SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, JAKARTA — Pemerintah menurunkan dana cadangan risiko fiskal dalam APBN 2019 menjadi Rp8,36 triliun dari alokasi pada 2018 sebesar Rp11,86 triliun. Penurunan ini dinilai tidak sejalan dengan kemungkinan risiko perekonomian 2019 yang akan lebih besar dari tahun ini.

Presiden baru saya mengeluarkan peraturan presiden (perpres) no. 129/2018 tentang rincian anggaran pendapatan dan belanja negara tahun anggaran 2019. Dalam perpres tersebut, pemerintah mencantumkan alokasi anggaran cadangan risiko fiskal pada 2019 yang lebih rendah daripada 2018.

Promosi BRI Cetak Laba Rp15,98 Triliun, ke Depan Lebih Fokus Hadapi Tantangan Domestik

Ekonom Universitas Indonesia, Fithra Faisal, tidak habis pikir dengan cara pandang pemerintah terkait penetapan alokasi anggaran tersebut. Sebab, menurutnya tantangan dan risiko perekonomian pada 2019 akan jauh lebih besar daripada 2018.

“Terus terang saya tidak mengerti [bagaimana] pemerintah membuat formulasinya pada 2019, tentunya tantangannya tidak semakin berkurang malah semakin bertambah. Faktor eksternal meskipun kita sudah lihat tensi perang dagang China dan Amerika Serikat (AS) mereda, masih ada kemungkinan terjadi lagi di 2019, belum lagi risiko domestik,” ungkapnya saat dihubungi Bisnis/JIBI, Minggu (16/12/2018).

Fithra menilai risiko eksteral pada 2019 terutama karena adanya gelagat terjadi krisis di Amerika Serikat (AS) dengan pembentukan kurva inverted pada US Treasury Bond atau utang pemerintah AS 10 tahun dan 5 tahun. Menurutnya, dengan posisi seperti itu, banyak yang menyakini fenomena ini mendahului akan terjadinya krisis.

“Ada kemungkinan krisis juga di AS, pada 2019 dan 2020. Kalau AS krisis dunia terimbas, ini sesuatu yang perlu diwaspadai 2020,” ungkapnya.

Di sisi lain, gelagat risiko lebih besar lanjutnya dapat terlihat dari perlambatan ekonomi AS dan China. Sebagai mitra dagang terbesar Indonesia, perlambatan ekonomi di kedua negara tersebut tentu akan memengaruhi Indonesia.

Sementara faktor domestik, kata dia, masih akan terfokus pada defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD). Fithra mengatakan, kalau CAD tidak terkontrol dan risiko eksternal yang memburuk, dia memprediksi rata-rata nilai tukar rupiah pada 2019 dapat mencapai Rp15.400 sementara pertumbuhan ekonomi hanya tumbuh 4,8%.

Menurutnya, jika ini terjadi, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terus melambat pada tahun-tahun selanjut. Namun, jika kondisi eksternal lebih stabil dan CAD dapat terkontrol, ekonomi dapat tumbuh 5,12% dan pada 2020 menjadi 5,3%-5,4% sementara nilai tukar rupiah di kisaran Rp14.500/US$.

“Saya tidak tahu formulasinya, 2019 risikonya lebih besar, apalagi ada pilpres yang fakto risiko juga. Kalau dari faktor risiko, saya akan yakin bilang 2019 jauh lebih berisiko, secara linier cadangan ini seharusnya lebih tinggi dari tahun 2018,” tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya