SOLOPOS.COM - Harry Azhar Azis (kanan) saat masih menjadi Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berbincang dengan Ketua DPD Irman Gusman (kiri) sebelum Sidang Paripurna Luar Biasa kelima dengan agenda Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II (IHPS) dan penyerahan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK kepada DPD di Nusantara V, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (13/4/2016). (JIBI/Solopos/Antara/dok)

Satu lagi politikus masuk ke BPK dan menambah panjang daftar politikus di lembaga itu.

Solopos.com, JAKARTA — DPR resmi memilih 2 dari 26 kandidat anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Kamis (7/4/2017) malam. Dua orang yang dipilih yakni Agung Firman Sampurna dan Isma Yatun.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Keduanya menang dramatis setelah berhasil menyingkirkan kandidat terkuat dari Ditjen Pajak, yakni Dadang Suwarna yang hanya memperoleh 27 suara. Sedangkan Agung memperoleh 31 suara dan Isma 30 suara. Pemilihan ini mendapatkan banyak sorotan karena lagi-lagi para politikus Senayan memilih kandidat berlatar belakang partai politik.

Ekspedisi Mudik 2024

Kandidat yang dimaksud adalah Isma Yatun. Perempuan asal Palembang itu merupakan politikus PDIP. Dia juga sempat menjadi anggota DPR selama dua periode. Masuknya Isma ke lembaga auditor tersebut menambah panjang jajaran politikus di lembaga yang posisi kantornya berseberangan dengan komplek parlemen itu.

Jika dirunut, relasi BPK dengan DPR sebenarnya sudah menjadi rahasia umum. Sebelum Isma, sejumlah nama politikus seperti Harry Azhar Azis, politikus Golkar yang sekarang menjadi Ketua BPK, Rizal Djalil (PAN), dan Achsanul Qosasi menduduki posisi paling strategis di lembaga itu.

Keberadaan unsur politik di tubuh BPK tersebut menimbulkan perdebatan soal independensi lembaga itu. Padahal, sesuai Pasal 2 UU No. 15/2006, BPK harus bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

Ada kekhawatiran jika unsur politik terlalu dominan, maka hasil audit yang dihasilkan pun tidak independen dan rawan diintervensi oleh kepentingan politik. Tahun lalu, adanya perbedaan tafsir hasil audit tentang pengadaan lahan Yayasan Kesehatan Sumber Waras yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Dalam audit tersebut, BPK berpendapat kerugian negara dalam pengadaan lahan itu senilai Rp191 miliar. Namun, hasil audit tersebut diperdebatkan Pemprov DKI terkait mekanisme auditnya.

Selain kasus RS Sumber Waras, perkara lain yang juga sempat membuat lembaga tersebut disoroti soal independensi adalah audit BPK terhadap proyek e-KTP. Dalam perkara itu, seorang auditor BPK disebut menerima uang terkait proses audit yang sedang mereka kerjakan.

Serangkaian kejadian yang menunjukkan lembaga auditor tersebut semestinya menjadi perhatian bagi lembaga yang sebenarnya berperan menjaga keuangan negara. Deputi Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Apung Widadi, menganggap kembali masuknya politikus dalam tubuh BPK menyisakan banyak pertanyaan.

Memang dia mengakui, tak semua politikus koruptif, namun rekam jejak perlu dipertimbangkan untuk menentukan sosok yang bakal mengendalikan lembaga sekaliber BPK. Bahkan, dia juga khawatir, jika hasil audit yang dihasilkan oleh lembaga auditor negara tersebut bakal berpihak.
“Keputusan itu semakin melengkapi penderitaan BPK,” kata Apung, Jumat (7/4/2017).

Menurutnya, keputusan yang dihasilkan oleh Komisi XI juga dibuat bukan berdasarkan pertimbangan yang cermat, namun terkesan terburu-buru. Karena itu dia sangat menyangkan keputusan tersebut, pasalnya dengan makin banyaknya politisi di BPK, maka nasib hasil audit juga rawan dipolitisasi. Setelah masuknya Isma dalam jajaran anggota BPK, maka jumlah politikus di BPK pun bertambah menjadi empat orang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya