SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Selasa (3/9/2019). Esai ini karya Mudhofir Abdullah, guru besar Pengkajian Islam dan Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta.

Solopos.com, SOLO — Disertasi Abdul Aziz berjudul Konsep Milk Al Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Nonmarital yang dipertahankan di Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga  Yogyakarta menjadi viral di media sosial dan cukup meresahkan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Banyak media merilis berita tentang disertasi ini dengan pilihan judul hubungan seksual di luar pernikahan tak melanggar syariat. Judul ini memang diambil dari abstraks Abdul Aziz yang gelisah karena hubungan nonmarital telah dikriminalisasi dalam kehidupan masyarakat.

Kriminalisasi dan penggerebegan terhadap pelaku-pelaku seksual di luar nikah adalah melanggar hak asasi manusia. Mengutip Syahrur, Abdul Aziz menjelaskan ada 15 ayat di dalam Alquran yang membolehkan.

Dia dengan sangat yakin meminta negara mengurusi hubungan seks di luar nikah dan konsep milk al yamin menjadi pintu masuk bagi pembaruan hukum Islam.

Saya ingin mengkritik kesimpulan-kesimpulan Abdul Aziz dan mendukung keberatan-keberatan penguji atas disertasi itu yang dianggap tidak jelas sikapnya atas tesis-tesis Syahrur. Disertasi ini menurut para penguji harus direvisi.

Saya memahami mengapa tim penguji merasa perlu menjelaskan secara terbuka karena disertasi yang bersifat ilmiah telah bergeser ke ranah publik melalui media sosial. Sebelum mengkritik saya harus mengakui keawaman saya atas tema ini.

Saya hanya pernah membaca empat buku Syahrur  dan ini menjadi dasar argumen saya. Sebelum masuk ke inti kritik, saya tampilkan dulu fakta-fakta tentang Syahrur.

Syahrur adalah sarjana teknik yang analisis-analisisnya sering meminjam logika teknis. Dalam linguistik dia menganut Ibn Jinni yang menolak sinonimitas. Dia mendekonstruksi kemapanan konsep yang dibangun para ulama, misalnya, soal definisi Quran, al kitab, konsep waris, aurat, milk al yamin, dan lain-lain.

Soal milk al yamin yang mendasari kesimpulan Abdul Aziz maknanya diperluas bukan hanya budak milik tapi ke jenis-jenis perempuan yang analog sepanjang bersifat konsensual—termasuk nonmarital.

Aspek-Aspek Nilai

Syahrur selalu menganjurkan agar membaca Alquran secara langsung seolah-olah wahyu baru saja turun. Syahrur menolak pembacaan Alquran yang dibebani tumpukan tafsir-tafsir. Sahrur hidup dalam tradisi intelektual Eropa Timur sehingga pikiran-pikirannya dipengaruhi, terutama dalam hukum keluarga, oleh tradisi Barat.

Analisis Syahrur diperkaya oleh pembacaan sejarah. Soal perbudakan, misalnya, dipengaruhi oleh praktik jual beli budak oleh bangsa-bangsa yang ditaklukkan. Ketika Spanyol, Mesir, Turki, Persia, ditaklukkan maka seluruh bangsa itu menjadi budak.

Para tentara menjual budak-budak itu bahkan menghadiahkan kepada khalifah—praktik ini bukan hanya di Arab, tetapi juga dalam sejarah Yunani-Romawi. Syahrur, misalnya, menjelaskan mengapa budak perempuan auratnya sama dengan laki-laki dan tidak perlu berjilbab.

Menurut Syahrur, budak-budak perempuan tak perlu berjilbab karena untuk menarik pembeli. Pada masa Khalifah Abasiyah dan Umayah praktik ini masih terjadi. Syahrur tidak setuju konsep nash dan mansyukh atas ayat-ayat tertentu yang oleh para ulama diakui, termasuk ayat perbudakan.

Kesimpulan-kesimpulan Syahrur sejauh ini barulah gagasan-gagasan konseptual yang banyak dikritik dan masih terus didiskusikan. Dengan melihat fakta-fakta Syahrur tersebut saya mengkritik kesimpulan Abdul Aziz.

Pertama, menjadikan tesis Syahrur untuk menghalalkan hubungan seksual di luar nikah adalah sangat lemah, bertentangan dengan konsensus-konsensus para ulama yang sudah mapan. Kedua, perbudakan yang oleh Syahrur dijadikan pijakan telah lama dihapus dan etika-etika moral hukum telah berevolusi ke arah kesetaraan gender.

Ketiga, prinsip hukum syariat bukanlah sekadar soal untung dan rugi; tapi soal etis dan tidak etis, soal akhlak. Meskipun hubungan seksual suka sama suka bukan pidana menurut KUHP, kecuali diadukan (delik aduan), tetapi secara akhlak melanggar norma masyarakat.

Saya yakin jika anak-anak perempuan kita atau mahasiswa-mahasiswa kita melakukan hubungan seksual di luar nikah, kita akan marah dan berusaha mencegah. Keempat, bicara hukum keluarga sangat sensitif. Hanya hukum keluargalah yang masih berlaku dari hukum syariat di seluruh dunia muslim (pernikahan, talak, rujuk).

Berhati-Hati Berucap di Ranah Publik

Karena itulah, perlu kabijakan tinggi dari setiap elite intelektual untuk berhati-hati dalam berucap di ranah publik. Kelima, menghalalkan secara syariat hubungan seks di luar nikah (meski bersifat konsensual) dalam bentuk kesimpulan-kesimpulan disertasi dari studi tokoh sangatlah fatal.

Itu bisa menjadi persetujuan ilmiah untuk kumpul kebo para mahasiswa di asrama, di tempat indekos, dan di masyarakat—meski praktik ini sudah marak terjadi. Keenam, kesimpulan-kesimpulan Abdul Azis harus direvisi sesuai saran para penguji dan harus adil terhadap pandangan-pandangan yang kontra agar meredakan kegaduhan di masyarakat.

Ketujuh, secara faktual hukum tertinggi syariat adalah ijma’. Betapapun dalil-dalil hukum Alquran dan hadis berjejer menyertai argumen Syahrur atau siapa pun itu, tanpa mendapat persetujuan ijma’ akan dengan sendirinya runtuh dan tidak dapat diterima. Siapa yang setuju hubungan seksual di luar nikah halal di masyarakat muslim? 

Kedelapan, saat Nurcholish Madjid mengumandangkan desakralisasi atas selain Tuhan pada 1970-an (?) atas dasar tauhid, dia mengecualikan perkawinan. Selain Tuhan tidaklah sakral, profane; tetapi perkawinan tetaplah sakral meski bukan Tuhan. Kalau desakralisasi berlaku bagi perkawinan, maka hubungan seksual manusia akan seperti binatang.



Akhirnya, saya setuju dengan pendapat seharusnya ilmu dikembangkan bukan sekadar ilmu untuk ilmu, tapi perlu mempertimbangkan aspek-aspek nilai (value bond). Disertasi Abdul Aziz yang sebenarnya sudah banyak dibahas tetaplah dianggap sebagai karya ilmiah.

Subjektivitas, pilihan-pilihan kesimpulan, kecenderungan filsafat, pandangan dunia yang dianut, bahkan pengalaman-pengalaman pribadi (jika ada), pastilah banyak mewarnai disertasi ini. Perlakukan disertasi ini sebagai karya ilmiah yang belum selesai dan bukan final. Disertasi ini akan terus berdialog dengan sejarah.

Masyarakat tidak boleh mengkriminalisasi penulis, para penguji disertasi, dan institusi. Ketidaksetujuan atas kesimpulan-kesimpulan Syahrur dan Abdul Aziz sebagaimana yang viral di sejumlah media harus dengan cara-cara yang ilmiah juga. Dengan cara ini, kebebasan berpendapat (freedom of speech) tetap berlangsung dengan terus menjaga tata krama bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya