SOLOPOS.COM - Penyandang cacat tuna daksa mengikuti permainan dalam rangkaian Jambore Nasional Anak Berkebutuhan Khusus(ABK) di Lorin Bussines Resort and Spa Solo, Rabu (26/9/2012). Jambore ke-2 tersebut diikuti 330 anak berkebutuhan khusus perwakilan dari seluruh Indonesia. (JIBI/SOLOPOS/Burhan Aris Nugraha)

Penyandang cacat tuna daksa mengikuti permainan dalam rangkaian Jambore Nasional Anak Berkebutuhan Khusus(ABK) di Lorin Bussines Resort and Spa Solo, Rabu (26/9/2012). Jambore ke-2 tersebut diikuti 330 anak berkebutuhan khusus perwakilan dari seluruh Indonesia. (JIBI/SOLOPOS/Burhan Aris Nugraha)

SOLO – Sekitar 70% Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dengan disabilitas di Indonesia belum terjangkau layanan pemerintah. Faktor biaya dan keluarga yang malu pada kondisi anak juga turut menyumbang masih kurangnya jangkauan terhadap anak-anak tersebut.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Direktur Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar (PPK-LK Dikdas) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Murdjito, menjelaskan berdasarkan data terakhir, jumlah ABK dengan disabilitas di Indonesia pada 2011 diperkirakan sebanyak 356.192, sedangkan yang telah memperoleh layanan pendidikan pada 1.600-an SLB di Indonesia hanya sekitar 85.645 anak. “Harus diakui banyak sekali kendala dan hambatan yang dialami pemerintah,” jelasnya, Rabu (26/9/2012).

Ekspedisi Mudik 2024

Kendala itu berupa anggaran dana dari pemerintah yang belum mampu mengover seluruh kebutuhan ABK. Saat ini pemerintah baru menyediakan anggaran sebesar Rp83 miliar di luar Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk satu tahun. Dana itu hanya cukup untuk mencakup sekitar 106.000 anak dengan beasiswa ABK sebesar Rp750.000 per tahun untuk tiap anak. “Idealnya tiap anak dapat beasiswa Rp2 juta per tahun,” tegasnya.

Pihaknya akan mengajukan tambahan dana sebesar Rp500 miliar untuk pembentukan gerakan pendukung pendidikan inklusi di semua daerah di Indonesia. Gerakan itu tidak diprioritaskan pada pembangunan infrastruktur fisik, melainkan pada pengembangan kepedulian semua stakeholders. Dengan itu pada 2015 ditargetkan minimal 50% ABK sudah dapat terakomodir. “Dengan target sebesar itu kami sudah ngos-ngosan apalagi kesulitan untuk menyisir ABK yang tersisa di pinggir-pinggir daerah,” kata Murdjito.

Selain masalah dana, faktor orang tua yang malu untuk menyekolahkan ABK pun menjadi kendala lainnya. Sebagian besar orang tua ABK menyembunyikan anaknya karena menganggap keterbatasan itu sebagai aib. “Karena itu ABK jadi tidak bisa mengenyam pendidikan, apalagi kebanyakan orangtua juga mengalami masalah ekonomi,” paparnya.

Meski demikian, Murdjito mendorong para orangtua ABK untuk tidak segan menyekolahkan anaknya di SLB maupun sekolah penyelenggara pendidikan inklusi, karena peran serta masyarakat menjadi pendukung pemerintah untuk mewujudkan pemenuhan pendidikan bagi ABK dengan disabilitas atau pendidikan untuk semua (Education for All). “Pemerintah menjamin semua ABK akan mendapatkan beasiswa,” paparnya.

Hal itu sesuai dengan amanat UU Sistem Pendidikan Nasional no.20/2003 pada pasal 32 ayat 1 tentang pendidikan khusus seperti untuk anak dengan disabilitas (cacat), kemdian anak cerdas istimewa dan bakat istimewa; ayat 2 tentang pendidikan layanan khusus (PLK) seperti anak jalanan, anak keluarga miskin absolut, anak korban trafficking, anak TKI, anak korban bencana, anak pelacur dan pelacur anak, anak korban narkoba dan HIV/AIDS, anak di daerah terpencil atau pedalaman atau pulau-pulau dan Lapas anak.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya