SOLOPOS.COM - Pasangan pengantin di Dukuh Sendang, Desa Kalangan, Kecamatan Gemolong, Sragen, dibopong menuju sendang dalam ritual Kethur Kendi, belum lama ini. (Istimewa/Yoto Teguh Pambudi)

Solopos.com, SRAGEN — Sebagian masyarakat di Bumi Sukowati masih memegang teguh kepercayaan atau mitos yang kadang sulit dicerna oleh logika.

Terlepas dari kontroversi yang mengiringinya, mitos yang berkembang itu menjadi bagian dari khasanah kebudayaan masyarakat Jawa.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Berikut Solopos.com sajikan enam mitos populer yang berkembang di masyarakat Sragen.

1. Mitos Pengantin Dibopong ke Sendang

Pasangan pengantin di Dukuh Sendang, Desa Kalangan, Kecamatan Gemolong, Sragen, dibopong menuju sendang dalam ritual Kethur Kendi, belum lama ini. (Istimewa/Yoto Teguh Pambudi)
Pasangan pengantin di Dukuh Sendang, Desa Kalangan, Kecamatan Gemolong, Sragen, dibopong menuju sendang dalam ritual Kethur Kendi, belum lama ini. (Istimewa/Yoto Teguh Pambudi)

Ada ritual unik yang harus dijalani pasangan pengantin asal Dukuh Sendang, Desa Kalangan, Gemolong, Sragen. Sepasang pengantin yang sudah dirias akan dibopong warga menuju ke sendang tak jauh dari kampung tersebut.

Terdapat dua sendang di lokasi. Warga biasa menyebutnya dengan istilah sendang lanang dan sendang wadon. Sendang itu memiliki sumber air yang tak pernah kering. Sendang di bawah pohon yang rindang itu sudah dimanfaatkan airnya oleh warga sekitar sejak zaman nenek moyang.

Di dekat sendang itu terdapat sebuah patung ganesha yang bagian kepalanya sudah hilang. Sendang itu menjadi ramai saat warga setempat menggelar hajatan pernikahan.

Baca Juga: Kethur Kendi, Ritual Unik Jelang Pernikahan di Gemolong Sragen

Warga berdatangan untuk menyaksikan ritual yang dijalani pasangan pengantin sebelum mengikuti prosesi pernikahan di rumah. Ritual ini tidak bersifat wajib. Namun, warga sekitar menganjurkan tradisi ini dijalani pengantin yang pasangan perempuannya adalah warga sekitar.

Setelah dibopong menuju sendang, pasangan pengantin itu diminta duduk di atas tikar. Di atas tikar itu keduanya diajak berdoa oleh seorang nenek tua yang memimpin ritual. Di hadapan mereka, terdapat kendi yang berisi air dari sendang.

Selanjutnya, nenek itu mengajak pasangan pengantin berdiri. Nenek itu tua itu selanjutnya mengucurkan air dalam kendi. Dia berjalan diikuti pasangan pengantin dan pengiringnya. Mereka memutari lokasi hingga tiga kali, sesuai dengan garis yang dibuat dari kucuran air kendi itu.

“Saya sudah coba mengorek informasi dari sesepuh warga di sini. Ritual itu belum ada namanya. Saya sendiri menamakannya dengan tradisi kethur kendi. Ini adalah salah satu kearifan lokal di Desa Kalangan warisan nenek moyang yang masih tetap lestari hingga sekarang,” ujar Yoto Teguh Pambudi, warga Dukuh Sendang, Desa Kalangan, saat berbincang dengan Solopos.com.

Baca Juga: Ritual Mandi Tolak Bala, Tradisi Rebo Wekasan di Serang Banten

Selain pasangan pengantin, beberapa peralatan gamelan juga dibawa warga ke sendang. Gamelan itu dibunyikan untuk mengiringi perjalanan pasangan pengantin selama mengikuti ritual. Tradisi yang dijalani pasangan pengantin itu sudah membudaya di lima dukuh di dua desa.

Mereka adalah Sendang, Nglebak, Brumbung, Sentana (Desa Kalangan) dan Desa Nglebak Nganti (Desa Nganti). Sebagian warga percaya ritual itu harus dijalani pasangan pengantin. Bila tidak dilaksanakan, sebagian warga khawatir kehidupan paskapernikahan itu akan mendapat banyak cobaan atau rintangan.

“Itu sebenarnya hanya mitos. Boleh percaya, boleh tidak. Bagi warga pendatang seperti saya, itu adalah tradisi budaya yang menarik. Itu adalah kearifan lokal yang tidak ada di desa lain. Saya menganggapnya sebagai khasanah budaya yang perlu dilestarikan. Mungkin bagi warga asli sini, tradisi itu dianggap hal biasa dan tidak ada yang istimewa,” papar Teguh.

Ritual kethur kendi itu memiliki makna filosofis. Lewat tradisi ini, pasangan pengantin diajak senantiasa bersyukur atas nikmat Ilahi sebagai bekal membina mahligai rumah tangga. Air adalah salah satu rizeki dari Allah yang harus disyukuri.

Baca Juga: Warga Lereng Merapi Boyolali Lakukan Ritual Tutup Sura, Ini Tujuannya

“Air adalah sumber kehidupan. Tanpa air, tanaman pangan akan mati. Padahal, manusia tidak bisa hidup tanpa makanan yang dihasilkan dari tanaman. Itulah sebabnya, pasangan pengantin itu diajarkan bagaimana bersyukur atas nikmat Ilahi,” jelas Teguh.

2. Mitos Batu Keramat Pasar Kota Sragen

pasar kota sragen
Penampakan dua batu besar bernama Eyang Watu yang dikeramatkan di Pasar Kota Sragen, Senin (2/8/2021). (Solopos.com/Moh Khodiq Duhri)

Tepat di sebelah barat sumur yang berada di bagian tengah pasar, terdapat salah satu los yang berbeda dengan los pedagang pada umumnya. Jika los lain berisi aneka dagangan milik pedagang, los ini hanya berisi dua buah batu.

Namun, dua buah batu yang berukuran cukup besar itu bukan sekadar batu biasa. Dua buah batu itu ternyata cukup dikeramatkan di kalangan pedagang dan pengunjung pasar.

Permukaan satu dari dua batu besar sedikit cekung. Satu batu lainnya memiliki permukaan yang datar. Di atas dua batu itu terdapat bunga tabur. Di antara dua batu itu terdapat sebuah tungku yang biasa dipakai untuk menyalakan dupa atau wewangian bakar. Di depan batu itu terdapat tikar yang terbuat dari serat pelepah pisang.

Tikar itu biasa dipakai para peziarah duduk bersila. Para pedagang biasa menyebut dua batu besar itu Mbah Watu atau Eyang Watu. Ada yang menyebut dua batu besar itu sebagai makam Mbah Watu atau Eyang Watu.

Baca Juga: Penanda Lokasi hingga Penunggu Pasar, Inilah 5 Batu Keramat di Sragen

Ada pula yang menyebut bahwa dua batu itu semacam petilasan dari Mbah Watu. Namun, siapakah Eyang Watu itu, belum ada penjelasan lebih lanjut. Ada pula yang penyebut Mbah Watu merupakan sebutan dua batu besar itu sendiri.

Ketua Kerukunan Pedagang Pasar Kota Sragen (KPPKS), Mario, mengakui tidak mengetahui cerita sejarah terkait siapa itu Eyang Watu. Menurut sekelumit cerita yang dia ketahui, Eyang Watu merupakan sebutan dua batu besar yang berada di tengah Pasar Kota Sragen.

“Ceritanya dulu, konon dua batu itu pernah dipindah ke pasar cilik yang berada di depan terminal lama [Terminal Bus Martonegaran], tapi kembali lagi ke Pasar Kota Sragen,” ujar Mario.

Menurut mitos yang berkembang di sebagian pedagang, sosok Eyang Watu menjadi “pelindung” para pedagang dari mara bahaya. Sebagian pedagang percaya bila suasana pasar lebih “adem” karena ada sosok Eyang Watu.

Baca Juga: Weladalah! Batu Keramat di Desa Gebang Sragen Tak Bisa Dipindah Meski Pakai Eskavator

3. Mitos Batu Tak Bisa Dipindah di Gebang

berita terpopuler batu keramat gebang sragen
Batu berdiameter 1 meter yang dikeramatkan warga Dukuh Gebangkota, Desa Gebang, Masaran, Sragen, Minggu (19/9/2021). (Solopos/Moh. Khodiq Duhri)

Sebuah batu dengan diameter sekitar satu meter berada tak jauh dari gua petilasan Pangeran Mangkubumi di Dukuh Gebangkota, Desa Gebang, Masaran, Sragen. Sebagian dari batu itu masih terpendam di tanah. Sepintas, tidak ada yang istimewa dari batu itu. Namun, batu itu ternyata cukup dikeramatkan oleh warga sekitar.

Batu itu berlokasi di tepi jalan yang masih berupa tanah. Supaya tidak menganggu akses jalan yang baru dibangun, warga setempat sempat ingin memindah batu itu ke lokasi lain. Sebuah ekskavator sudah dikerahkan untuk memindahkan batu itu dari tempatnya. Akan tetapi, nyatanya, ekskavator itu tak mampu mengangkat batu tersebut.

“Karena ekskavator tak mampu, kemudian kami mendatangkan tukang ahli pecah batu. Dia sempat datang ke sini. Namun, dia hanya menengok batu itu dan tidak mau memecah batu itu. Bagi warga sekitar, batu itu akhirnya jadi misteri karena tidak mau dipindah,” kata Tumin, 55, warga sekitar saat ditemui Solopos.com di lokasi, Minggu (19/9/2021).

Baca Juga: Batu Keramat di Gebang Sragen Diyakini Sebagai Nisan, Begini Ceritanya

Teka-teki terkait misteri batu yang konon tak mau dipindah itu akhirnya terjawab. Ini setelah seorang sesepuh warga memberi tahu bila batu itu sejatinya adalah nisan dari seorang panglima perang wanita yang menjadi pengikut setia dari Pangeran Mangkubumi bernama Panembahan Senopati Nyai Tuginah Wiro Atmojo atau putri dari Tumenggung Wiro Atmojo.



“Itu cerita dari sesepuh yang paham soal kebatinan. Batu itu dipercaya sebagai adalah nisan pemberian Pangeran Mangkubumi sebagai penanda makam anak buahnya yang gugur,” ujar Tumin.

4. Mitos Kampung Antisinden

Desa Kandangsapi, Kecamatan Jenar, Sragen (twitter)

Di Desa Kandangsapi, Kecamatan Jenar, Sragen, hidup mitos terkait kampung atau dukuh antisinden bernama Singomodo. Kampung ini berlokasi tak jauh dari makam Syekh Nasher atau Eyang Singomodo.

Eyang Singomodo dikenal sebagai salah satu tokoh penyebar agama Islam dari keturunan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada masa kepemimpinan PB II.

Untuk menandai batas wilayah Kampung Singomodo, Syekh Nasher membuat pematang di sekeliling kampung. Hingga kini, pematang yang mengitari kampung itu juga masih ada.

Baca Juga: Misteri Batu Keramat di Desa Gebang Sragen yang Tak Bisa Dipindah, Ternyata…

Suatu hari, Syekh Nasher mengajak pengikutnya membuat tempat tinggal. Namun ada salah satu pengikut bandel. Alih-alih ikut membantu membuat tempat tinggal, pengikut itu malah kepincut nonton ledek.

Karena dianggap melanggar norma kesopanan, salah satu pengikut dan seorang ledek itu panggil Syekh Nasher. Keduanya ditawari menikah dan diminta tinggal ke barat jalan, sedangkan Syekh Nasher dan pengikut setianya tinggal di timur jalan.

Syekh Nasher kemudian mengeluarkan maklumat melarang pengikut yang tinggal di wilayah timur jalan mendengarkan atau membunyikan gamelan yang biasa dipakai untuk mengiringi sinden. Mereka juga dilarang menggelar hajatan atau hiburan yang mengundang sinden jika tidak ingin mendapat musibah.
Konon, ada salah seorang warga yang pernah nekat mengundang sinden.

Namun, begitu sindennya itu pergi kejadian aneh langsung terjadi. Warga tersebut kejatuhan buah kelapa tepat di kepalanya hingga akhirnya meninggal dunia. Sejak saat itulah, warga setempat enggan mengundang sinden karena masih percaya dengan mitos yang berkembang dari masa lalu.



“Kalau ada hajatan di Kampung Singomodo, [suara musik] yang boleh diputar hanya syair-syair Islam. Selain itu tidak boleh. Apalagi itu [sinden] dan minuman keras seperti bir,” ujar Kepala Desa Kandangsapi, Pandu, kepada Solopos.com, Kamis (7/10/2021).

Baca Juga: Rp48M Untuk Ubah Citra Wisata Esek-Esek Gunung Kemukus, Apa Saja Realisasinya?

5. Mitos Ritual Seks untuk Pesugihan di Gunung Kemukus

gunung kemukus sragen yuni-suroto
Pengguna jalan melintasi Jembatan Barong sebagai akses menuju Objek Wisata Gunung Kemukus belum lama ini. (Solopos.com/Moh. Khodiq Duhri)

Pada 2014 lalu, nama Gunung Kemukus sempat mendunia setelah sejumlah media asing memberitakan fenomena ritual sex mountain di objek wisata itu.

Menurut mitos yang berkembang, berhubungan seks dengan pasangan tak resmi di Gunung Kemukus merupakan bagian dari ritual yang harus dijalani para peziarah Makam Pangeran Samodro untuk mendapatkan kekayaan.

Kepada Solopos.com, Ketua Solo Society, Dani Saptoni, yang pernah menelitik folklore terkait sosok Pangeran Samodro menjelaskan terkait mitos ritual seks di Gunung Kemukus itu.

Dani menjelaskan Pangeran Samodro hidup pada masa keruntuhan Kerajaan Majapahit atau masih satu era dengan penyebaran agama Islam di Tanah Jawa utusan dari Kerajaan Demak pada 1400 hingga 1500 Masehi.

Baca Juga: Didanai Rp48 Miliar, Begini Wajah Baru Gunung Kemukus Sragen

“Pangeran Samodro merupakan salah satu putra dari Prabu Brawijaya. Karena ada konflik dengan ayahandanya, Pangeran Samodro kemudian mengembara keluar dari Majapahit hingga sampai di Gunung Kemukus. Di sana, Pangeran Samodro menjadi seorang mualaf dan turut menyebarkan agama Islam. Dia punya banyak murid dan menghidupi penduduk sekitar,” jelas Dani pada 2020 lalu.

Suatu ketika, para santri dari Pangeran Samodro itu tengah memasak di dapur. Pada asat itu, warga sekitar melihat kepulan asap dari dapur didilihat dari kejauahan seperti kukusan. Hal itulah yang mengilhami lahirnya istilah Gunung Kemukus.



Setelah kepergian Pangeran Samodro, ibu tirinya yakni Dewi Ontrowulan yang mengasuhnya sejak kecil menyusul keluar dari Majapahit. Sebagai seorang ibu, ia mengkhawatirkan putra angkatnya itu. Sampai akhirnya, Dewi Ontrowulan tiba di Gunung Kemukus.

“Saat tiba di Gunung Kemukus, Dewi Ontrowulan mendapati Pangeran Samodro sudah meninggal. Lalu, Dewi Ontrowulan dikubur satu liang dengan Pangeran Samodro. Namun, oleh oknum yang tidak bertangung jawab, kisah Dewi Ontowulan dan Pangeran Samodro itu dikaitkan dengan ritual pesugihan.

Baca Juga: Museum untuk Sarana Edukasi Dibangun di Gunung Kemukus Sragen

Ada cerita menyimpang yang menyebutkan bila Dewi Ontrowulan terlibat cinta terlarang dengan Pangeran Samodro. Kisah menyimpang itu kemudian yang melatarbelakangi adanya ritual berhubungan badan dengan orang lain supaya keinginannya terkabul. Padahal itu adalah bentuk penyimpangan cerita,” papar Dani yang juga lulusan Sastra Daerah, Universitas Sebelas Maret (UNS) ini.

6. Mitos Kerajaan Gaib di Waduk Kedung Ombo

Warga menaiki perahu cinta di bibir Waduk Kedung Ombo, Dusun Boyolayar, Desa Ngargosari, Sumberlawang, Sragen WKO
Warga menaiki perahu cinta di bibir Waduk Kedung Ombo, Dusun Boyolayar, Desa Ngargosari, Sumberlawang, Sragen. (Solopos-Moh. Khodiq Duhri)

Waduk Kedung Ombo yang berlokasi di tiga kabupaten di Jawa Tengah, yakni Sragen, Boyolali dan Grobogan ini menyimpan cerita misteri nan melegenda.

Salah satu cerita yang kerap muncul adalah adanya kerajaan gaib di waduk seluas 6.576 hektar ini. Konon katanya, beraneka ragam makhluk halus di waduk ini sering bergentayangan.

Waduk yang luas ini ternyata menjadi salah satu tempat favorit untuk membuang makhluk halus. Ada yang berupa jin pesugihan, jin gentayangan meresahkan warga, sampai khodam dari benda pusaka,” ungkap pengelola akun Instagram @misterisolo dalam unggahannya, Sabtu (24/10/2020).

Menurut @misterisolo, kerajaan gaib di Waduk Kedung Ombo dipimpin oleh seorang ratu. Dia dikenal sebagai sosok yang menjaga adab dan sopan santun.

Baca Juga: Panutan! Sukidi Anak Petani Sragen yang Kini Doktor Lulusan Harvard



Meskipun begitu, ternyata ada sosok lain yang katanya sering meminta tumbal di Waduk Kedung Ombo. Sosok tersebut dikenal sebagai buto.

Buto memiliki wujud dengan muka berwarna merah dan mengenakan pakaian kerajaan. Dari cerita yang beredar, buto ini kerap meminta tumbal dengan cara menyeret korban ke dasar waduk.

“Namun, setelah perjanjian dengan penduduk dan beberapa paranormal, makhluk tersebut bersedia untuk tidak mengambil tumbal dan diganti oleh sajen di malam-malam tertentu,” tambah dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya