Kamis, 22 September 2011 - 11:46 WIB

29 tahun, nenek-nenek hidup diisolasi

Redaksi Solopos.com  /  Nadhiroh  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - TERISOLASI-Nenek-nenek terlihat di balik bangun papan kayu samping rumahnya di Dukuh Sunggang RT 2, Desa Ngrombo, Tangen, Sragen, Rabu (21/9/2011). Orang tua itu diisolasi selama 29 tahun. (JIBI/SOLOPOS/Tri Rahayu)

TERISOLASI-Nenek-nenek terlihat di balik bangun papan kayu samping rumahnya di Dukuh Sunggang RT 2, Desa Ngrombo, Tangen, Sragen, Rabu (21/9/2011). Orang tua itu diisolasi selama 29 tahun. (JIBI/SOLOPOS/Tri Rahayu)

Suasana depan rumah Padmo Wiyono, 74, di Dukuh Sunggang RT 2, Desa Ngrombo, Tangen, Sragen, Rabu (21/9/2011), lengang.

Advertisement

Pintu rumahnya yang terbuat dari papan kayu tertutup rapat. Dari arah selatan terlihat sosok laki-laki berlari menuju rumah Padmo.

Entah apa gerangan yang membuat pria itu lari tergesa-gesa.

Advertisement

Entah apa gerangan yang membuat pria itu lari tergesa-gesa.

Sejumlah wartawan menapaki tanah terjal menuju halaman rumah Padmo.

Tiba-tiba terdengar suara perempuan tua aneh dari sudut utara belakang rumah itu.

Advertisement

Namun, tak ada pintu atau jendela yang terbuka di belakang rumah itu. Seorang perempuan tua dengan rambut kombinasi putih dan hitam terurai ke bawah terlihat di dalam lorong persegi berukuran 40×25 cm.

Suara sumbang yang kasar itu ternyata datang dari perempuan yang dikenal masyarakat setempat dengan nama Pakem, 71.

Dia adalah istri Padmo yang melahirkan delapan anak. Mulutnya terus berkata tidak jelas, kadang menyebut nama anaknya. Kadang juga mengumpat sendiri.

Advertisement

Kulitnya mulai keriput. Meski malam dingin, Pakem tak pernah mengenakan selembar pakaian pun. Hanya secarik jarit yang dikenakan untuk menutupi auratnya. Pakem diisolasi selama 29 tahun di tempat itu.

Dari pengakuan Padmo, sulungnya, Sukriyanto, tak pulang sejak 1994 silam. Anak keduanya Sunardi juga hilang ingatan seperti ibunya.

Saking sakit yang dideritanya, Sunardi sampai tewas dalam pasungan pada 1990-an silam. Anak selanjutnya, Suyono, Suyadi, 33, dan Yatno, 32, hidup normal. Tiga bersaudara lainnya, Sw, 30, Sp dan Nr sempat stres. Dengan pengobatan intensif di Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Solo, mereka pun akhirnya nomal juga.

Advertisement

“Tinggal ibunya yang masih seperti ini. Dulu pernah tinggal di rumah utama. Tapi banyak bangunan yang dirusak. Terpaksa saya kurung di ruang tersendiri. Gentingnya yang rusak itu pun sering saya perbaiki. Tapi selesai diperbaiki, kemudian dirusak lagi. Begitu seterusnya,” aku Padmo saat dijumpai wartawan bersama Wakil Ketua Forum Masyarakat Sragen (Formas), Sri Wahono.

Padmo berniat membuatkan bangunan baru terpisah dari bangunan rumah yang dia huni bersama anaknya. Meskipun sakit ingatan, Padmo masih sayang dengan istrinya. Setiap pagi dan sore selalu diberi makan, selayaknya dia makan. Dia juga kadang diberi minuman teh kesukaannya.

Untuk membiayai pengobatan istrinya, Padmo tak mampu lagi. Sawah, kebun dan barang berharga yang dimilikinya sudah dijual semua untuk membiayai pengobatan keempat anaknya.

“Saya tidak tahu penyebab kegilaan itu. Saya juga tidak habis pikir, kenapa gila sampai menimpa keluarga kami,” tambahnya.

Sri Wahono berharap pemerintah peduli dengan keluarga Padmo. Kondisi Pakem yang sudah lanjut usia itu, kata dia, segera mendapat penanganan medis agar bisa hidup normal seperti tetangga lainnya.

“Kalau anak-anaknya bisa sembuh, saya yakin ibunya pun bisa disembuhkan pula. Kami butuh bantuan dari pemerintah untuk membantu dalam pengobatannya,” tegasnya.

(Tri Rahayu)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif