SOLOPOS.COM - Kondisi rumah Hisam [kanan] dan Paniyem yang nyaris ambruk di Dusun/Desa Jatibatur, Kecamatan Gemolong, Sragen, Selasa (11/10/2016). (Moh. Khodiq Duhri /JIBI/Solopos)

Tiga rumah warga miskin di Gemolong, Sragen, nyaris ambruk dan saling menimpa satu sama lain

Solopos.com, SRAGEN — Rumah berdinding anyaman bambu itu tidak lagi berdiri tegak. Rumah itu sudah condong ke sebelah selatan menyerupai bentuk bangun jajaran genjang. Rumah milik Hisam, 85, itu nyaris roboh akibat terdorong oleh bangunan rumah dua tetangganya yang ambruk secara bersamaan pada Senin (10/10/2016) sore.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Ceritanya itu, rumah Mbah Tuminem, 75, ambruk menimpa rumah Mbah Pawiro Rejo alias Paidim, 82. Rumah Mbah Pawiro lalu ambruk menimpa dinding rumah Mbah Hisam sehingga rumah itu jadi miring,” jelas Ngadiman, 54, anak menantu dari Pawiro kala ditemui Solopos.com di Dusun/Desa Jatibatur, Kecamatan Gemolong, Sragen, Selasa (11/10/2016).

Puluhan warga dibantu relawan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sragen bergotong royong membersihkan puing-puing bangunan rumah milik Pawiro dan Tuminem, Selasa pagi. Tuminem merupakan janda yang hidup sebatang kara di kampung itu. Satu-satunya anak yang dilahirkannya sudah meninggal dunia.

Sementara Pawiro hidup bersama istrinya, Karsiyem, 84. Anak-anaknya sudah menetap di kampung lain. Sementara Hisam yang masih kerabat dekat Pawiro juga hidup sebatang kara di rumahnya yang nyaris ambruk.

“Selama ini, baik Mbah Pawiro, Mbah Tuminem dan Mbah Hisam memang sering makan di rumah saya. Saya tidak keberatan karena mereka masih menjadi bagian dari keluarga saya. Rumah kami juga berdampingan. Sudah menjadi kewajiban saya untuk merawat mereka. Kasihan, mereka sudah tua dan tidak bisa berbuat apa-apa,” kata Maryono, anak menantu dari Pawiro.

Masih ada satu lagi rumah yang terancam roboh di perkampungan ini. Rumah itu hanya berjarak sekitar 2-3 meter dari rumah Pawiro, Tuminem dan Hisam. Dinding rumah bagian belakang sudah nyaris jebol. Beberapa pilar kayu digunakan untuk menyangga bagian atap rumah supaya tidak roboh.

Rumah itu milik Paniyem, 70, yang tak lain adik kandung Pawiro. Sudah bertahun-tahun lamanya Paniyem hidup sebatang kara. Suaminya sudah meninggal dunia. Sementara empat anaknya sudah menetap di desa lain. “Sebenarnya Mbah Paniyem sudah diajak tinggal bersama anak-anaknya. Namun, selalu ada ketidakcocokan antara Mbah Paniyem dengan anak-anaknya. Kondisi psikis Mbah Paniyem memang sudah terganggu. Dia sering ngomel sendiri. Mungkin itu yang membuat dia tidak akur dengan anak-anaknya,” jelas Ngadiman.

Ngadiman mengakui setelah rumah Pawiro dan Tuminem ambruk, masih ada dua rumah lagi yang nyaris ambruk. Dua rumah itu masing-masing milik Hisam dan Paniyem. Ambruknya rumah Pawiro dan Tuminem serta rumah Hisam yang nyaris ambruk sudah dilaporkan kepada Dinas Sosial dan BPBD Sragen. Meski begitu, rumah Paniyem luput dari laporan.

“Rumah Mbah Paniyem tidak dilaporkan karena yang didata hanya rumah yang ambruk dan terkena dampak dari ambruknya rumah itu. Mestinya, rumah Mbah Paniyem juga ikut dilaporkan karena kondisinya sudah sedemikian parah. Kami berharap ada dermawan yang bersedia membantu mengingat anak-anak dari Mbah Paniyem kurang bisa diandalkan,” jelas Ngadiman.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya