Kini dunia politik makin kehilangan ruang politik. Dunia politik kini dominan dengan ruang digital. Ruang digital itu ruang yang penuh citra—termasuk citra yang direkayasa, bukan citra esensial, citra sebagai manifestasi diri-diri minimal.
Ada dua kemungkinan yang dapat diambil dari keadaan tersebut. Pertama, tidak tahu harus berbuat seperti apa. Kedua, memang tidak mau melakukan apa-apa.
Seorang cendekiawan berbicara tanpa pamrih. Demikianlah, pada masa lalu peran cendekiawan dijalankan oleh banyak pendeta, bagaikan nabi-nabi kecil, yang berbicara tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah-masalah masyarakat.
Pemilu 2024 yang baru saja berlalu—tahapannya belum tuntas—menunjukkan realitas kita belum berbudaya demokrasi. Salah satu indikator berbudaya demokrasi adalah kaya homo politicus sejati.
Negara yang menerapkan sistem demokrasi dianggap sebagai negara paling ideal. Hampir semua negara menerapkan demokrasi dalam sistem bernegara mereka, namun dengan pola masing-masing.
Presiden yang mampu menerobos kebuntuan-kebuntuan dalam mengambil kebijakan. Jalan maverick yang ditempuh pasti penuh penerobosan norma-norma tradisi untuk penemuan kebaruan.
Resonansi etika semakin bergelora setelah berkali-kali disinggung dalam debat calon presiden-calon wakil presiden dan setiap agenda politik seremonial.
Kritik dan kontrol dari masyarakat sipil perlu dibangun selekasnya. Kelemahan utama masyarakat sipil beberapa tahun terakhir adalah mereka terfragmentasi.
Kampanye dialogis adalah kampanye tatap muka dengan cara berdialog langsung bersama pemilih. Tujuannya memberikan pendidikan politik kepada publik dan mengajak mereka menjadi pemilih yang rasional.
Dirty Vote, film dokumenter yang disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono ini menjadi sorotan lantaran mengungkap indikasi kecurangan pemilihan umum (Pemilu) 2024.
Realitas inilah yang makin menjelaskan praktik hukum dan politik kita yang nir-etika. Pelanggaran etika oleh penyelenggara pemilu mau tidak mau akan berdampak pada kepercayaan publik dan legitimasi hasil pemilu.
Apa yang dilakukan Meng Bo kepada ibunya menjadi salah satu pelajaran yang bisa kita ambil dari makanan bernama bakso. Berbakti menjadi kata kunci pertama dari filosofi bakso.
Banyak ditemukan kasus sikap ASN yang justru terkesan memihak kepada salah satu pasangan calon presiden-calon wakil presiden yang terlibat kontestasi Pemilu 2024.
Setelah pemilu berakhir, terkadang residu ketegangan masih tersisa. Ini membuktikan bahwa perpecahan politik menjadi penyakit sosial yang sulit diobati.
Di kalangan ASN, isu netralitas selalu menjadi topik hangat pada setiap pemilu. Di beberapa instansi pemerintah diterbitkan peraturan khusus yang mengatur hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan (do and don’t) oleh ASN untuk menjaga asas netralitas tersebut.
Dalam filsafat politik, sudah masyhur yang disebut kesalahan Plato: mencari sosok penguasa-pemimpin yang maha-adil, negarawan nan filsuf bijaksana, atau politikus pelaksana program partai yang amanah bertanggung jawab, the right man in the right position.
Pengguna layanan digital bebas menyimpulkan komentar dan testimoni. Jika sudah membeli produk, orang juga bisa menambah ulasan atau testimoni di kolom komentar. Artinya, era keterbukaan telah tiba.
Saat ini setidaknya ada demokrasi. Partai-partai politik bisa didirikan dengan lebih bebas. Lembaga-lembaga penguat demokrasi dan hak-hak rakyat didirikan.
Kita harus tetap berjuang mewujudkan moralitas dan nurani itu dalam perpolitikan. Akan tetapi, kita harus menyadari bahwa dunia politik Indonesia adalah dunia yang sangat pragmatis.
Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran memastikan pertemuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, hanya kabar angin.
Mereka telah melakukan politik uang secara sadar, padahal praktik ini adalah akar korupsi menuju berbagai jenis korupsi lainnya. Larangan politik uang tercantum dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Pemanfaatan buzzer pada era digital memang sangat relevan, terlebih media sosial menjadi arena pertarungan yang menjanjikan untuk menarik simpati para pemilih, khususnya pemilih muda.
Melihat angka-angka ini, pantas jika Ketua DPC PDIP Kota Solo F.X. Hadi Rudyatmo pening. Alasannya jelas tidak sekadar karena sakit hati setelah ”kena sodok” Presiden Joko Widodo yang tak lain adalah mantan bosnya saat jadi Wali Kota Solo.