SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

DIPERIKSA—Seorang dokter Puskesmas Ngrampal (kiri) memeriksa tensi darah penderita komplikasi tumor dan hepatitis, Sriyantun, 26, (terbaring) di rumahnya, di Dukuh Karangtanjung RT 20/RW XXIII, Desa Ngarum, Ngrampal, Sragen, Jumat (30/9/2011). (JIBI/SOLOPOS/Tri Rahayu)

Sumiyem, 58, duduk disamping Sriyantun, 26, di amben di kamar berdinding tripleks dan gedek pagi itu. Satu sendok demi satu sendok nasi disuapkan ke mulut bungsu dari tiga bersaudara itu. Tak sengaja air mata Sumiyem menetes di pipinya saat menyuapi ibu satu anak itu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Mungkin Sumiyem merasa iba dan tak mampu berbuat apa-apa untuk kesembuhan putri kesayangannya yang menderita tumor ganas sejak umur 19 tahun. Sriyantun dan anaknya, Deva Saputra, 7, tinggal bersama Sumiyem dan suaminya Giyono, 60, di rumah beralas tanah di pinggiran Dukuh Karangtanjung RT 20/RW XXIII, Desa Ngarum, Kecamatan Ngrampal, Sragen.

Jumat (30/9) pagi itu, seperti hari-hari biasa. Sriyatun tak bisa ke mana-mana. Dia hanya terbaring di tempat tidurnya. Tubuhnya masih lemas seperti saat menjalani rawat inap di RSUD Sragen selama satu pekan. Atas saran dokter, Sriyantun diminta pulang untuk menjalani rawat jalan. Jalan satu-satunya untuk menyembuhkan penyakitnya hanya dengan operasi di RSUD dr Moewardi Solo.

“Saya baru pulang dari RSUD kemarin (Kamis, 29/9/2011). Pihak rumah sakit akan memberi bantuan Rp 2,5 juta untuk biaya operasi saya. Tapi kekurangan harus cari kemana? Karena tidak ada biaya, saya memilih untuk obat jalan saja,” ungkap Sriyantun dengan nada lirih.

Suami Sriyantun, Sugino, terpaksa merantau ke Jakarta untuk mencari penghasilan lebih. Setiap pekan sekali Sugino mengirim uang antara Rp 200.000-Rp 300.000 untuk membeli obat. Penebusan satu jenis obat nilainya sampai Rp 350.000. Karena keterbatasan dana, Sriyatun hanya menebus separuhnya. “Mas Gino ngirim uangnya tidak mesti. Kadang Rp 200.000, kadang sampai Rp 300.000. Uang itu untuk biaya sekolah anak dan sisanya untuk menebus obat. Saya biasanya menebus obat dengan harga Rp 175.000. Sebelumnya hanya Rp 163.000,” ujarnya.

Mendengar cerita anaknya, Sumiyem tak kuasa menahan tangisnya. Dia menyeritakan kehidupan bungsunya yang terus didera ujian Tuhan. “Kami ini hanya buruh. Suami saya pun hanya bekerja serabutan. Semua isi rumah sudah dijual. Bahkan tabung elpiji tiga kilogram bantuan pemerintah pun juga dijual untuk menambah beli obat. Dari mana lagi kami harus mencari uang?” kata Sumiyem sembari terisak-isak.

Perut Sriyantun terlihat membesar seperti orang hamil. Semula baru benjolan kecil di perut sisi kirinya. Lambat laun benjolan itu terus
membesar sampai sekarang. Untuk makan saja, Sriyatun kesulitan menelankan. Dia bilang kalau menelan nasi seperti mandek di
tenggorokan dan ingin kembali keluar.

Pada hari itu juga, rombongan Puskesmas Ngrampal datang ke rumah Sriyantun. Dokter puskesmas sebenarnya sudah lama mengetahui kondisi Sriyatun. Namun, baru kali ini puskesmas memberikan perhatian serius kepada Sriyantun. Mereka meminta Sriyatun mondok kembali di RSUD. Persoalan tersebut bakal dikonsultasikan kepada Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Sragen.

(Tri Rahayu)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya