SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Rabu (12/12/2018). Esai ini karya Riszty Budi Deviana, anggota staf Seksi Integrasi Pengolahan Data Badan Pusat Statistik Kabupaten Boyolali. Alamat e-mail penulis adalah riszty@bps.go.id.

Solopos.com, SOLO — Masalah kemiskinan merupakan salah satu isu sosial yang selalu diperbincangkan. Rilis angka kemiskinan selalu dinanti-nantikan berbagai pihak, baik pemerintah, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, dan lainnya.

Promosi Mudik: Traveling Massal sejak Era Majapahit, Ekonomi & Polusi Meningkat Tajam

Naik atau turunnya angka kemiskinan oleh masyarakat umum sering dianggap sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan program pemerintah. Ketidakpahaman terhadap metode penghitungan dan interpretasi data sering kali memunculkan berbagai tanggapan miring saat perilisan angka kemiskinan.

Pada Maret lalu, saat kali pertama sejak 1999 angka kemiskinan Indonesia menyentuh satu digit yaitu 9,82%, setelah perilisan angka kemiskinan itu media sosial dipenuhi berbagai komentar yang berusaha membaca data tersebut dari berbagai sudut pandang.

Penghitungan angka kemiskinan dilakukan secara rutin oleh Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilaksanakan dua kali dalam setahun. Lewat  survei tersebut diperoleh data pengeluaran rumah tangga baik makanan maupun nonmakanan yang kemudian dijadikan dasar penghitungan garis kemiskinan.

Dari hal ini dapat diketahui pola konsumsi masyarakat sangat berpengaruh terhadap naik atau turunnya garis kemiskinan. Bagaimana kondisi kemiskinan di Jawa Tengah saat ini? Selama periode 2015-2017, persentase penduduk miskin di Jawa Tengah menunjukkan tren penurunan yang baik.

Pada Maret 2017, penduduk miskin di Provinsi Jawa Tengah tercatat 13,01%. Ini berarti turun 0,26% daripada tahun sebelumnya yang sebesar 13,27%. Pencapaian tersebut sepertinya belum dapat memberikan kepuasan bagi pemerintah yang memasang target angka kemiskinan sebesar 10% pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Provinsi Jawa Tengah 2013-2018.

Jika dilihat dari garis kemiskinan, pada 2017 garis kemiskinan di Jawa Tengah sebesar Rp333.224. Sebelumnya, pada 2016 sebesar Rp317.348. Peningkatan garis kemisikinan ini dipengaruhi oleh peningkatan gaya hidup dan kenaikan harga kebutuhan pokok.

Besaran garis kemiskinan menunjukkan rata-rata nilai rupiah yang dihabiskan untuk memenuhi basic needs atau kebutuhan dasar. Pemenuhan kebutuhan dasar makanan menggunakan dasar 2.100 kilo kalori, sedangkan untuk nonmakanan didasarkan pada kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Garis kemiskinan inilah yang digunakan sebagai dasar pengelompokan penduduk miskin dan tidak miskin.

Pola Konsumsi

Data BPS pada Maret 2017 menunjukkan secara rata-rata pengeluaran penduduk Jawa Tengah untuk komoditas makanan masih lebih besar dibanding komoditas nonmakanan. Pola konsumsi yang menunjukkan pengeluaran makanan yang lebih besar mengindikasikan tingkat kesejahteraan yang masih rendah.

Dengan kata lain, penghasilan yang diperoleh habis hanya untuk memenuhi kebutuhan makanan. Sedangkan kebutuhan nonmakanan seperti perumahan, hiburan, olahraga, dan lain-lain sudah barang tentu hampir tidak mendapatkan alokasi.

Adanya perubahan pendapatan masyarakat akan berimbas langsung terhadap pola konsumsi. Pada golongan penduduk dengan pendapatan tinggi, elastisitas permintaan terhadap kebutuhan makanan cenderung rendah dan mencapai titik jenuh.

Sebaliknya, permintaan terhadap kebutuhan nonmakanan akan meningkat.  Pergeseran dominasi pengeluaran ini dapat dijadikan salah satu indikator meningkatnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Jika kita mau lebih teliti melihat pola konsumsi masyarakat, terlihat masih ada bagian yang sebenarnya bisa diperbaiki.

Sebut saja pengeluaran untuk rokok dan tembakau yang secara rata-rata per kapita sebulan mencapai Rp50.584. Ironisnya, angka ini lebih besar dibanding rata-rata pengeluaran per kapita sebulan untuk komoditas padi-padian yang senilai Rp48.004. Angka ini juga masih jauh lebih besar daripada pengeluaran untuk komoditas bergizi lain seperti daging yang masih sangat rendah (Rp17.597) atau telur dan susu yang hanya senilai Rp24.544.

Jika kita kaitkan dengan komponen penyusun garis kemiskinan makanan yang melibatkan 52 komoditas yang di dalamnya turut melibatkan komoditas beras, rokok kretek filter, dan tempe akan kita peroleh fakta bahwa pengeluaran untuk beras berada pada posisi tertinggi diikuti oleh pengeluaran untuk rokok kretek filter.

Rokok kretek filter yang berada pada peringkat kedua tentu saja menyita perhatian. Pengeluaran untuk rokok yang begitu dominan menjadikan kesan rokok erat kaitannya dengan penduduk miskin. Data Susenas Maret 2017 juga menunjukkan 20,47% penduduk Jawa Tengah berusia lima tahun ke atas merokok setiap hari dan 54,06% di antara mereka merokok lebih dari 60 batang rokok per pekan

Edukasi Masyarakat

Tidak bisa dimungkiri bahwa pendidikan punya peran penting dalam mengubah gaya hidup masyarakat. Penduduk dengan pendidikan yang lebih tinggi idealnya memiliki kesadaran akan pentingnya kesehatan yang berdampak pada pola konsumsi yang lebih baik.

Karakteristik penduduk miskin di Jawa Tengah yang memiliki tingkat pendidikan rendah (30% tidak tamat sekolah dasar) perlu mendapat perhatian ekstra karena pendidikan tidak hanya berpengaruh terhadap peluang mendapatkan pekerjaan tetapi juga pola pikir sesederhana menentukan pilihan antara rokok dan tempe.

Berbagai fakta di atas menunjukkan rokok dengan nol kalori turut menyumbang cukup besar dalam nilai pengeluaran masyarakat. Memang sudah saatnya masyarakat mulai belajar cerdas dalam mengatur pengeluaran.

Jika mau lebih bijak untuk menghilangkan konsumsi rokok atau setidaknya menguranginya tentu saja nilai pengeluaran tadi dapat dialihkan untuk komoditas lain dengan kandungan kalori dan protein yang lebih tinggi, yang lebih bergizi. Sebut saja menukar konsumsi rokok dengan tempe yang harganya berkisar di bawah Rp10.000/kilogram.

Pengeluaran untuk rokok tadi dapat dibelanjakan tempe kurang lebih lima kilogram. Imbas dari menekan angka konsumsi rokok dan tembakau akan sangat panjang, terutama untuk kalangan bawah yang pola konsumsinya masih didominasi komoditas makanan. Peningkatan kualitas kesehatan tentu saja berdampak positif pada kualitas hidup secara umum.

Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebenarnya tidak pernah kurang akal untuk menekan konsumsi rokok. Mulai dari hal sederhana seperti kampanye efek rokok melalui bungkusnya maupun lewat program Gerakan Masyarakat Sehat (Germas) yang salah satu langkahnya dengan mengenyahkan asap rokok. Mengedukasi masyarakat tidaklah semudah mengganti kemasan rokok. Perlu upaya lebih intensif lagi terutama untuk menumbuhkan kesadaran secara pribadi.



Meskipun tidak serta-merta secara eksplisit dapat dijelaskan nilai kontribusi rokok terhadap garis kemiskinan, tetapi keberadaan rokok khususnya rokok kretek filter yang setara dengan 51 komoditas lain seperti beras, telur ayam ras, gula pasir, dan lain-lain sebagai bagian dari komoditas makanan untuk penyusunan garis kemiskinan tentu memiliki dampak yang sangat perlu diperhatikan.

Menyelesaikan masalah kemiskinan harus selaras yang melibatkan berbagai pihak dan tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah. Kesadaran masyarakat untuk mengurangi konsumsi rokok, misalnya, bisa jadi langkah awal dari masing-masing individu untuk turut berperan di dalamnya.

Dengan pola konsumsi cerdas, pengeluaran untuk rokok tidak hanya dapat dialihkan ke komoditas makanan bergizi seperti tempe atau telur tetapi juga dapat dialihkan untuk kebutuhan nonmakanan seperti pendidikan dan kesehatan yang akan turut serta mendukung pengentasan kemiskinan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya