SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

<p><strong>Madiunpos.com, MAGETAN</strong> — Pendaki atau pengunjung yang naik ke <a href="http://soloraya.solopos.com/read/20180619/495/923140/lokasi-kebakaran-hargo-tiling-gunung-lawu-belum-bisa-dijangkau-manusia" title="Lokasi Kebakaran Hargo Tiling Gunung Lawu Belum Bisa Dijangkau Manusia">puncak Gunung Lawu</a> via Cemoro Sewu akan mendapati warung Mbok Yem yang menjual berbagai makanan dan minuman. Warung ini memang khusus menyediakan makanan dan minuman untuk para pendaki dan warga yang ingin melakukan ritual di puncak Lawu.</p><p>Lalu, bagaimana bahan-bahan makanan, air minum kemasan, dan makanan instan ini dibawa ke puncak Lawu?</p><p>Bahan makanan dan minuman yang dijual di warung Mbok Yem dibawa secara manual dengan berjalan kaki sampai ke puncak. Sepeda motor ataupun kendaraan tidak mungkin menembus jalur pendakian yang dipenuhi pohon besar dan jalan curam.</p><p>Salah satu yang berjasa dalam menyediakan logistik di warung Mbok Yem yaitu Parmi. Perempuan berusia 63 tahun itu naik turun Gunung Lawu dua kali dalam sepekan. Bahkan bisa sampai tiga kali naik turun gurun dalam sepekan kalau puncak Lawu ramai didatangi pendaki.</p><p>Ditemui <em>Madiunpos.com</em> di pos masuk jalur pendakian Cemoro Sewu, Magetan, Rabu (12/9/2018) sore, Parmi mengaku baru saja mengantar barang dagangan ke <a href="http://soloraya.solopos.com/read/20180619/494/923125/puncak-dumiling-di-gunung-lawu-terbakar-200-pendaki-terjebak" title="Puncak Dumiling di Gunung Lawu Terbakar, 200 Pendaki Terjebak">puncak Lawu</a>. Barang dagangan yang dibawa pun tidak main-main, beratnya mencapai 45 kg dalam sekali angkut ke puncak Lawu.</p><p>Saat naik ke puncak pun, Parmi hanya mengenakan pakaian ala kadarnya. Tidak memakai jaket tebal dan celana khusus mendaki, hanya memakai baju biasa plus sandal dan kerudung.</p><p>Dia menceritakan biasanya Mbok Yem akan menghubunginya saat membutuhkan barang. Kemudian Parmi akan berbelanja berbagai barang kebutuhan di Pasar Plaosan. Barang yang dibeli biasanya gula, beras, air mineral botolan, mi instan, dan lainnya.</p><p>Seusai berbelanja, Parmi mengemas barang dagangan itu dalam satu karung. "Biasanya yang saya bawa ya beras, gula, air mineral, mi instan, dan barang lainnya. Itu beratnya mencapai 45 kg," kata dia yang tak terlihat lelah meski habis naik turun puncak Lawu.</p><p>Parmi kemudian bersiap menuju warung Mbok Yem di puncak Lawu sekitar pukul 08.00 WIB. Pagi menjadi waktu terbaik untuk mengantar logistik supaya nanti saat turun tidak sampai kemalaman.</p><p>Warga Poncol, Kabupaten Magetan, ini menggendong karung berisi logistik di punggungnya. Kekuatan wanita ini melampaui usianya yang tak lagi muda.</p><p>Dengan beban seberat itu dan jalur menanjak serta curam, Parmi tidak tampak takut atau khawatir. Sudah menjadi risiko pekerjaan, katanya.</p><p>Meski badannya bisa dikatakan kurus, ia mampu mengangkut beban yang mungkin hampir sama dengan berat badannya itu. Satu per satu langkahnya secara pasti menyusuri jalur curam gunung yang memiliki ketinggian 3.100 meter di atas permukaan laut itu.</p><p>Untuk sampai ke warung Mbok Yem di <a href="http://soloraya.solopos.com/read/20180621/494/923412/15-hektare-hutan-puncak-dumiling-gunung-lawu-terbakar" title="1,5 Hektare Hutan Puncak Dumiling Gunung Lawu Terbakar">puncak Lawu</a>, Parmi membutuhkan waktu sekitar enam jam. Selama perjalanan, ia berhenti tiga kali untuk beristirahat. Biasanya Parmi istirahat di pos 1, pos 2, dan pos 3.</p><p>Setibanya di warung Mbok Yem, seluruh barang yang dibawa langsung dimasukkan ke warung. Parmi yang merupakan keponakan Mbok Yem itu pun diberi upah senilai Rp400.000 sekali angkut barang.</p><p>Setelah beristirahat sebentar, Parmi kembali menyusuri jalanan terjal menuruni Gunung Lawu kembali ke kampungnya. "Saya tidak sendirian. Ada empat orang yang membawa barang dagangan ke puncak. Ada saya, Batul, Senen, dan Miyem. Mereka juga membawa barang dagangan yang sama beratnya," ujar dia.</p><p>Parmi mengaku sudah menjalani pekerjaan sebagai pengangkut logistik sejak warung Mbok Yem berdiri pada 1995. Selama menjalani pekerjaan yang cukup ekstrem bagi sebagian orang ini Parmi tidak pernah mengalami kendala berarti.</p><p>Dia pun mengaku tidak lelah saat naik dan turun gunung dalam sehari. "Sampun [sudah] biasa," ucap Parmi.</p><p>Mbok Yem yang merupakan pemilik warung di puncak Lawu usianya bahkan lebih tua yaitu lebih dari 100 tahun. Sejak berjualan di puncak Lawu, Mbok Yem turun gunung biasanya saat Lebaran.</p><p>Selain itu, saat ada hajatan keluarga, Mbok Yem juga mengusahakan untuk turun gunung. "Mbok Yem tinggalnya ya di warung sana sama keponakannya, Muis. Hanya saat Lebaran turun gunung. Mbok Yem ya orangnya sehat, meski sudah sepuh. Di warung sana ada listrik dari tenaga surya. Dulu dikasih orang Jakarta," terang dia.</p><p>Parmi menuturkan warung Mbok Yem memang menyediakan kebutuhan hidup bagi para pendaki dan warga yang akan melaksanakan ritual di puncak Lawu. Pada bulan Sura seperti sekarang, biasanya ada ribuan orang yang mendaki dan melakukan ritual.</p><p>Namun, tahun ini warung sepi karena jalur pendakian Cemoro Sewu ditutup.</p><p><br /><br /></p>

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya