SOLOPOS.COM - Ilustrasi (Dok/JIBI/Solopos)

Solopos.com, SOLO — Sebanyak 70% dari 44 kilo meter persegi tanah di Solo masuk kategori merah atau tercemar. Pencemaran tanah tersebut lantaran masyarakat membuang limbah tinja mereka menyalahi aturan.

Menurut Kepala Bidang Cipta Karya Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Solo, Harjana, masyarakat masih membuang limbah tinja di sembarang tempat. Tanah tercemar paling banyak berada di wilayah dekat dengan aliran sungai.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

“Masyarakat Solo masih berperilaku tidak sehat. Mereka membuang tinja atau limbah rumah tangga dengan sesuka hati. Paling ketara dari pencemaran itu adalah perilaku masyarakat yang membuang limbah di aliran sungai. Secara otomatis air sungai tersebut terserap ke dalam tanah di sekitarnya. Tanah menjadi tercemar,” kata Harjana saat dijumpai Solopos.com di kantornya, Kamis (19/6/2014).

Harjana menambahkan kategori tanah tercemar adalah yang mengandung zat berbahaya bagi kesehatan lingkungan atau manusia. “Sebagian besar tanah di Solo tercemar bakteri E-colifom. Bakteri tersebut mempengaruhi kesehatan  yang berhubungan dengan pencernaan. Bakteri E-colifom berkembang biak di kotoran manusia. Jika kotoran dibuang sembarang tentu bakteri akan mencemari lingkungan di sekitar,” ujar Harjana.

Koordinator Sanitasi Perkotaan Berbasis Masyarakat (SPBM) Urban Sanitation and Rural Infrastructure (USRI) Solo, Hanun Prajitno, mengatakan selain dekat dengan aliran sungai tanah yang tercemar berada di wilayah padat penduduk.

“Bisa dilihat saat ini Solo mulai padat merayap dan banyak penduduk berdatangan. Kelurahan-kelurahan yang di wilayahnya terdapat sentra industri ekonomi akan memancing warga bertempat tinggal di sekitarnya. Mereka membangun rumah baru hingga menjadi padat penduduk. Saya yakin di antara mereka tidak memiliki septic tank,” imbuh Hanung.

Hanung mengatakan pengelolaan limbah tinja di wilayah padat penduduk sulit untuk dikontrol. Tidak ada tempat yang cukup untuk membangun saptic tank. Minimnya sarana pengelolaan limbah tinja tersebut menjadi penyebab utama pencemaran tanah.

“Di wilayah padat penduduk sebagian besar rumah mereka tidak dilengkapi dengan saptic tank. Sebaliknya, mereka yang memiliki saptic tank malah tidak pernah sedot rutin lumpur tinja. Mereka tidak tahu bahwa kondisi itu sebenarnya keliru. Saptic tank bocor dan limbah tinja keluar sehingga mencemari tanah,” ujar Hanung.

Hanung menambahkan kesadaran dari masyarakat adalah upaya utama untuk bisa mengurangi pencemaran tanah di Solo. “Hampir merata di lima kecamatan di Solo terjadi pencemaran tanah. Sebut saja di Kelurahan Mojosongo dan Gandekan di Kecamatan Jebres. Sebagian daerah di sana bisa dikategorikan mayarakat Pak Kumis [padat, kumuh, miskin]. Masyarakat harus mulai terlibat dalam menjaga kesehatan di lingkungan mereka sendiri,” imbuh Hanung.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya