SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Untuk menjadi siapa saja, Elly D. Lutan, seorang perajin seni dan pensiunan pegawai negeri di Dinas Kebudayaan dan Permusiuman Provinsi DKI Jakarta, mengatakan seorang perempuan tak perlu menanggalkan jati dirinya. Dengan roh tari Jawa, dirinya tetap bisa masuk ke dalam wilayah budaya lain seperti Aceh, Dayak, Sulawesi Selatan dengan tari Pakarena, hingga ke budaya Asmat.

Untuk mengetahui bagaimana pengelola Deddy Lutan Dance Company ini memahami perempuan melalui sejarah Ramayana, serta filosofi-filosofi tari, berikut wawancara Jaleswari Pramodhawardani dengan Elly D. Lutan;

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Pementasan terbaru Anda adalah tentang Drupadi Mulat. Bagaimana asal muasalnya, tema yang diangkat tersebut selalu terkait dengan perempuan?
Drupadi Mulat sebetulnya sudah menjadi obsesi saya sejak dua tahun terakhir. Hanya baru terwujud pada Juli 2008, dua hari menjelang saya pensiun sebagai pegawai negeri di Dinas Kebudayaan dan Permusiuman Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta.

Misalnya di pementasan Kunti, saya lebih kepada seperti apa untuk menjadi Anda. Kemudian di pementasan Tjut Nyak lebih kepada ketika perempuan itu menjadi abdi masyarakat, lebih kepada tema patriotik. Di pementasan Gendari, saya berbicara mengenai ketika seorang ibu adalah bejana, rahim itu adalah bejana di mana pertama kali kita menggodok sebuah hasil produk.

Ketika bejana itu dilumuri dendam, yang terlahir adalah hasil yang bermasalah seperti Kurawa. Itu bukan salah Gendari. Di sini saya hanya bertanya, salahkah ketika seorang ibu menginginkan yang terbaik untuk putranya. Persoalannya adalah karena dendam tadi.

Berikutnya, saya mencari sosok ketika perempuan itu sebagai seorang istri, seorang sosok yang mempunyai kedudukan di masyarakat. Saya bingung untuk memilih antara Drupadi atau Banowati. Menurut saya, Banowati sangat perempuan.

Dia adalah orang yang sangat mendambakan cinta sejati. Setiap perempuan selalu menginginkan cinta itu hanya untuk dia. Dalam perjalanan, ternyata Drupadi jauh lebih menarik, bukan berarti Banowati tidak menarik. Saya melihat di sini ada satu pengabdian yang berbeda dimana Drupadi adalah istri seorang raja, tapi dia tetap seorang perempuan. Dalam pemahaman waktu itu sebetulnya dia dimenangkan oleh Arjuna, tapi akhirnya harus menikah dengan Yudhistira. Itu satu masalah.

Masalah lainnya, perempuan khususnya di Indonesia ketika menikah, dia bukan hanya menjadi istri dari sang suami. Tapi adalah bagian dari keluarga suami. Ada salah satu pemahaman bahwa Drupadi hidup secara poliandri. Poliandri di sini dengan pemahaman bahwa dia bukan hanya istri dari Yudhistira tapi juga mengawini keluarga dari Yudhistira dalam tatanan Jawa. Dia juga harus meladeni adik ipar, mertua, dan sebagainya.

Jadi poliandri dibaca dengan sesuatu yang berbeda, yaitu mengawini bukan secara fisik orang per orang tapi mengawini sebuah keluarga?

Ya, mungkin juga poliandri di sini berdasarkan pemahaman mengenai Drupadi memiliki keinginan kalau kelak bersuami ingin yang mempunyai lima sifat, dimana hal itu tercermin di Pandawa. Jujur saja mungkin setiap perempuan akan selalu ingin mempunyai kelima kesempurnaan sifat dari suami seperti Pandawa. Yudhistira terkenal sebagai lelaki yang bijaksana. Bima adalah lelaki yang jujur dan berani.  Arjuna memiliki  sifat ketampanan yang ‘melelehkan’ hati setiap perempuan. Nakula-Sadewa memiliki sifat pengabdian.

Apa alasan Anda memilih tokoh-tokoh pewayangan perempuan?
Guru saya Rujito, dia mengatakan, ”Kalau kamu ingin menjadi koreografer maka cobalah dari yang terdekat dengan diri kamu sendiri. Setelah itu apa yang ingin kamu ungkap paling sederhana.” Jadi saya tidak bercerita karena kalau bercerita banyak orang yang pandai bercerita tapi saya mencoba berangkat dari yang terdekat yaitu perempuan. Memahami diri sendiri, ternyata jauh lebih sulit dari pada memahami diri orang lain.

Lalu mengapa Anda lebih memilih kepada tari Jawa?
Tidak demikian, memang mayor tari saya Jawa, tapi itu lebih kepada esensinya saja. Hal itu yang kemudian membuat Elly dengan Jawanya berjalan kemana-mana. Misalnya, ketika pementasan Cut Nyak Dhien, saya tidak memakai Cut Nyak Dhien tapi Cut Nyak karena saya secara roh tetap Jawa kemudian saya masuk ke dalam wilayah Aceh.
Saya juga bisa masuk ke dalam wilayah Dayak, Sulawesi Selatan dengan tari Pakarena, kemudian mendekat kepada Asmat. Namun saya tetap orang Jawa. Jadi sebetulnya untuk menjadi siapa kita tidak perlu meninggalkan diri kita siapa.

Ketika mendekat ke Aceh, Dayak dan segala macamnya tadi, apakah ada atau tidak perbedaaan sebagai perempuan Jawa atau menjadi perempuan lainnya?
Tidak. Mungkin karena perempuannya. Perempuan di mana saja sama, universal tapi identitas ketika itu adalah saya orang Jawa, pendekatan saya dengan roh jawa. Jadi seperti pepatah Minang, ”Di mana bumi di pijak di situ langit dijunjung.”
Nah, itu yang saya bawa sehingga tidak ada masalah. Saya bisa lebih lebur dan  tidak menjadi, ”Nih loh gua orang Jawa.” Namun, saya dengan kejawaan saya bisa lebih mendekat secara natural. Jadi mereka bisa menerima saya sebagai orang Jawa, tapi saya bisa menjadi orang Dayak, orang Aceh dan lainnya.

Apakah orang tua Anda juga penari?
Dulu Bapak saya tentara. Pilihan hidup saya sebetulnya dulu ingin menjadi tentara. Tapi karena kaki saya X, saya tidak diterima. Sejak umur empat tahun saya ikut Bude dan Pakde (kakak Ibu) yang notabene mereka pecinta wayang. Sejak umur empat tahun saya harus belajar menari, saya harus semalam suntuk menonton wayang kulit. Dari situ saya merasa menari kok membuat saya sehat. Ketika saya sakit panas kemudian menari, saya menjadi sembuh.
Jadi saya harus belajar Jawa. Saya harus menjadi orang Jawa yang santun, yang kromo inggil. Saya tidak boleh ngoko (acuh, tidak sopan), misalnya. Itu dilema karena dipaksa untuk menjadi orang Solo atau Jogja, sementara saya orang Jawa Timur di lingkungan Madura dan Banyuwangi. Pada 1997 saya membuat karya yang bisa disebut karya serius.

Apa karya pertama kali?

Kunti Pinilih. Itu karya panjang dan hasil pemikiran. Sejak Taman Mini Indonesia Indah dibuka, saya menjadi penata tari pesanan untuk Istana Negara dan pementasan ke luar negeri, yang menjadi kebanggaan para penari.

Apakah hal itu menjadi seperti di Teater Koma yang enerjik dan menarik sekali?
Beda. Di situ saya diberi kebebasan oleh Nano Riantiarno (pemimpin Teater Koma) untuk menginterpretasikan karya beliau dalam konteks saya sebagai penata tari Jawa. Bergaul dengan mereka yang bukan penari, hasilnya seperti itu. Saya berupaya beradaptasi dengan mereka yang bukan penari, dan bukan juga penari Jawa.

Elly D. Lutan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya