SOLOPOS.COM - Ilustrasi virus corona atau Covid-19. (Solopos/Dok)

Solopos.com, SOLO--Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, kini berada di zona risiko warna kuning atau risiko rendah setelah sepuluh bulan berada di zona hijau. Keberadaan pelaku perjalanan lintas wilayah di kabupaten sekitar menjadi pemicu penularan Covid-19.

Untuk mempertahankan zona hijau, Pemkab Ngada mendirikan gugus tugas penanganan Covid-19 hingga kelurahan/desa. Regulasi yang diterbitkan pemerintah disosialisasikan dan dilakukan bersama-sama masyarakat. Misalnya, Pemkab Ngada meminta masyarakat tidak bepergian ke kabupaten sekitar. Sebaliknya, perantau atau saudara di luar Ngada, jangan berkunjung ke Ngada.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Namun, berbulan-bulan berada di zona hijau membuat masyarakat Ngada terlena. Mereka mulai abai protokol kesehatan seperti memakai masker, menjaga jarak dan menghindari kerumunan dan mencuci tangan pakai sabun. Perubahan itu terasa sejak Pilkada digelar.

“Ada sedikit pergeseran, misal pembatasan jumlah orang. Kami sepakat semua kegiatan jam 6 selesai. Ini ditaati bersama. [Tapi], kampanye dilaksanakan malam hari,” ujar Bupati Ngada, Paulus Soliwoa, dalam talkshow virtual yang digelar Satgas Penanganan Covid-19, Rabu (20/1/2021).

Baca Juga: Begini Klaten Tanggapi SE Gerakan Jateng di Rumah Saja

Kendala lain yakni banyak kegiatan sosial berupa ritual adat yang dihadiri banyak orang. Masalah ini diperparah dengan tingginya pelaku perjalanan ke Ngada. Pemkab mendirikan pos-pos pengawasan yang berkoordinasi dengan puskesmas untuk melakukan skrining dengan rapid tes. Pemkab juga mendistribusikan 1.000 alat rapid test antigen ke rumah sakit dan puskesmas untuk skrining pasien yang akan menjalani rawat inap.

Ada 11.544 orang pelaku perjalanan yang masuk melalui 10 akses ke Kabupaten Ngada. Hasilnya, Pemkab Ngada menemukan 30 orang terkonfirmasi positif. “Yang sulit adalah pelaku perjalanan karena banyak ritual adat yang harus dihadiri banyak orang. Tapi upaya yang dlakukan pemerintah ada upaya paksa agar masyarakat benar-benar menataati protokol kesehatan,” ujar Paulus.

Menurut Paulus, perlu kerja sama lintas daerah untuk mengatas pelaku perjalanan. Ia mencontohkan Pemkab Ngada melarang warganya bepergian ke luar daerah. Namun, di sisi lain kabupaten di sekitarnya masih mengizinkan warganya bepergian termasuk ke Ngada.

“Ini butuh kerja sama daerah lain dipayungi regulasi yang sama. Ada diskresi untuk penanganan Covid sesuai kondisi daerah. Ini butuh pemahaman bersama,”kata Paulus.

Baca Juga: Pesanan Buah Impor Imlek Di Solo Berkurang Dibanding Tahun Lalu

Komunikasi Risiko

Ketua Bidang Perubahan Perilaku Satgas Penanganan Covid-19, Sonny Harry B. Harmadi, mengatakan pencegahan jauh lebih mudah dan murah daripada mengobati. Fenomena seperti yang terjadi di Ngada mengindikasikan protokol kesehatan tetap harus dilakukan meski berada di zona hijau.

Namun, masih ada warga yang enggan mematuhi protokol kesehatan. Survei Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan alasan orang tidak mematuhi protokol kesehatan lantaran merasa yakin di sekelilingnya tidak ada kasus konfirmasi Covid-19.

“Ini masalah komunikasi risiko. Padahal, berbeda dengan beberapa penyakit, penyakit ini ketahuan kalau dites dan banyak kasus tanpa gejala,” kata Sonny.

Baca Juga: Imbas Program Jateng Di Rumah Saja, 47 Pasar di Sragen akan Ditutup

Ketua Tim Periset Pemberdayaan, Edukasi Dan Literasi Terkait Covid-19 Untuk Perubahan Perilaku Komunitas Universitas Indonesia, Hadi Pratomo, mengatakan zona hijau menjadi zona terbaik untuk untuk mempersiapkan pencegahan. Namun, persiapan ini memerlukan pendekatan partisipatif bukan pendekatan yang sekadar memerintah.

Persiapan ini dalam konteks perubahan perilaku membutuhkan waktu dan tidak bisa instan. Di sini membutuhkan konsistensi pemimpin sebagai contoh atas apa yang disampaikannya. “Perlu juga didampingi dengan coaching atau mentoring. Saya melihat hal ini yang belum ada dalam kammpanye perubaha perilaku kita,” ujar dia.

Peran pendamping ini penting untuk membantu warga menyaring informasi dan menerapkannya. Sebab, paparan informasi yang deras tidak bisa mendorong orang melakukan seperti yang ada dalam pesan. “Intervesi regulasi penting. Tapi intervensi di level individu juga penting,” kata Hadi.

Baca Juga: Jateng di Rumah Saja, Wisata Alam Sukoharjo Ini Tutup 6-7 Februari 2021

Masalah Komunikasi

Peneliti dari Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, Handrini Ardiyanti, menyebutkan ada sedikitnya empat masalah utama komunikasi pemerintahan dalam menangani pandemi Covid-19. Keempat masalah itu yakni akurasi data dan informasi, minim sosialisasi, rendahnya kepercayaan publik, dan komunikasi organisasi pemerintahan yang tak efektif.

“Permasalahan kurang efektifnya komunikasi organisasi pemerintahan diketahui dari perbedaan kebijakan antarorganisasi pemerintahan yang dikomunikasikan ke publik. Beberapa hal di antaranya yaitu tarik menarik kewenangan antara pusat dengan daerah,” tulis Handrini.

Untuk membangun komunikasi yang efektif, lanjut Handrini, salah satunya dengan memposisikan Covid-19 sebagai complex intergovernmental problems (CIP). Alternatif lainnya yakni menerapkan komunikasi risiko sebagai pertimbangan utama.

“Dengan demikian, pemerintah seharusnya jangan terjebak pada penyelenggaraan konferensi pers rutin oleh juru bicara saja. Tetapi juga mempertimbangkan opini masyarakat terhadap isu Covid-19,” lanjut dia.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya