SOLOPOS.COM - Direktur Yayasan Kakak Shoim Sahriyati (Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Penanganan anak tidak dan putus sekolah di Solo tidak bisa berhenti hanya pada peran pemerintah, melainkan perlu melibatkan lapisan paling kecil seperti masyarakat sekitar dan orang tua. Saat ini Pemerintah Kota Solo melalui Dinas Pendidikan sudah menyediakan sekolah gratis dari jenjang PAUD, SD, dan SMP.

Ketua Yayasan Kakak Solo, Shoim Sahriyati, menyebut tidak cukup hanya menyediakan sekolah gratis untuk mengatasi anak tidak atau putus sekolah. Sebab, menurutunya persoalannya lebih kompleks dari sekadar biaya sekolah.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

“Persoalan anak tidak mau sekolah itu macam-macam, jadi memang penangan tidak hanya menyediakan ruang, tidak hanya gratis saja. Tapi, memang harus melakukan motivasi kepada anak dan keluarga,” kata dia selepas acara focus group discussion (FGD) Strategi Penanganan Anak Tidak Sekolah, Jumat (9/6/2023).

Menurutnya perlu ada peran orang tua dan masyarakat untuk turut memotivasi anak agar mau ke sekolah. Shoim menekankan harus ada program berkelanjutan untuk memberdayakan masyarakat itu sendiri. “Bagaimana masyarakat itu diberdayakan, biar keluarga itu sendiri juga memberikan motivasi. Karena, kalau yang memberikan motivasi hanya dari Dinas [Pendidikan], saya kurang yakin bisa berjalan,” lanjut dia.

Memotivasi anak untuk mau ke sekolah, sambungnya, tidak dengan memarahi atau dengan tindakan abusif lainnya. Tidak cukup peran dari orang tua, Shoim mengatakan lingkungan tempat tinggal juga punya andil. “Tetangga sekitar itu juga punya tanggung jawab, makanya saya sangat sepakat perlu adanya keterlibatan lembaga yang dia dekat dengan anak,” kata dia.

Lembaga yang dimaksud salah satunya adalah PKK di masing-masing kelurahan. Menurut Shoim, mereka lebih tahu persoalan yang ada di lingkungan sekitar dan mengerti apa penyebab anak enggan ke sekolah.

PKK juga bisa berperan untuk melakukan sosialisasi dan memberi motivasi agar keluarga mau mendorong anak-anaknya untuk sekolah. Dengan begitu mekanisme pengentasan anak putus dan tidak sekolah di Solo bisa segera selesai.

“Karena keluarga-keluarga ada juga yang menganggap pendidikan tidak penting, yang penting kerja cari duit. Pertanyaan dengan anak sekolah lalu tidak cari duit apa keluarga itu tidak bisa makan. Nah itu persoalan juga, persoalan kemiskinan, jadi masalahnya kompleks,” kata dia.

Sebelumnya, Dinas Pendidikan (Disdik) Solo merilis data anak putus sekolah (APS) dan anak tidak sekolah (ATS) di Solo yang mencapai 251 orang. Jumlah ini tersebar di lima kecamatan di Solo. Data ini disampaikan di FGD tentang Strategi Penanganan Anak Tidak Sekolah dan Anak Putus Sekolah di Grand Hap Hotel, Purwasari, Laweyan, Solo, Jumat.

Jika dipetakan pada masing-masing kecamatan, di Banjarsari terdapat 78 ATS dan APS, Jebres 63, Laweyan 30, Pasar Kliwon 42, dan Serengan 38.

Kepala Disdik Kota Solo, Dian Renita, mengatakan dari data tersebut terdapat sekitar 60% yang menyatakan tidak mau sekolah dengan berbagai alasan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya