Dekan Fakultas Ekonomi, Ilmu Sosial, dan Humaniora Universitas Aisyiyah Yogyakarta tersebut mengatakan isu-isu yang diangkat oleh perempuan di masa itu masih sangat relevan pada masa kini. Soal perkawinan anak, misalnya, terus menjadi perdebatan sampai akhirnya Mahkamah Konstitusi mengabulkan kenaikan batas usia pernikahan beberapa waktu lalu. Tuti, sapaan akrabnya, menyebut pernikahan anak menjadi sangat krusial lantaran menyumbang angka kematian ibu (AKI) yang tinggi. Selain itu, menaikkan batas usia anak mengurangi angka kekerasan terhadap perempuan dan anak serta memutus rantai kemiskinan.

“Anak yang mendapat akses pendidikan lebih tinggi karena tidak menikah cepat, ikut mengurangi angka kemiskinan. Organ reproduksi yang siap menurunkan AKI. Saat ini 7-8 perempuan Indonesia meninggal karena melahirkan setiap harinya. Wajah kesejahteraan negara itu salah satunya dilihat dari AKI,” ucap Tuti.

Pada kongres itu, Moendjiyah menyerukan agar perempuan Indonesia menempuh pendidikan tinggi agar lepas dari kebodohan, meraih pengetahuan sekaligus kesetaraan hak dengan kaum pria.

Terpisah, Ketua Wanita Katolik Republik Indonesia DPD Jateng, M.M. Nunung Purwanti, mengatakan keterlibatan organisasi itu dalam kongres didorong keprihatinan kondisi buruh perempuan di pabrik rokok cerutu Negresco di Jogja. Para buruh perempuan yang tak memiliki pendidikan tersebut menerima upah sangat minim. Wanita Katolik melakukan advokasi agar ada perbaikan upah buruh perempuan.

“Sekaligus saat itu perempuan dinikahkan di usia masih sangat muda sehingga kerap jadi korban kekerasan. Hal itu pula yang menjadi dasar pemilihan Poesara Wanita, menjadi nama organisasi Wanita Katolik di awal berdirinya pada 1924. Penggeraknya Raden Ayu Maria Soelastri Sasraningrat Soejadi Darmosapoetra, adik kandung Nyi Hajar Dewantoro,” kata Nunung saat berbincang dengan Solopos.com, Rabu (19/12/2018).

Di masa sekarang, Wanita Katolik masih memperjuangkan hal sama. Ia menilai kondisi saat ini tidak jauh berbeda karena perempuan yang menjadi bagian masyarakat masih sekadar penggembira. Perempuan dianggap marjinal dan menjadi sasaran kekerasan. Pernikahan dini yang jamak terjadi dan mandeknya pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).

“Upaya membongkar konstruksi masyarakat yang tidak adil gender perlu terus dilakukan dengan bergandengan tangan. Tidak hanya dalam satu kelompok, tetapi antar kelompok,” ujar Nunung yang asli Solo itu.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya