SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Sydney–Tiga pejabat tinggi Bank Indonesia diduga sempat meminta kenaikan ‘tarif’ suap untuk kemenangan kontrak anak usaha Bank Sentral Australia atau Reserve Bank of Australia (RBA) selanjutnya.

Hal itu terungkap dalam fax dari pejabat perwakilan anak usaha RBA di Indonesia, Radius Christanto, kepada Securency International and Note Printing Australia atau Perurinya Australia. RBA tercatat menguasai setengah dari kepemilikan Securency/NPA.

Promosi Oleh-oleh Keripik Tempe Rohani Malang Sukses Berkembang Berkat Pinjaman BRI

Dalam fax tertanggal 11 November 1999, Christanto menyebut-nyebut permintaan komisi dari sejumlah pejabat BI. Christanto mengacu pada pertemuan dengan 3 pejabat tinggi BI yang ingin mengatahui berapa komisi yang akan diterimanya jika perusahaan tersebut memenangkan kontrak berikutnya.

Ekspedisi Mudik 2024

Christanto mengacu pada komitmen Securency/NPA untuk menyesuaikan komisi setelah kontrak pertamanya dengan Bank Indonesia berhasil diraih dan dia telah menawarkan komitmen kepada ‘kawan VIP’ itu.

“Seperti yang Anda ketahui, akan ada reorganisasi di masa mendatang, teman kami tidak merasa terjamin bisa menjadi pejabat tinggi terus. Mereka menyadari tidak dapat menjaga posisinya itu selamanya. Mereka telah meminta nilai yang besar kedepannya,” ujar Christanto dalam dokumen kepada pejabat Securency, seperti dikutip dari The Age, Selasa (25/5).

Christanto sejauh ini belum memberikan respons ketika dihubungi The Age. Nama Christanto ramai disebut-sebut setelah bocornya dokumen suap melalui fax yang dikirimkannya kepada Securency.

Dalam dokumen itu juga terungkap mengenai suap yang diberikan kepada anak usaha RBA itu kepada 2 pejabat BI berinisial ‘S’ dan ‘M’ senilai US$ 1,3 juta untuk meloloskan pencetakan uang pecahan Rp 100.000 ke Australia.

Pada tahun 1999, BI memang memutuskan untuk mencetak uang plastik Rp 100.000 di Australia. Pencetakan uang di Australia itu sempat memunculkan protes dari Peruri yang mengaku sebenarnya sanggup mencetak dan menerima order dari BI.

Ketika kasus itu terjadi, RBA dipimpin Gubernur Bob Rankin, sementara Securency/NPA dipimpin oleh mantan Deputi Gubernur RBA, Graeme Thompson. Sedangkan Bank Indonesia ketika itu dipimpin oleh Gubernur BI Sjahril Sabirin. Sjahril memimpin BI pada periode 1998 hingga 2003 sebelum akhirnya diganti oleh Burhanuddin Abdullah.

Sejauh ini investigasi Australian Federal Police (AFP) memfokuskan pada suap dari Securency International senilai 20 juta dolar Australia kepada sejumlah pejabat bank sentral di Vietnam, Nigeria dan Malaysia untuk memenangkan kontrak pencetakan uang di negara-negara tersebut selama periode tahun 2003 dan 2006.

dtc/isw

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya