Solopos.com, SEMARANG — Sejumlah pekerja tampak sibuk di halaman sebuah gedung tua di Jl. Pemuda No.11, Kota Semarang, Minggu (20/10/2019). Teriknya cuaca siang itu pun seakan tak membuat aktivitas mereka terganggu,
Mereka adalah pekerja bangunan yang dikontrak untuk merenovasi bangunan tua tersebut. Bagian atap bangunan yang telah berganti dengan rangka besi menjadi salah satu bukti kerja keras mereka dalam beberapa hari terakhir.
Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi
“Baru sepekan ini mereka [pekerja bangunan] bekerja. Mereka rata-rata dari Cirebon,” ujar penjaga bangunan tua itu, Mingan, 64, saat berbincang dengan Solopos.com, Minggu.
Mingan mengaku sudah bekerja di bangunan tua itu sejak tahun 1976 atau 45 tahun silam. Bangunan tua itu dulunya merupakan Hotel Dibya Puri.
Beberapa literatur sejarah menyebut jika Hotel Dibya Puri merupakan hotel termewah di Semarang pada zaman kolonial Belanda. Hotel yang dibangun pada tahun 1847 itu dulunya merupakan sebuah vila berlantai dua, yang kemudian berubah menjadi hotel dengan nama Du Pavilliun.
Di lihat dari bentuk bangunannya, hotel ini mengadopsi gaya arsitektur Eropa klasik. Salah satunya terlihat dari pilar-pilar besar yang menjadi penyangganya.
Pahlawan nasional, R.A. Kartini, bahkan sempat memuji keindahan Du Pavilliun melalui tulisannya berjudul Een Gouverneur Generalsdag. R.A. Kartini yang saat itu bersama saudaranya pergi ke Semarang menuliskan ketakjubannya terhadap gapura kehormatan yang bermandikan cahaya lampu di Hotel Du Pavilliun.
Hotel ini juga menjadi saksi sejarah Pertempuran Lima Hari di Semarang pada 1945. Kala itu, hotel tersebut menjadi lokasi baku tembak antara pemuda Semarang dengan para penjajah yang menyebabkan beberapa bagian bangunannya rusak.
Setelah perang usai, hotel ini pun berganti-ganti pengelola, mulai dari Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang, Departemen Perhubungan dan Pariwisata, hingga akhirnya diambil alih PT Natour, BUMN yang khusus mengelola hotel nasionalisasi aset Belanda.
PT Natour pun lantas mengubah nama Du Pavilliun menjadi Hotel Inna Dibya Puri pada 1976. Pada 2008, entah apa penyebabnya Hotel Dibya Puri akhirnya bangkrut dan tutup.
Mingan mengaku sebelum bangkrut, Hotel Dibya Puri memang sudah sepi pelanggan. “Pas tahun 1980-an itu masih lumayan ramai. Banyak tamu hotel, terutama orang asing yang sering menginap. Kebanyakan merupakan orang Belanda yang memiliki kenangan dengan hotel ini,” ujar Mingan.
Pria yang sempat menjabat sebagai Supervisor Housekeeping di Hotel Dibya Puri mengaku tidak tahu akan digunakan sebagai apa hotel tersebut. Ia menyatakan renovasi sepenuhnya menjadi kewenangan PT Hotel Indonesia Natour selaku pemilik.
“Enggak tahu direnovasi jadi apa. Pastinya renovasi enggak akan mengubah bentuk bangunannya, karena ini kan BCB [benda cagar budaya]. Tiap tahun saja bayar pajaknya sampai Rp300 juta,” ujar pria kelahiran Boyolali tahun 1955 itu.
KLIK dan LIKE di sini untuk lebih banyak berita Semarang Raya