SOLOPOS.COM - Pusat Studi Javanologi Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo menggelar Seminar bertema Menggagas Pengembangan Pengetahuan Arsitektur Jawa di ruang sidang 1 Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UNS, Kamis (5/12/2013). (Kiri ke Kanan), Muhammad Muqoffa (Javanologi UNS), Revianto Budi Santosa (Arsitek UII Jogja), Josef Prijotomo (Arsitek ITS Surabaya). (Binti S/JIBI/Solopos)

Solopos.com, SOLO – Arsitektur tradisional asli Indonesia masih memiliki porsi yang minim dalam materi perkuliahan di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia yang mempunyai program studi (prodi) Arsitek. Sekitar 90% materi perkuliahan masih mengajarkan arsitektur modern dari Eropa dan hanya 10% muatan materi arsitektur tradisional.

“Indikator yang paling nyata, lima perguruan tinggi ternama di Indonesia yang ada Arsitektur justru tidak mengajarkan arsitektur tradisional dan hanya diletakkan pada mata kuliah pilihan,” jelas Pakar Arsitektur Jawa dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Josef Prijotomo, di sela-sela seminar Javanologi UNS bertema Menggagas Pengembangna Pengetahuan Arsitektur Jawa di Ruang Sidang 1 gedung Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UNS, Kamis (5/12/2013).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Berdasarkan perbandingan tersebut Guru Besar Arsitektur ITS Surabaya tersebut menyontohkan jika capaian satuan kredit semester (SKS) mahasiswa S1 Arsitektur hingga lulus sebanyak 144 SKS, sekitar 140 SKS merupakan materi arsitektur dari luar negeri. Sedangkan empat SKS sisanya mengajarkan arsitektur tradisional.

Ekspedisi Mudik 2024

“Paling banyak delapan SKS itu porsi yang sangat kecil sehingga mahasiswa kurang paham dengan arsitektur tradisional. Yang diajarkan sekolah arsitektur lebih pada antropologi kebudayaan, bukan arsitektur tradisional, ini bisa dibilang kritis,” imbuhnya.

Padahal, menurutnya, arsitektur tradisional terutama Jawa sangat cocok dengan kondisi geografis Indonesia. Arsitektur yang banyak mengeksplor kayu sebagai material bangunan sesuai dengan fungsinya tempat berteduh dan bernaung ketimbang tempat berlindung. Hal itu sesuai dengan kondisi Indonesia yang memiliki dua musim dalam setahun yakni kemarau dan hujan serta akrab dengan gempa.

“Sangat berbeda dengan arsitektur dari Eropa yang terbuat dari tembok sebagai tempat berlindung dari suhu dingin karena Eropa punya empat musim,” lanjutnya.

Selain itu, adanya pola pikir yang menganggap arsitektur Jawa cenderung kuno dan ketinggalan zaman. Pada 2002, pihaknya sempat mengusulkan agar dalam program studi Arsitektur di perguruan tinggi memberikan porsi yang lebih banyak untuk materi arsitektur tradisional. Namun, gagasan tersebut belum mendapat respons dari perguruan tinggi.

“Alasannya karena tidak ada sumber daya manusia (SDM) dan referensi yang mendukung. Selain itu orientasinya masih condong pada globalisasi untuk bersaing di dunia internasional,” paparnya.

Meski demikian, belakangan pihaknya menemukan sejumlah remaja yang tertarik mempelajari  arsitektur Jawa, Flores dan Sulawesi. Selain itu, sejumlah turis asal Brazil, Jepang, Korea, Swiss, dan Skotlandia juga tertarik untuk mempelajari arsitektur Jawa.

Sementara itu, Kepala Institut Javanologi LPPM UNS, Sahid Teguh Widodo, mengatakan pengembangan arsitektur Jawa memiliki peran strategis dalam perkembangan kebudayaan Jawa. Menurutnya, Institut Javanologi juga fokus terhadap pengembangan arsitektur nusantara,” imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya