SOLOPOS.COM - Usia golden age pada anak menjadi waktu yang sangat efektif dalam menyimpan value dan kebiasaan membaca hingga ia dewasa. (ilustrasi/Freepik)

Solopos.com, SOLO — Kurangnya bahan bacaan dan praktik literasi yang belum sesuai dinilai sebagai faktor penyebab rendahnya literasi masyarakat Indonesia. Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan literasi adalah membiasakan melatih anak memahami isi bacaan, bukan mengukur jumlah bacaan.

Sebagai informasi, indeks Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca) di beberapa daerah dinilai masih rendah. Bahkan berdasarkan indeks Alibaca yang diluncurkan 2019 lalu, Jawa Tengah masuk daftar 10 provinsi dengan indeks Alibaca terendah di Indonesia.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, E Aminudin Aziz, mengatakan hingga saat ini selalu saja dibicarakan bahwa tingkat literasi masyarakat masih rendah. Namun menurutnya literasi rendah bukan berarti masyarakat atau anak-anak tidak memiliki minat untuk meningkatkan literasinya.

Baca Juga: Ditata Tahun Depan, Gibran: Ngarsopuro Solo Tak akan Tiru Malioboro

Ada beberapa hal yang menyebabkan rendahnya tingkat literasi masyarakat Indonesia. Paling tidak ada dua hal yang menjadi faktor penyebabnya. Pertama, bahan bacaan untuk meningkatkan literasi itu kurang.

“Meningkatkan literasi itu melalui membaca. Melihat, mendengar, iya tapi tidak cukup. Paling utama itu membaca,” katanya, belum lama ini. Menurutnya saat ini bahan bacaan masih sangat kecil jumlahnya, baik di masyarakat atau di sekolah.

Faktor kedua, yang mempengaruhi tingkat literasi adalah praktik. Menurutnya, meski bahan bacaan tersedia, tetap harus didukung dengan praktik literasi yang baik dan benar.Ia mencontohkan ada gerakan literasi di sekolah atau di keluarga, tapi tidak dilakukan pendampingan dengan baik.

Baca Juga: Bakul Pasar Legi Solo Ramai-Ramai Nyumbang Korban Bencana Erupsi Semeru

Buku Ajar

“Tentang bagaimana dialog dengan anak. Bagaimana membaca yang baik? Bacaan ini tentang apa? Bagaimana plotnya? Menurut kalian bagaimana? Bagaimana karakternya? Apakah anak diberi kesempatan untuk mendiskusikannya? Sementara berpikir kritis dalam konteks literasi itu harus dilatih,” katanya.

Menurutnya kondisi tersebut kemungkinan tidak hanya terjadi di sekolah, melainkan juga di rumah. Jika di rumah, alasannya mungkin karena orang tua sibuk, orang tua tidak memiliki waktu atau alasan lain. “Meningkatkan literasi anak tidak cukup orang tua menyediakan banyak buku, tapi anak tidak diajak memahami buku itu” katanya.

Untuk menangani hal itu, ia mengatakan saat ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui gerakan literasi nasional yang dimulai 2016 telah menggagas buku ajar. Buku ajar bukanlah buku pelajaran tapi buku bacaan untuk pengayaan literasi.

Baca Juga: PDAM Se-Indonesia Diminta Kurangi Penggunaan Air Tanah, Ini Alasannya

“Buku ini didapat dengan festival sayembara menulis buku untuk anak, menerjemahkan dan sebagainya. Memang selama lima tahun ini jumlahnya baru 748 judul untuk semua jenjang,” lanjutnya.

Pada 2021 ini ada perubahan kebijakan. Guna pengembangan literasi, pemerintah kini akan lebih fokus menyasar usia dini, yakni pada pendidikan usia dini (PAUD) dan sekolah dasar. Dengan begitu pengadaan buku juga diarahkan untuk PAUD dan SD.

“Tahun ini kami sudah menerjemahkan 1.375 buku dari berbagai negara ditambah sekitar 300 dari bahasa-bahasa daerah di seluruh Indonesia. Itu khusus untuk PAUD dan SD. Tahun depan akan kami cetak buku ini kami utamakan dikirim ke daerah 3T. Sedangkan untuk daerah perkotaan dibuat bentuk digital,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya