SOLOPOS.COM - Slamet, 73, dan keluarga menetap di Hutan Tunggangan sejak sekitar 2013. Slamet menanam tanaman empon-empon, kopi, pisang, dan porang di hutan untuk menghidupi keluarga. Selasa (14/6/2022). (Solopos/Muhammad Diky Praditia)

Solopos.com, WONOGIRI — Kisah satu keluarga di Kecamatan Jatiroto, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah hidup di tengah Hutan Tunggangan daerah setempat sejak 2013.

Satu keluarga tersebut bertahan hidup dengan menanam aneka tanaman di hutan, seperti kopi, jahe, pisang, kunir, hingga porang. Kepala keluarga bernama Slamet, 73, asli Desa Ngelo, Kecamatan Jatiroto, Kabupaten Wonogiri.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Solopos.com mengunjungi keluarga Slamet di hutan tersebut, Selasa (14/6/2022). Slamet menceritakan awal mula keluarganya menetap di hutan selama sembilan tahun.

Saat ini, ia tinggal bersama istri, anak, menantu, dan dua orang cucu. Satu orang cucu perempuan masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) dan satu lagi masih bayi usia belum genap satu tahun.

Slamet bercerita sebelum memutuskan menetap di Hutan Tunggangan Wonogiri. Ia sempat merantau di Bengkulu. Kemudian, guru agamanya meminta Slamet pulang ke Wonogiri pada 2013. Tak pikir panjang, ia memutuskan pulang ke tempat kelahiran di Desa Ngelo.

Baca Juga : 1 Keluarga Hidup di Hutan Wonogiri, Rintangan Datang Silih Berganti

Slamet memiliki 13 anak, tetapi saat kembali ke Wonogiri hanya membawa istri dan salah seorang anaknya, yakni anak nomor delapan.

Berikut ini 6 fakta satu keluarga di Jatiroto Wonogiri yang sudah tinggal di hutan selama sembilan tahun:

1. Tak punya tempat tinggal dan banyak utang

Slamet tidak mempunyai tempat tinggal di Wonogiri kala itu. Dia memutuskan menyewa rumah di Desa Ngelo. Ia sempat berwiraswasta saat itu, tetapi merugi hingga memiliki utang Rp18 juta.

“Namanya orang kalut banyak utang, saya pergi ke hutan untuk mendinginkan pikiran. Di hutan, saya merasa tenang. Saya berinisiatif berjualan dua krat Sprite [minuman bersoda] di jalan hutan [menghubungkan Kecamatan Jatiroto dan Kecamatan Tirtomoyo], ternyata laku. Seiring berjalannya waktu, saya tambah berjualan nasi dan laku keras. Dibeli orang lewat,” ujar dia.

Baca Juga : Hidup di Hutan Wonogiri, Slamet Kerap Temui Pria-Wanita Tak Senonoh

2. Berjualan dan bercocok tanam di hutan

Singkat cerita, Slamet berhasil berjualan aneka makanan dan minuman di jalan hutan tersebut. Kemudian, ia memutuskan membangun rumah dan menetap di situ guna mempermudah berjualan.

Namun, ternyata tak semudah itu. Ia menghadapi beraneka halangan dan rintangan selama tinggal di Hutan Tunggangan.

Selain berjualan makanan dan minuman, Slamet juga bercocok tanam. Ia mengaku menanam kopi, pisang, kunyit, jahe, dan talas. “Setelah beberapa waktu di sini [bercocok tanam]. Belakangan saya menanam porang. Pisang yang yang ditanam lebih dari 500 pohon. Jahe dan kunyit bisa sampai puluhan ton kalau panen. Porang yang ditanam seluas satu hektare,” kata dia.

Ia mengaku pernah menjual hasil panen dan mendapatkan uang puluhan hingga ratusan juta. Meski demikian, tanamannya kerap diganggu monyet sehingga panen tidak maksimal. Tetapi, hal itu tidak menyurutkan dia terus menanam. Baginya, rezeki sudah diatur tuhan.

Baca Juga : Mitos Pohon Jati di Alas Donoloyo Wonogiri, Ojo Ditebang Sembarangan!

3. Melihat orang berbuat tak senonoh di hutan

Slamet tak hanya menceritakan tentang kehidupannya selama berada di hutan. Dia juga mengungkapkan tentang sejumlah orang yang datang ke hutan untuk mabuk dan melakukan hal tak senonoh.

Bahkan, ia mengaku pernah menemukan pakaian dalam laki-laki dan perempuan saat awal datang ke hutan. Tak jarang, ia bersitegang dengan orang-orang yang kerap datang ke hutan untuk berbuat maksiat.

4. Tak ingin pindah sampai mati

Slamet tidak berniat pindah tempat tinggal. Bahkan, jika meninggal dunia, ia ingin dimakamkan di Hutan Tunggangan.

Baca Juga : Sejarah Alas Donoloyo, Hutan Angker Tinggalan Majapahit di Wonogiri

5. Lahan Perhutani

Diketahui, lahan yang ditempati Slamet untuk tinggal dan bercocok tanam merupakan hutan lindung yang dikelola Perhutani.

Kepala Resort Pemangkuan Hutan (KRPH) yang mengelola Hutan Tunggangan, Ibnu Nugroho, mengatakan Slamet sudah bertempat tinggal di lokasi tersebut sejak sebelum ia menjabat sebagai KRPH atau Mantri di daerah tersebut.

“Mbah Slamet itu sudah ada di sana sebelum saya menjadi mantri di sana. Saya jadi mantri baru 2021 lalu. Saya juga tidak tahu persis bagaimana awal mulanya dia di sana,” kata Ibnu saat dihubungi Solopos.com, Selasa sore.

Ketika disinggung perihal izin dan kerja sama antara Perhutani dan Slamet, Ibnu menuturkan selama ini belum ada perjanjian kerja sama antarkedua belah pihak. Ibnu pun tidak tahu jika hasil panen di lahan milik perhutani bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta.



“Saya tidak tahu kalau hasilnya sampai segitu. Ke depan kami akan mengadakan perjanjian kerja sama,” imbuh dia.

Baca Juga : Sempat Tutup Selama Pandemi, Kini Rumah Batu Wonogiri Dibuka Kembali

6. Menimbulkan kecemburuan

Sementara itu, Kepala Seksi (Kasi) Pemerintahan Desa Ngelo, Suwarto, mengatakan Slamet masih tercatat sebagai warga Desa Ngelo hingga sekarang. Saat kali pertama tiba di Desa Waru, Slamet tidak mempunyai tempat tinggal.

Beberapa waktu kemudian, katanya, Slamet pindah ke hutan. “Memang sempat ada permasalahan terkait itu [keberadaan Slamet di Hutan], yaitu menimbulkan kecemburuan antarwarga. Sebab dia bisa mengolah lahan yang notabene milik Perhutani dan bisa menghasilkan uang dari sana tanpa membayar pajak,” ungkap dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya